JAKARTA – PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina New and Renewable Energy (NRE) mendapatkan amanat untuk jadi kunci dalam transisi energi di sektor bahan bakar kendaraan dengan menyediakan bioetanol sebagai pengganti minyak fosil.

Untuk mengejar target penggunaan bioetanol yang dicanangkan pemerintah, Pertamina berencana untuk mengakuisisi pabrik gula guna menambah pasokan bioetanol yang nantinya akan dicampur dengan gasoline.

John Anis, Direktur Utama PNRE, menjelaskan dalam rencana jangka panjang memang harus ada keberlanjutan pasokan dengan memproduksi bioetanol sendiri. Tapi itu tidak mudah karena berbagai tantangan yang harus dihadapi. Di sisi lain pemerintah punya target yang sudah ada di depan mata sehingga akselerasi harus dilakukan, salah satunya dengan membidik perusahaaan gula yang menghasilkan bioetanol untuk diakuisisi, sehingga ada kepastian pasokan bioetanol bagi PNRE.

“Ada rencana jangka panjang di Indonesia, tapi ga mudah. Kita cari solusi lain di dalam negeri kita lihat pabrik gula dimana kita dekati,” kata John dalam diskusi dengan media beberapa hari lalu di Jakarta.

Namun demikian proses untuk akuisisi juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Meskipun ingin mempercepat tapi dia memastikan prosesnya akan dilakukan sesuai dengan regulasi serta mempertimbangkan berbagai faktor. Apalagi masih ada isu krusial tentang bagaimana bioetanol bersaing dengan gula pasir.

“Kalau jadi (akuisisi) paling cepat 1-2 tahun. Masih ada isu bersaing dengan tebu jangan sampai jadi masalah,” ungkap John.

Langkah lainnya adalah dengan mengakuisisi perusahaan yang sudah memiliki kemampuan memproduksi bioetanol secara besar-besaran. John tidak menampik perusahaan asal Brasil jadi kandidat terkuat untuk didekati oleh PNRE.

“Kita ambil dengan lihat kemana nih nggak musti Brasil. Tapi memang mau nggak mau Brasil paling leading. Secara logika leader di sana akhirnya untuk bisa kompetitif juga. Ini harapannya bisa affordable (harganya). Jadi domestik kembangkan, luar kita jaga. Ini untuk kebutuhan segera dan untuk kompensasi kalau dalam negeri nggak cukup kalau punya aset luar bisa menutupin,” jelas John.

Fadli Rahman, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PNRE menjelaskan Indonesia hingga lima tahun ke depan membutuhkan paling sedikit 100 ribu kilo liter (KL) bioetanol dalam setahun. Itu kebutuhan kecil dibandingkan dengan kapasitas produksi dunia saat ini.

“Kita buruh beberapa puluh ribu kilo liter setahun. Maksimal 100 ribu KL dalam 5 tahun ke depan. Dunia produksi 100 juta KL,” ujar Fadli.

Dia menyatakan harapannya jika Indonesia punya akses untuk dapatkan pasokan bioetanol dari luar negeri maka harganya juga bisa ditekan. Sehingga ujungnya produk BBM yang dicampur bioetanol yang dijual ke masyarakat nantinya juga bisa lebih terjangkau.

“Kita kejar dari tempat lain yang harganya akan lebih murah. Setelah kita itung ternyata benar sampai di sini jauh lebih murah untuk saat ini. Skalanya beda jauh memang. Dengan itu mudah-mudahan kita bisa mencapai harga lebih murah dari pada Pertamax green mudah-mudahan,” jelas Fadli. (RI)