JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempersilakan setiap perusahaan, termasuk PT Vale Indonesia Tbk melakukan peralihan saham yang diinginkan. Namun berbeda jika menyangkut kewajiban divestasi, pemerintah akan membahas terlebih dulu dan kemudian memutuskan.
“Ya nanti tergantung menteri ESDM setuju atau tidak (divestasi). Mau divestasi atau business to business? Kalau business to business, ya silahkan saja,” kata Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara ESDM di Jakarta, Selasa (26/3).
Kementerian BUMN sudah terang-terangan menyatakan sudah mempersiapkan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum untuk ambil alih saham Vale yang harus didivestasikan. Namun persetujuan atas negosiasi business to business yang hendak dilakukan antara Inalum dan Vale tidak kunjung disampaikan oleh Kementerian ESDM.
Pihak Vale sampai sekarang masih menantikan jawaban dari Kementerian ESDM atas surat yang disampaikannya.
Dalam pengertian Kementerian ESDM, setiap perubahan kepemilikan saham, baik itu melalui skema business to business ataupun melalui skema divestasi, maka Vale Indonesia harus melaporkannya ke pemerintah untuk mendapatkan persetujuan Menteri ESDM Ignasius Jonan.
“Intinya kalau ada perubahan pemegang saham minta persetujuan menteri, semuanya begitu,” tukas Bambang.
Sesuai dengan mekanisme yang berlaku sebenarnya Vale bisa saja melakukan divestasi melalui aksi korporasi, namun sampai sekarang belum dilakukan. Karena itu apabila menunggu sampai Oktober, maka Vale berkewajiban menawarkan divestasi saham kepada pemerintah. Nantinya evaluasi nilai saham yang akan didivestasi akan dilakukan bersama dengan pemerintah.
Disisi lain, Kementerian BUMN yang sudah dengan tegas akan menunjuk Inalum melakukan akuisisi saham Vale yang akan didivestasi ternyata masih belum bisa melakukan negosiasi harga.
Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, mengatakan pembicaraan antara Inalum dan Vale sudah dimulai, namun tidak terlalu dalam. Pasalnya, Vale ingin memastikan apakah kesepakatan peralihan saham secara business to business sebelum jatuh tempo divestasi pada Oktober dianggap sebagai divestasi.
“Kami tinggal tunggu dari Kementerian ESDM. Kalau ESDM sudah akui untuk divestasi, nanti BUMN akan ditugaskan (Inalum),” kata Fajar.
Tenggat waktu divestasi harus dilakukan paling lambat pada 14 Oktober 2019 atau lima tahun setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 sebagai perubahan ketiga PP No. 23 Tahun 2010.
Vale Indonesia menjadi perusahaan pertama yang mengamendemen kontrak pada 17 Oktober 2014. Amendemen tersebut meliputi pengurangan wilayah kontrak, kenaikan royalti, perpanjangan operasi dalam bentuk izin, serta divestasi.
Vale Indonesia sebelumnya hanya wajib mendivestasikan sahamnya sebanyak 40% sesuai PP Nomor 77 Tahun 2014. Dalam peraturan tersebut, perusahaan yang membangun smelter hanya wajib mendivestasikan sahamnya hingga 40%. Namun setelah revisi keempat, PP No. 1 Tahun 2017 yang baru menyebutkan bahwa seluruh perusahaan penanaman modal asing (PMA) wajib mendivestasikan sahamnya hingga 51% setelah lima tahun berproduksi. Namun, Vale Indonesia menyatakan kewajibannya tetap 40% sesuai kontrak yang telah diamendemen.
Saat ini, sebanyak 20,49% saham Vale Indonesia dikuasai publik yang menguasai kurang dari 5% saham melalui Bursa Efek Indonesia. Vale Canada Limited tercatat menguasai 58,73% saham dan Sumitomo Metal Mining Co.Ltd menguasai 20,09%. Sisanya, Vale Japan Limited menguasai 0,54% dan Sumitomo Corporation menguasai 0,14% saham.(RI)
Komentar Terbaru