JAKARTA -Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), bisa segera menjalankan fungsi pengawasannya dalam kisruh yang melibatkan anggota konsorsium di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa 1, menurut pengamat energi. Ahok bisa melakukan intervensi melalui direksi Pertamina untuk meminta penjelasan detail sehingga bisa segera bersikap terkait kisruh di PLTGU Jawa 1.

“Bisa (intervensi) melalui direksi Pertamina. Jika direksi tidak melakukannya, Ahok bisa usulkan ke Erick Thohir (Menteri BUMN) sebagai pemegang saham untuk pecat direksi,” kata Fahmy Radhi, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, kepada Dunia Energi, Selasa (26/11).

Buntut dari kekisruhan konsorsium PLTGU Jawa 1 adalah dengan dicopotnya Ginanjar Sofyan sebagai Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia (PPI) yang merupakan pemimpin konsorsium PT Jawa Satu Power. Dalam konsorsiu ini tergabung dua perusahaan Jepang: Marubeni dan Sojitz. Jawa Satu Power membangun PLTGU berkapasitas 1.760 Megawatt (MW).

Pencopotan Ginanjar dikaitkan “ketidaksukaan” Marubeni Corp dengan gaya kepemimpinan Ginanjar yang dinilai tidak pro-anggota konsorsium.

Berdasarkan informasi yang diterima dari sumber Dunia Energi, Ginanjar cukup aktif dalam memprotes beberapa kebijakan yang melanggar “etika bisnis” dilakukan Marubeni. Dia beberapa kali mengirim surat resmi ke bagian investigasi korporat untuk melihat beberapa keganjilan proyek PLTGU Jawa 1 seperti soal entering fee masuknya Sojitz ke konsorsium pada Juni 2016.

Pertamina sebagai pimpinan konsorsium tidak pernah meminta entering fee sebesar US$ 1,5 juta kepada Sojitz. Ini terkait surat Sojitz pada September 2018 yang menyampaikan kepada PPI bahwa Marubeni meminta “kompensasi” atas bergabungnya Sojitz ke dalam konsorsium dan Sojitz akhirnya menyepakati pembayaran kepada Marubeni. Sojitz mengira bahwa permintaan Marubeni tersebut atas sepengetahuan dan persetujuan PPI, padahal PPI tidak pernah diinformasikan dan diminta persetujuan.

Kemudian ada isu pelanggaran kandungan dalam negeri. Berdasarkan bocoran surat Dirut PPI, Deputi COO JSP (representasi Marubeni) secara diam-diam melakukan pendekatan intensif ke kontraktor EPC untuk menggunakan produk pipa impor dari Marubeni Itochu Steel Inc. Mengutip surat tersebut, Dirut PPI menyatakan bahwa upaya tersebut dapat melanggar Peraturan Menteri Perindustrian tentang TKDN. Hal ini secara terang benderang diatur dalam Power Purchase Agreement (PPA) antara konsorsium dan PT PLN (Persero).

Pengadaan lahan PLTGU Jawa 1 juga hampir merugikan konsorsium. Itu terjadi saat pembelian lahan tambahan untuk Right of Way (ROW) pada 2018 seluas 21 hektare . PPI selalu menyampaikan kepada konsorsium bahwa keekonomian proyek Jawa-1 berada di “zona kuning”. Dengan demikian, setiap potensi penghematan pada Proyek harus dioptimalkan untuk menjaga, bahkan menaikkan IRR proyek untuk kembali ke “zona hijau” (hurdle rate).

Namun, konsorsium Jawa Satu Power hampir kehilangan potensi penghematan US$ 12 Juta dalam beberapa kali proses negosiasi dengan kontraktor pembebasan lahan akibat dorongan kuat Marubeni yang menyetujui penawaran harga lahan awal dari kontraktor dengan alasan tata waktu yang ketat. Padahal saat itu harga yang ditawarkan lebih tinggi tiga kali lipat dari harga lahan yang dibeli konsorsium dari PT Pertamina Gas (Pertagas) di lokasi yang sama. Untungnya PPI berhasil memperoleh harga lahan hanya 1/6 dari penawaran awal kontraktor atau 1/3 dari harga lahan Pertagas.

Arya Sinulingga, Staf Khusus Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), secara terpisah menuturkan bahwa keberadaan Ahok memang diperuntukkan untuk mengawasi kinerja para direksi agar bisa mencapai target perusahaan dan memastikan tidak adanya kepentingan lain yang menghambat berbagai upaya mencapai target tersebut.

Menurut dia Ahok bisa saja melakukan teguran ke direksi asalkan sesuai dengan wewenang yang memang sudah diatur dalam aturan. “Jadi selama itu menjadi kewenangan komisaris kita harapkan pak Ahok bisa menjadi ketua kelasnya para komisaris,” kata Arya.

Kementerian BUMN kali ini akan benar-benar meminta komisaris menjalankan fungsinya secara optimal sehingga fungsi dari kementerian melakukan pengawasan day to day ke BUMN bisa dialihkan ke komisaris. “Sayang kita melantik atau memilih orang banyak untuk jadi komisaris tapi akhirnya yang melakukan pengawasan detail kementerian lagi, kan fungsi dari komisaris adalah perpanjangan tangan stakeholder di masing-masing BUMN,” jelas Arya. (RI)