Konsep Pembangunan Berkelanjutan dicetuskan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 yang mengusung tema “The Future We Want”. Indonesia juga kemudian mengadaptasi konsep Pembangunan Berkelanjutan dengan mendefinisikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (“TPB”)/ Sustainable Development Goals (“SDGs”) yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (“RPJP 2005 – 2025”), Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dari proses Pembangunan Berkelanjutan dalam rencana pembangunannya. Selain itu, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025 – 2045 dengan Visi Indonesia Emas 2045 (“RPJP 2025 – 2045”) yang kini tengah dalam penyusunan direncanakan akan mengusung kembali prinsip Pembangunan Berkelanjutan dengan keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pembangunan Berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang dalam hal ini menyelaraskan antara kepentingan pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Konsep Pembangunan Berkelanjutan menggabungkan unsur masyarakat, perlindungan lingkungan, dan pelestarian alam untuk mencapai kemakmuran dan keadilan di masa kini dan masa depan. Selanjutnya berkaitan dengan Pembangunan Berkelanjutan, penerapan konsep Ekonomi Hijau atau green economy telah berkembang di dunia yang kemudian dipopulerkan oleh United Nation Environment Programme (“UNEP”). Menurut UNEP, Ekonomi Hijau didefinisikan sebagai berikut: “A green economy is defined as low carbon, resource efficient and socially inclusive.” Ekonomi hijau didefinisikan sebagai ekonomi rendah karbon, efisien sumber daya, dan inklusif secara sosial.
Melihat lingkup nasional yang terjadi di Indonesia, Global Carbon Project merilis data yang menunjukkan Indonesia termasuk pada jajaran 10 (sepuluh) negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia tahun 2022 sebagai berikut.
Maka dari itu, untuk menjawab keberadaan serta tantangan yang terjadi terutama pada peningkatan nila ekonomi terhadap bisnis berkelanjutan terutama di industri Hulu Migas, pada dasarnya Indonesia telah mengeluarkan Kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan salah satu kebijakan instrumen ekonomi yang berorientasi pada Pembangunan Berkelanjutan. Perkembangan kebijakan NEK di Indonesia telah mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, penyelenggaraan NEK di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dan Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022. Sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut, mekanisme penyelenggaraan NEK di Indonesia mencakup perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan mekanisme lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam ruang lingkup ketentuan yang diatur pada Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dan Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022, telah diatur tata laksana mekanisme penyelenggaraan NEK. Kebijakan NEK menekankan pada instrumen nilai ekonomi terhadap karbon yang diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sesuai prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya berkelanjutan dalam rangka upaya pengendalian perubahan iklim. .
Penerapan dan Tantangan NEK pada Industri Hulu Migas di Indonesia
Pembentukan Kebijakan dan Regulasi yang berbasis Pembangunan Berkelanjutan dan Ekonomi Hijau menimbulkan tantangan bagi beberapa sektor tertentu. Sektor energi merupakan salah satu sektor tulang punggung penunjang pembangunan di Indonesia dan menjadi fokus utama dalam hal transisi Pembangunan Berkelanjutan. Di dalam sektor energi, Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi (“Industri Hulu Migas”) sebagai salah satu usaha yang memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan.Hal ini membuat tantangan tersendiri bagi Perusahaan Hulu Migas dalam hal menghadapi penerapan kebijakan Keuangan Berkelanjutan. Termasuk dibutuhkannya pembiayaan untuk operational expenditure dan capital expenditure Perusahaan Hulu Migas yang ditambah dengan biaya-biaya pengelolaan lingkungan.
Berbicara dalam konteks Bisnis Berkelanjutan, Industri Hulu Migas harus meyesuaikan kegiatanya usahanya untuk menanggapi isu transasi energi dan pembangunan berkelanjutan.oleh karena itu Industri hulu migas menjadi salah satu industri paling potensial untuk menerapkan bisnis Berkelanjutan khusunya terkait penerapan perdagangan karbon . Penerapannya bergantung pada para pelaku usaha bisa menerapkan teknologi Carbon Capture Storage (CCS). penerapan tersebut diatur dalam Penyelenggaraan CCS/CCUS tersebut diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (“Perpres 14/2024”) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (“Permen ESDM 2/2023”).
