JAKARTA- Pengembangan bioenergi di lahan marginal menjadi peluang strategis yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Pemanfaatan lahan marginal untuk bioenergi harus menjadi prioritas pembangunan nasional lima tahun ke depan.

Menurut Ali Achmudi Achyak, pengamat energi dan lingkungan dari Universitas Indonesia, ketahanan pangan dan energi yang berkelanjutan harus diwujudkan dengan memanfaatkan lahan-lahan yang selama ini kurang produktif. Pengelolaan lahan marginal juga harus dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem. “Prinsip dasar pembangunan berkelanjutan wajib dijadikan pijakan setiap kebijakan pemerintah,” ujar Ali kepada Dunia Energi, Senin (13/1/2025).

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Prof Yanto Santosa sebelumnya menyatakan bahwa kawasan hutan terdegradasi di Indonesia, yang mencakup sekitar 31,8 juta hektare, menawarkan peluang besar untuk mendukung ketahanan pangan dan energi. Pemanfaatan lahan ini untuk kegiatan pertanian, termasuk pengembangan kelapa sawit, tidak dapat dikategorikan sebagai deforestasi jika dilakukan pada area yang sudah tidak berhutan.

Kelapa sawit, salah satu komoditas utama Indonesia, juga memiliki potensi besar dalam mendukung ketahanan energi melalui produksi biodiesel. Taantangan yang dihadapi termasuk rendahnya produktivitas kebun sawit rakyat, yang rata-rata hanya mencapai 3,429 ton CPO/ha/tahun, jauh lebih rendah dibandingkan produktivitas kebun sawit swasta sebesar 4,4 ton CPO/ha/tahun. Sementara itu, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang bertujuan meningkatkan produktivitas sering kali terhambat oleh persoalan legalitas lahan.

Ali mengungkapkan, penerapan konsep trilema energi dalam setiap kebijakan energi nasional. Konsep ini terdiri atas tiga aspek, yakni ketersediaan energi, keekonomian energi, dan dampak terhadap lingkungan. Dengan mengintegrasikan ketiga aspek ini, pemerintah dapat memastikan bahwa kebijakan energi tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga berkelanjutan untuk masa depan. “Energi terbarukan, khususnya bioenergi, memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan energi harus diarahkan pada diversifikasi sumber energi yang ramah lingkungan,” ujarnya.

Salah satu peluang besar yang diidentifikasi Ali adalah pemanfaatan lahan marginal atau kawasan hutan terdegradasi. Lahan-lahan ini, yang selama ini kurang produktif, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bioenergi melalui penanaman tanaman bernilai ekonomi tinggi. Contohnya adalah kelapa sawit, yang tidak hanya menghasilkan CPO untuk pangan tetapi juga limbah yang dapat diolah menjadi energi. Selain kelapa sawit, ada pula tanaman energi lain seperti kaliandra, gamal, sorgum, dan lamtoro gung yang cocok dengan karakteristik lokal. “Jika dikelola dengan baik, lahan marginal ini bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat sekitar,” katanya.

Pengembangan lahan marginal sebagai sumber bioenergi memerlukan perencanaan yang matang dan dukungan kebijakan yang jelas. Ali menekankan pentingnya peta jalan (roadmap) yang rinci untuk memastikan arah pengembangan lahan marginal ini sesuai dengan tujuan awal. Peta jalan tersebut harus mencakup tujuan produksi, apakah difokuskan pada pangan, energi, atau keduanya. Roadmap ini juga harus mempertimbangkan potensi limbah sawit yang dapat diolah menjadi energi listrik dan non-listrik. “Dengan demikian, arah pengembangan bioenergi akan lebih terarah dan efektif,” ujar Ali yang akhir Januari ini promosi doktor pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Dalam penyusunan roadmap tersebut, lanjut Ali, pemerintah juga harus melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Menurut Ali, koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, investor, BUMN, dan LSM sangat penting untuk menghindari konflik lahan. Kepastian hukum menjadi faktor utama yang harus dipastikan agar semua pihak memiliki kepercayaan untuk berinvestasi dan berpartisipasi dalam proyek ini. Tanpa adanya kepastian hukum, pengembangan lahan marginal berpotensi menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan. “Oleh karena itu, regulasi yang jelas dan tegas sangat diperlukan,” katanya.

Selain regulasi, Ali juga mendorong pemerintah untuk menyusun blue print pengembangan bioenergi secara komprehensif. Blue print ini harus mencakup parameter-parameter penting seperti keberlanjutan lingkungan, efisiensi energi, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka ini, konsep transisi energi yang berkeadilan juga harus menjadi perhatian utama. Artinya, setiap kebijakan energi harus mampu memberikan manfaat yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat. “Dengan blue print yang jelas, arah pembangunan energi nasional akan lebih terstruktur dan terarah,” katanya.

Ali juga menyoroti pentingnya pengembangan varietas tanaman energi yang sesuai dengan karakteristik lokal. Penelitian dan pengembangan (R&D) terhadap tanaman-tanaman lokal perlu ditingkatkan untuk menghasilkan varietas unggul. Tanaman-tanaman seperti jarak, kemiri sunan, dan kaliandra dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan energi tanpa merusak lingkungan. Selain itu, pengembangan varietas lokal juga mampu meningkatkan kemandirian energi nasional. “Dengan dukungan teknologi yang tepat, hasil produksi bioenergi dari tanaman ini akan lebih optimal,” katanya.

Dalam konteks keberlanjutan, Ali menegaskan perlunya menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan kelestarian lingkungan. Dia menekankan bahwa pengembangan bioenergi harus dilakukan tanpa merusak ekosistem yang ada. Ssetiap proyek pengembangan energi harus melalui analisis dampak lingkungan yang ketat. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa proyek tersebut tidak akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan di sekitarnya. “Dengan pendekatan yang bijak, pengembangan energi bisa menjadi solusi atas masalah lingkungan, bukan sebaliknya,” katanya.

Pemerintah juga didesak untuk memperhatikan aspek sosial dalam pengembangan bioenergi. Menurut Ali, partisipasi masyarakat lokal sangat penting dalam setiap tahap proyek. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk terlibat, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai pemilik lahan. Dengan demikian, pengembangan bioenergi akan memberikan dampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat juga akan mengurangi potensi konflik sosial.

Ali menyampaikan bahwa pengembangan bioenergi di lahan marginal merupakan peluang besar bagi Indonesia. Jika dikelola dengan baik, program ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan energi nasional tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan. Ia berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret dengan menyusun blue print dan roadmap yang jelas. Dengan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan investor, cita-cita mewujudkan ketahanan pangan, energi, dan lingkungan yang berkelanjutan dapat tercapai. “Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil memberikan manfaat jangka panjang bagi seluruh masyarakat,” jelas Ali. (DR)