Tujuan akhir dari pengelolaan energi di setiap negara pada dasarnya untuk mewujudkan Ketahanan Energi bagi bangsanya. Negara yang memiliki ketahanan energi yang baik, memiliki infrastruktur dan fasilitas energi yang handal, serta mampu mengatasi gangguan pasokan.
Agar hal ini bisa terjadi, pengelolaan energi harus mengikutsertakan badan usaha yang profesional. Sehingga, ketika terjadi krisis dan darurat energi, negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mampu menyediakan energi dalam jumlah dan jenis yang cukup.
Holding BUMN Energi
Akhir-akhir ini ada wacana pemerintah membentuk “induk usaha” (holding), hasil dari penggabungan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk ke PT Pertamina (Persero). Para pemerhati dan praktisi beranggapan bahwa penggabungan ini bisa mempercepat pengembangan dan pembangunan infrastruktur gas, memudahkan pemanfaatan gas hasil produksi dari hulu, tidak ada duplikasi investasi, tidak ada kegiatan bisnis pada region yang sama, harga di pelanggan lebih rendah, mempermudah akses ke lembaga pendanaan, peningkatan keuntungan dan lain-lain.
Jika banyak manfaat yang bisa diperoleh, timbul pertanyaan: mengapa tidak semua BUMN terkait energi saja yang digabungkan? Setidaknya ada empat BUMN yang bisa digabungkan, yaitu Pertamina, PT PLN (Persero), Perusahaan Gas Negara (PGN, dan PT Bukit Asam Tbk.
Misal di sektor ketenagalistrikan, keberadaan holding setidaknya akan menguntungkan PLN dan BUMN lainnya. Perusahaan ini akan lebih mudah mendapatkan pasokan energi primer (batu bara, gas, minyak, dan uap). PLN juga akan lebih mudah akses ke lembaga pendanaan; pembangunan pembangkit listrik 35 GW bisa dipercepat; pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) termasuk nuklir dalam bauran energi akan berlipat.
Anjloknya harga batu bara bisa diatasi dengan membangun pembangkit mulut tambang (mine-mouth powerplant); kehandalan dan kapasitas kelistrikan nasional juga akan meningkat pesat, dan lain-lain.
Pengelolaan energi pada dasarnya memiliki dua sasaran. Pertama, untuk kesejahteraan dan untuk pertahanan-keamanan (HANKAM). Sebagai komoditas, energi sangat diperlukan untuk kegiatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Sementara, untuk menjaga kelancaran pasokan energi dibutuhkan operasi HANKAM, terutama di wilayah perbatasan yang kaya sumber daya energi. Wilayah perbatasan bukan daerah terluar melainkan garda terdepan, pintu masuk bagi suatu bangsa yang harus mendapat perhatian lebih. Demikian halnya penguasaan ALKI I, II dan III sebagai jalur laut NKRI.
Sehingga, kegiatan HANKAM membutuhkan pasokan energi, dan untuk menjaga kelancaran pasokan energi membutuhkan HANKAM; atau: Energi perlu HANKAM, dan HANKAM perlu Energi juga.
Diharapkan bahwa dengan adanya holding, kebutuhan energi, baik untuk kesejahteraan maupun untuk HANKAM, akan lebih terjamin.
Namun demikian, selain berbagai keuntungan dan kemudahan tersebut di atas, terdapat enam syarat yang perlu diperhatikan. Pertama, proses penggabungan empat BUMN energi dengan kultur yang berbeda harus dikawal dengan baik, agar tidak terjadi gesekan yang kontra produktif.
Kedua, reorganisasi dan penempatan orang pada posisi yang strategis harus the right man in the right place. Sehingga, holding akan mampu mengakselerasi program, dan bukan sebaliknya!
Ketiga, harus memaksimalkan kandungan lokal dalam pembangunan infrastruktur, sehingga kedaulatan dan kemandirian pengelolaan energi meningkat.
Keempat, dengan laba yang didapat, holding harus lebih bisa menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pengembangan usaha dan infrastruktur energi di dalam negeri, bukan semata-mata menjadi cash cow para pemilik saham.
Kelima, agar tidak terjadi intervensi, holding harus melapor dan langsung di bawah kendali Presiden. Segala bentuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tidak boleh ditolerir.
Keenam, holding harus mengembangkan wilayah perbatasan dengan membangun infrastruktur, dan bertanggung-jawab atas kelancaran pasokan energinya.(*)
Komentar Terbaru