JAKARTA – Kebijakan akuisisi PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha PT Pertamina (Persero) oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk sebagai bagian dari pembentukan holding BUMN migas dikhawatirkan bukan langkah terbaik.
Jika ingin menjamin dominasi penguasaan negara sesuai konstitusi, seharusnya perusahaan yang kepemilikan saham negara lebih besar yang mengakuisisi perusahaan yang saham negaranya kecil, bukan sebaliknya. Hal ini telah diterapkan pada holding BUMN tambang, di mana PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum karena 100% milik negara ditetapkan sebagai pemimpin holding, meski lebih kecil dibanding PT Bukit Asam Tbk atau PT Aneka Tambang Tbk.
“Kedua, laba bersih PGN dalam lima tahun terakhir turun berkisar dari US$ 891 juta pada 2012 menjadi US$ 143 juta pada 2017 (turun 84%). Ada kekhawatiran bahwa skema akuisisi yang ditempuh lebih ditujukan untuk melindungi investasi pemegang saham publik dibanding untuk memberi manfaat optimal bagi negara melalui aset-aset yang ada di Pertagas dan PGN. Serta memberi keuntungan terbesar bagi perusahaan induk holding,” kata Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS di Jakarta, Senin (11/6).
Menurut Marwan, jika dibandingkan ternyata laba bersih Pertagas dalam kurun waktu yang sama cukup stabil, yakni berkisar dari US$122 juta pada 2012 menjadi US$ 141 juta pada 2017. Aset PGN meningkat cukup tinggi, yakni dari US$ 2,91 miliar pada 2012, menjadi US$ 6,29 miliar pada 2017. Dalam kurun waktu yang sama, aset Pertagas hanya meningkat dari US$ 727 juta menjadi US$ 1,93 miliar. Namun, ternyata tingkat return on asset (ROA) PGN dalam 5 tahun terakhir justru lebih buruk, turun dari 19% menjadi 2%, yakni turun sebesar -41%. Sedangkan ROA Pertagas justru lebih baik, yakni turun dari 12% menjadi 7%, atau turun hanya sebesar -11,7%. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi investor (pemegang saham) asing di PGN.
Ketiga, kata Marwan, proses konsolidasi melalui akuisisi ingin dituntaskan dengan cepat tanpa memperhatikan kajian aspek-aspek terkait secara komprehensif, termasuk dalam hal organisasi, kelembagaan dan SDM. Hal ini berpotensi merugikan keuangan negara. Dalam hal ini muncul pula kekhawatiran perihal adanya kepentingan oknum-oknum tertentu untuk berburu rente melalui berbagai kegiatan yang terkait dengan penyelesaian proses akuisisi, termasuk dalam hal penetapan nilai kapitalisasi (100%) saham Pertagas dan konsultan penilai.
Keempat, proses konsolidasi dilakukan dalam kondisi organisasi dan manajemen Pertamina sedang tidak optimal. Sebagai pimpinan holding yang telah memperoleh penyerahan saham (inbreng) pemerintah di PGN, mestinya Pertamina memegang peranan yang dominan dalam proses konsolidasi. Yang terjadi adalah direksi Pertamina dirombak tiga kali dalam dua tahun terakhir, direktorat gas sebagai salah satu lini bisnis penting dan masa depan Pertamina dibubarkan, Dirut Pertagas diberhentikan, dan tak kunjung terbitnya pelimpahan kewenangan saham dwi warna pemerintah di PGN kepada Pertamina (Surat Kuasa Khusus, SKU).
Menurut Marwan, dengan langkah-langkah tersebut, jelas peran proses konsolidasi justru leluasa didominasi Kementerian BUMN. Sikap pemerintah ini jelas mengundang tanda tanya, apakah pembentukan holding BUMN migas murni untuk kepentingan ideal bagi negara dan rakyat, atau justru ditumpangi oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki hidden agenda.
“Beberapa agenda yang dikhawatirkan adalah adanya pihak-pihak tertentu, termasuk asing, yang berkepentingan untuk melindungi investasi pada saham PGN, mendapat manfaat dari bisnis ekspor dan impor gas di masa depan, dan lain-lain,” kata Marwan.
Kelima, dengan mengakuisisi saham Pertagas, maka PGN perlu menyiapkan dana besar. Jika PGN tidak mampu, maka alternatifnya adalah dengan skema rights issue saham baru atau dengan peminjaman dana kepada PGN dari Pertamina melalui penerbitan obligasi. Jika skema rights issue yang ditempuh maka saham Pertamina berpotensi terdilusi, sedangkan dengan skema penerbitan obligasi, maka beban keuangan Pertamina akan bertambah. Hal-hal ini menunjukkan bahwa skema akuisisi bukan memberi manfaat, tetapi justru menambah beban bagi Pertamina.
Keenam, dengan skema akuisisi maka dapat saja pemegang saham publik di PGN lebih diuntungkan, dan Pertamina sebagai pemegang 100% saham Pertagas dirugikan, terutama jika nilai 100% saham Pertagas dinilai lebih rendah dari seharusnya. Nilai saham tersebut dapat saja direkayasa menjadi lebih rendah dari seharusnya, jika terdapat oknum-oknum pengambil keputusan mengidap moral hazard dan pihak-pihak asing pun ikut bermain untuk terus dapat mengeruk keuntungan dan berbagai potensi bisnis nasional.
Menurut Marwan, pihaknya meragukan jika skema akuisisi merupakan pilihan terbaik yang harus ditempuh dalam rangka mengonsolidasikan bisnis Pertagas dengan PGN.
“Kita ragu jika Kementerian BUMN telah melakukan analisis untung-rugi (cost/benefit analisys) secara komprehensif, sehingga memilih skema akuisisi. Belum lagi jika aspek-aspek governance, integrasi kelembagaan, organisasi dan SDM, serta fungsi pengawasan oleh DPR dan publik dipertimbangkan,” kata dia.
Di sisi lain, kredibilitas pemerintah pun patut dipertanyakan, terutama jika melihat kebijakan yang telah diambil sebelumnya dalam penguasaan SDA yang seharusnya dikelola BUMN.
“Kementerian BUMN membiarkan “konco-konco” menguasai pengelolaan SDA strategis yang seharusnya dikelola oleh BUMN, seperti kasus pembelian saham Newmont oleh Medco dan Kiki Barki (Amman Mineral), atau saham Chevron pada PLTP Gunung Salak dan Darajat oleh Prayogo Pangestu (Star Energy). Oleh sebab itu, kami meminta agar rencana akuisisi tersebut ditunda atau malah dibatalkan,” tandas Marwan.(RA)
Komentar Terbaru