Kabupaten Wonosobo, salah satu wilayah agrikultur unggulan di Jawa Tengah, menghadapi tantangan dalam pemanfaatan lahan pertanian yang maksimal, serta pemenuhan kebutuhan energi terbarukan. Peningkatan kebutuhan energi nasional belum sepenuhnya didukung oleh energi terbarukan (KESDM, 2024).
Sementara itu, di sektor agrikultur, efisiensi penggunaan lahan sering kali terbatas pada satu fungsi, yaitu produksi pangan tanpa memanfaatkan potensi energi baru terbarukan. Wonosobo dengan sektor hortikultura unggulannya seperti kentang dan kubis belum memiliki inovasi untuk memadukan sektor pertanian dengan solusi energi baru terbarukan (Hidayat & Prabawa, 2023).
Meskipun sistem agrikultur tradisional produktif, tetapi belum mampu mendukung transisi energi nasional. Dimana ditargetkan energi baru terbarukan (EBT) mencapai 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050 sesuai dengan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (Republik Indonesia, 2017).
Akan tetapi hingga pertengahan Desember tahun 2024 realisasi pangsa EBT baru mencapai 13,9%, jauh dari target untuk tahun 2025 (KESDM, 2024). Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan ini, salah satunya melalui penerapan panel surya pada atap gedung pemerintahan dan tempat umum.
Namun penerapan panel surya di area non-produktif seperti atap gedung atau lahan kosong sering kali tidak terintegrasi dengan aktivitas ekonomi masyarakat, terutama petani, sehingga manfaatnya kurang optimal. Oleh karena itu sistem agrivoltaic ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini.
Inovasi ini dirancang dengan mengintegrasikan panel surya di atas lahan pertanian hortikultura di Wonosobo. Panel surya dipasang pada ketinggian tertentu untuk memberikan naungan pada tanaman tanpa mengurangi intensitas cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis.
Cara kerja sistem ini melibatkan pemasangan panel surya berbasis fotovoltaik yang terhubung ke baterai penyimpanan energi (Pandey et al., 2024). Energi yang dihasilkan dapat digunakan untuk kebutuhan irigasi, pemrosesan hasil panen, dan bahkan dijual kepihak PLN.
Selain itu, teknologi ini dipilih karena kemampuannya untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan efisiensi penggunaan lahan pertanian.
Realisasi sistem agrivoltaic membutuhkan dukungan infrastruktur dan pelatihan bagi masyarakat lokal. Stakeholder utama dalam implementasi ini melibatkan pemerintah daerah, perusahaan energi, lembaga pendidikan, dan masyarakat lokal. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan regulasi dan insentif pendanaan awal untuk pemasangan panel surya, pihak swasta berperan dalam pengembangan infrastruktur, sementara lembaga pendidikan dapat memberikan pelatihan kepada petani lokal tentang pengelolaan sistem ini.
Analisis inovasi menunjukkan bahwa sistem agrivoltaic dapat meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi usaha dan pengurangan biaya energi (Pandey et al.,2024). Secara analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats), kekuatan utama teknologi ini adalah kemampuannya mengintegrasikan sektor energi dan pertanian, sementara kelemahannya adalah kebutuhan investasi awal yang tinggi.
Meskipun terdapat tantangan dalam penerapannya, manfaat jangka panjang yang ditawarkan oleh sistem ini jauh lebih besar, terutama dalam memanfaatkan lahan pertanian yang lebih efisien dan
berkelanjutan.
Sehingga dapat disimpulkan, sistem agrivoltaic merupakan solusi yang relevan untuk mengoptimalkan tata kelola sumber daya alam di Kabupaten Wonosobo. Teknologi ini tidak hanya mendukung ketahanan energi nasional tetapi juga memberikan dampak positif terhadap sektor agrikultur lokal.
Dengan langkah yang tepat, Wonosobo dapat berkontribusi signifikan dalam mewujudkan visi transisi energi Indonesia menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Hidayat, R., & Prabawa, B. A. (2023). Kesesuaian Kawasan Agroindustri Berbasis Produk Pertanian Unggulan di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. Vol, 9(2), 91-102.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). (2024). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Retrieved from Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi: https://ebtke.esdm.go.id.
Pandey, G., et al. (2024). Agrivoltaics as an SDG Enabler: Trade-offs and Co-benefits for Food Security, Energy Generation, and Emissions Mitigation. Resources, Environment and Sustainability, 19, 100186.
Republik Indonesia. (2017). Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Komentar Terbaru