Menurut laporan Global Carbon Project (2022), Indonesia menempati posisi ke-6 di daftar negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Total emisi karbon Indonesia tercatat mencapai 729 juta ton CO2. Angka itu setara 1,8 persen total emisi karbon di dunia.

Sektor yang paling banyak menyumbang emisi karbon adalah sektor industri, transportasi dan pembangkit listrik. Sektor industri berkontribusi paling besar, sebesar 37%, diikuti oleh transportasi (27%) dan pembangkit listrik dan panas (27%). Hal ini dapat berdampak buruk bagi lingkungan, manusia serta ekosistem.

Transisi menuju ke Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi kebutuhan yang mendesak. Penggunaan EBT dinilai dapat menjadi solusi untuk memecah permasalahan emisi karbon yang ada di Indonesia. Namun, hingga saat ini pemanfaatan energi hijau di Indonesia masih sangat rendah, yaitu dibawah 1% dari keseluruhan potensi EBT indonesia, sebagaimana yang diungkapkan sri mulyani dalam pertemuannya dengan pimpinan Medco Energi dalam acara “11 Tahun Indonesia EBTKE Conex”, di ICE BSD.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi hal ini. Sehingga dalam mengatasi rendahnya pemanfaatan energi hijau di Indonesia diperlukan langkahlangkah strategis yang mampu memberikan insentif dan mendorong percepatan transisi ke EBT. Terdapat strategi dalam mengatasi hal tersebut yaitu perdagangan kredit karbon dan pajak karbon.

Pada peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim menjelaskan bahwa perdagangan karbon adalah jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Perdagangan kredit karbon dapat menjadi strategi dalam meningkatkan tambahan pendapatan bagi perusahaan energi hijau.

Dengan menjual kredit karbon, perusahaan dapat menutupi sebagian biaya tinggi dalam produksi energi hijau, sehingga dapat mendorong perusahaan di Indonesia untuk terjun ke industri EBT. Sektor energi hijau bahkan diharapkan menjadi penghasil utama kredit karbon, karena sektor ini menawarkan kontribusi besar dalam pengurangan emisi.

Hal ini juga ditegaskan oleh Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas yang menyatakan bahwa perdagangan karbon memberikan sentimen positif bagi pengembangan perusahaan EBT. Sehingga melalui mekanisme ini perusahaan terdorong untuk melakukan transisi ke energi hijau.

Di sisi lain , pajak karbon berfungsi sebagai alat untuk mengontrol emisi karbon yang berlebihan. Perusahaan yang menghasilkan banyak karbon, terutama perusahaan energi fosil, akan dikenakan pajak karbon, tetapi mereka juga dapat menghindari sanksi pajak dengan membeli kredit karbon dari perusahaan EBT.

Dengan demikian, mekanisme ini dapat meningkatkan permintaan untuk kredit karbon, sebagai salah satu solusi mengendalikan emisi karbon yang berlebih.

Indonesia menghadapi tantangan yang besar dalam mengurangi emisi karbon. Transisi ke penggunaan energi yang lebih bersih menjadi kebutuhan yang mendesak. Namun, hal ini membutuhkan dukungan kebijakan yang komprehensif agar rencana Net Zero Emission 2060 bisa terealisasi secara maksimal.

Perdagangan kredit karbon dan pajak karbon saling melengkapi dalam mendorong transisi ini, dimana perdagangan kredit karbon memberikan insentif bagi perusahaan EBT dengan menambah sumber pendapatan, sedangkan pajak karbon memberikan sanksi terhadap sektor energi fosil dengan menambah biaya produksi.

Dengan kedua kebijakan tersebut, ketimpangan biaya produksi listrik dari EBT dan fosil semakin berkurang dan mendorong perusahaan melakukan transisi. Sehingga rencana Net Zero Emission di tahun 2060 dapat terwujud.