Fenomena harga minyak yang turun drastis pada bulan Maret 2020 ini jauh lebih kompleks dibanding ketika harga minyak turun di tahun 2015/2016. Sebelumnya pemicu turunnya harga minyak hanya karena kelebihan pasokan akibat munculnya pemain baru, yaitu: shale oil AS.
Biasanya kalau pemicu turunnya harga terkait dengan kelebihan pasokan, pemulihan harga memakan waktu yang relatif lebih lama, berbeda kalau isunya karena turunnya permintaan akibat krisis finansial atau resesi (1997, 2001, 2008), pemulihan harga berlangsung relatif cepat.Tidak heran pada tahun 2015/2016, banyak pengamat menyatakan bahwa harga rendah tersebut akan berlangsung lama (lower for longer).
Kondisi saat ini, dari sisi pasokan, merupakan pengulangan sejarah, agak mirip dengan kejadian di pertengahan tahun 1980-an, ketika itu terjadi minyak melimpah (oil glut) akibat munculnya produsen baru, seperti: Laut Utara, Teluk Meksiko, Alaska, Rusia dan negara produsen lain yang mengambil pangsa pasar Arab Saudi. Agar tidak kehilangan pangsa pasar, Arab Saudi membanjiri minyak di pasar global.Situasi saat ini mirip, kelebihan pasokan berakibat harga minyak jatuh, harga minyak semakin jatuh lagi ketika permintaan minyak global turun drastis akibat Covid 19. Ini ibarat sudah jatuh ditimpa tangga.
Adanya pertemuan tingkat menteri negara-negara OPEC+ via video conference tanggal 9 April 2020 diharapkan dapat diikuti dengan rapat yang lebih tinggi untuk mencapai kesepakatan pemotongan produksi. Hal ini akan membantu pemulihan harga minyak. Namun masih harus dilihat bagaimana implementasinya, apakah negara-negara OPEC+ yang dialokasikan pemotongan produksi tersebut tidak melanggar kesepakatan.
Dari sisi permintaan, masih perlu waktu untuk pulih, paling tidak menunggu ketersediaan vaksin Covid 19, sebelum tersedia, rasanya permintaan belum akan pulih sepenuhnya, sehingga harga minyak masih akan tertekan. Kecuali ada keajaiban, misalnya bulan Juni 2020 tiba-tiba Covid 19 ini menghilang.
Jadi sepanjang 2020 ini kemungkinan besar harga minyak masih akan rendah, akan tertolong untuk tidak semakin jatuh ke level dibawah 30 $/bbl apabila ada pemotongan produksi signifikan oleh negara-negara OPEC+
Respon Perusahaan Migas
Respon perusahaan migas lebih kurang akan sama dengan ketika harga minyak turun drastis pada 2015, respon pertama dari semua perusahaan migas termasuk KKKS di Indonesia, dalam jangka pendek adalah meninjau kembali proyek yang sedang berjalan, menunda rencana kegiatan, mengubah prioritas dan melakukan efisiensi biaya di semua kegiatan.
Pada 2015 begitu harga minyak turun, data menunjukkan kegiatan pengeboran di tanah air anjlok drastis, tidak sampai separuh dari kegiatan tahun sebelumnya, terus menurun dan baru mulai naik perlahan pada 2018. Kecenderungan yang sama akan terjadi pada 2020 ini dan tahun depan.
Jargon semua perusahaan migas saat ini efisiensi, ada lesson learned dari kejatuhan harga minyak di tahun 2015, walaupun situasi saat ini lebih parah. Beberapa hal yang dapat terus ditingkatkan, seperti: simplikasi proses bisnis internal dan semakin mendorong fit for purpose technology. Tentu di era sulit seperti ini, dukungan pemerintah (KESDM, Ditjen Migas dan SKK Migas) mutlak diperlukan.
Proyek proyek hulu migas yang saat ini sedang berjalan rata-rata dihitung keekonomiannya dengan harga minyak US$60-65 per barel dengan perkembangan sekarang, untuk proyek yang belum FID (Final Investment Decision), bisa jadi mereka akan menunda proyek tersebut, kecuali ada stimulus fiskal baru dari pemerintah. Perlu diadakan pertemuan antara KKKS dan pemerintah untuk mencari stimulus yang win-win dan berupaya agar proyek tetap dapat berjalan.