Pembangunan Berkelanjutan dijalankan dengan prinsip ekonomi yang berlandaskan aspek sosial dan lingkungan. Strategi Pembangunan Berkelanjutan dalam kegiatan usaha Hulu Migas dapat dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek seperti, aspek citra perusahaan dalam pasar (market image), perlindungan lingkungan (ecological environment protection), pengelolaan sumber daya Perusahaan (managing resource and configuration), penelitian dan pengembangan teknologi (research and development on information and technology), keahlian beragam (diverse team), implementasi strategi (strategy implementation), dan pengelolaan modal pendanaan (localization of capital)
Namun , tantangan yang harus di hadapi terkait penerapan kebijakan Nilai Ekonomi Karbon disektor industri hulu migas terutama terkait kelestarian lingkungan dan dampak perubahan iklim diantaranya : Pertama Tantangan Hukum terkait Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebijakan lingkungan terhadap Industri Hulu Migas telah dan/atau akan diberlakukan. Kebijakan akan menimbulkan kewajiban bagi Perusahaan Hulu Migas. Selain itu, potensi dampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat secara umum yang ditimbulkan mendorong komitmen transparansi oleh Perusahaan Hulu Migas .Kedua Tantangan Pembangunan Berkelanjutan dalam hal ini Perusahaan Hulu Migas perlu mengikuti tren pembangunan yang berbasis Pembangunan Berkelanjutan. Hal ini dilakukan agar Perusahaan dapat memperhatikan aspek sosial, lingkungan, dan finansial berkaitan kegiatan usahanya. Ketiga yaitu Tantangan Transisi Energi berkaitan dengan Transisi energi menuju EBT membuat Perusahaan harus menyesuaikan model bisnis dan strategi yang diimplementasikan dalam kegiatan usahanya menjadi tantangan Hulu Migas dalam sudut pandang investasi dan kompetisi bisnis yang berkelanjutan. Keempat adalah Tantangan Pembiayaan Berbagai kebijakan lingkungan berdampak merugikan terhadap investasi/pembiayaan untuk operasional kegiatan usaha Migas.Hal ini disebabkan oleh pengalihan pembiayaan yang lebih difokuskan terhadap sektor-sektor yang mendukung kelestarian lingkungan hidup.
Oleh Karena itu, dalam hal Menyikapi hal tersebut Perusahaan Hulu Migas perlu segera menentukan langkah-langkah strategis untuk memperhatikan aspek keberlanjutan dalam kegiatan usahanya dengan menata ulang model bisnis, mendiversifikasi portofolio, dan menyiapkan teknologi-teknologi baru yang dapat diterapkan dalam lingkup bisnis pada industri Hulu Migas. Perusahaan Hulu Migas terus berusaha mengupayakan agar tetap melakukan penerapan Bisnis Berkelanjutan dalam kegiatan usahanya, dengan tetap memenuhi kebutuhan energi nasional.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Penerapan kebijakan NEK oleh Pelaku Usaha dalam Industri Hulu Migas di Indonesia haruslah segeral di mulai baik dalam pembentukan dan penyempurnaan peraturan pelaksanan yang terkait ,namun tidak terlepas pada dibentuknya suatu kelembagaan yang otonom yang berfokus pada peningkatan nilai ekonomi karbon pada industri hulu migas yang mampu memfasilitasi kepentingan para pihak, pemerintah, pelaku usaha dan pihak swasta yang terkait .serta dalam pengelolaan dan penerapan NEK Kedepan nantinya mampu melaksanakan kerangka transparansi, mencakup penyelenggaraan SRNPPI, MRV, dan sertifikasi pengurangan Emisi GRK serta mematuhi prinsip-prinsip Bisnis Berkelanjutan berdasarkan pendekatan Triple Bottom Line (TBL) dan pendekatan Environment, Social, and Governance (ESG)/ Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST). sesuai Visi dan Misi Indonesia Emas 2045 yag diusung pemerintah saat ini agar pasokan energi cukup demi memujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia dan keberlanjutan energi dimasa mendatang.
Komentar Terbaru