Para pelaku di industri hulu migas kemungkinan akan menjadi lebih konservatif, apabila sebelumnya banyak yang memperkirakan keseimbangan baru harga minyak di sekitar US$60 – US$65 per barel. Kedepan industri migas akan cenderung jauh lebih konservatif dalam membuat asumsi perkiraan harga minyak, dalam jangka pendek bisa jadi US$40 – 50 per barel, Wallahu a’lam.
Keekonomian proyek hulu migas bervariasi antara lapangan yang satu dengan yang lain, besarnya cadangan, jenis pekerjaan dan lain-lain. Belajar dari 2015, akan ada mekanisme penyesuaian melalui efisiensi biaya, teknologi tepat guna, disamping itu harga minyak turun akan diikuti dengan turunnya biaya di sektor hulu migas meskipun ada jeda waktu, biaya sektor hulu migas tidak langsung turun ketika harga turun. Namun demikian, tanpa ada stimulus fiskal yang signifikan dari pemerintah, rasanya akan sulit lapangan-lapangan yang ada saat ini dikembangkan dengan harga dibawah US$50 per barel. Harus ada terobosan yang radikal terhadap kendala yang dihadapi selama ini, baik komersial, teknis dan non-teknis.
Revisi Target Produksi?
Pertanyaan yang sering muncul, apakah ada urgensi untuk mengubah target produksi migas? Kita harus memahami bahwa target produksi migas yang dicerminkan oleh profil produksi dibangun dengan menggunakan asumsi harga tertentu. Ketika harga tersebut dalam perjalanannya turun drastis, tentu perlu dilakukan koreksi target, karena sebagian proyek menjadi tidak ekonomis untuk dikerjakan.
What Next
Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak lanskap bisnis kedepan, industri hulu migas tidak terkecuali. Sebelum masalah Covid-19 saja, industri migas sudah banyak tantangan, termasuk persaingan kapital mengingat perusahaan migasdengan adanya isu lingkungan global sudah bertransformasi menjadi perusahaan energi terbarukan. Pada era transisi energi ini, alokasi kapital di sektor hulu migas akan cenderung semakin terbatas.
Pada saat ini, semua negara produsen migas sedang menyiapkan regulasi baru sektor hulu migas sebagai antisipasi meningkatkan daya tarik investasi hulu migas. Kita perlu pro-aktif bergerak lebih awal, sebelum ketinggalan kereta.
Mungkin juga inilah saatnya bagi semua pemangku kepentingan sektor hulu migas untuk introspeksi. Pemahaman yang selama ini kurang tepat dan berorientasi jangka pendek semoga memperoleh pembelajaran. Banyak misleading yang perlu diluruskan, di satu sisi ketika investasi migas meningkat dipamerkan sebagai prestasi, ketika investasi tersebut menjadi cost recovery kemudian dihujat. Kalau selama ini cost recovery diharapkan serendah mungkin, dengan menurunnya kegiatan (investasi turun drastis) akibat anjloknya harga, otomatis biaya yang saat ini dikeluarkan (yang nantinya menjadi cost recovery) akan rendah dengan sendirinya, apakah ini yang menjadi tujuan? Rendahnya investasi yang berdampak kedepan berupa produksi turun dan tidak ada penemuan baru ?.
Visi Jangka Menengah dan Panjang
Kebijakan visioner yang berorientasi kedepan mutlak diperlukan di sektor hulu migas. Visi yang menyatakan dan memetakan kemana arah industri migas tersebut akan dibawa, suatu kondisi yang lebih baik, lebih berhasil dan lebih diinginkan dibanding kondisi sekarang.
Sinergi antara pihak yang berkepentingan perlu diperkuat, masing-masing harus melihat kepentingan bangsa yang lebih besar, tidak menghabiskan tenaga untuk berdebat hal-hal receh demi kepentingan jangka pendek yang instan dan populer, yang sibuk bekerja semata-mata dalam rangka mencapai indikator kinerja masing-masing institusi tanpa menyentuh akar permasalahan yang akan dihadapi anak bangsa dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Semoga tidak ada lagi ego sektoral, semua upaya dikerahkan agar industri migas ini tetap survive di era yang sulit ini dan dapat lebih kompetitif dalam jangka menengah dan jangka panjang.(*)
Komentar Terbaru