JAKARTA – Indonesia dikenal sebagai negara dengan cadangan panas bumi terbesar kedua terbesar di dunia, namun pemanfaatannya belum optimal. Dari total sumber daya panas bumi 24 gigawatt (GW), baru dimanfaatkan 2,6 GW atau sekitar 10%. Akselerasi pemanfaatan panas bumi  menjadi momentum yang tepat dalam transisi energi menuju target dekarbonisasi pada 2060 atau lebih awal yang dicanangkan pemerintah.

Yurizki Rio, Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) atau PGE, menjelaskan beberapa tahun kebelakang Indonesia seakan lepas landas untuk mewujudkan target transisi energi. Panas bumi memiliki capacity factor besar, berkisar 90-100%, dan memberikan kepastian bagi konsumen sehingga sangat tepat jadi andalan dalam mengejar transisi energi. “Panas bumi juga kebetulan lokasinya terkonsentrasi di major island, yang memiliki high demand listrik untuk masa kini dan masa datang,” kata Yurizki saat berbicara pada DETalk bertema “Pengembangan Sektor Ketenagalistrikan untuk Mencapai Swasembada Energi di era Pemerintahan Baru”  yang diselenggarakan Dunia Energi, Selasa (26/11).

Menurut Yurizki, salah satu faktor lain yang bisa membuat panas bumi jadi tulang punggung (backbone) menuju swasembada energi adalah dengan adanya koneksi jaringan listrik dari PLN yang optimal. Pemanfaatan panas bumi bakal langsung berdampak terhadap pengurangan penggunaan energi fosil atau migas. “Penggunaan energi dari panas bumi sebesar 1 MWh sama dengan memangkas penggunaan 1,87 barel setara minyak (BOE),” katanya.

PGE menjadi aktor utama pengembangan panas bumi di Indonesia. Perusahaan saat ini memiliki kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) terbesar dengan 13 wilayah kerja panas bumi (WKP) dan total kapasitas terpasang sebesar 1.877 Mega Watt (MW) yang dioperasikan, terdiri atas 672 MW dioperasikan sendiri dan 1.205 MW melalui Joint Operation Contract (JOC). Dengan berbagai keunggulan yang ada maka wajar menjadikan panas bumi sebagai backbone menuju swasembada energi.

“Panas bumi sebagai based load resources, tidak bisa dimungkiri panas bumi menjadi backbone transisi energi siap menggantikan fossil fuel,” ungkap Yurizki.

PGE dengan kemampuannya dalam mengembangkan asset, lanjut Yurizki, optimistis bakal menjadi mesin utama untuk membentuk ekosistem panas bumi di Indonesia. Indikatornya, saat ini PGE telah mencatat cadangan panas bumi terbukti dengan kapasitas sebesar 1,1 GW. Selain itu, ada ekstra tambahan potensi cadangan yang siap untuk dieksplorasi dengan kapasitas 2,1 GW. “Total 3,1 – 3,2 GW, dan itu 75% berada lapangan kami, lokasi di area pengembangan jadi bisa dipercepat,” ujar dia.

Dalam 10 tahun ke depan PGE berencana meningkatkan kapasitas terpasangnya secara masif. Pada 2028, misalnya, perusahaan berencana meningkatkan kapasitas terpasang PLTP menjadi 1 GW dari posisi saat ini 672 MW. Dua tahun kemudian atau tahun 2030 meningkat lagi menjadi 1,3 GW. Pada 2035, PGE memproyeksikan kapasitas terpasang PLTP tumbuh menjadi 1,7 GW .

Untuk meningkatkan kapasitas tersebut, PGE bakal memanfaatkan pendanaan internal perusahaan yang masih tersedia setelah dilakukannya Initial Public Offering (IPO). “Kami memiliki strong financial power US$650 juta 60% dari IPO, 40% dana operasional ini ruang besar untuk dapatkan financing tambahan jika diperlukan support,” ujar Yurizki.

Faldolly Ardin, Subkoordinator Perencanaan Wilayah Usaha Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan untuk mendukung pemanfaatan panas bumi jaringan listrik memang menjadi kunci. Untuk itu pemerintah telah membuat peta jalan pengadaan supergrid sebagai kunci dalam transisi energi. “Melalui pembangunan supergrid, investasi pembangkit EBT menjadi lebih menarik (karena lokasi biasanya jauh dari demand),” kata Faldolly.

Warsono, Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN, menyatakan PLN telah mengembangkan Accelerated Renewable Energy Development (ARED) yang didalamnya termasuk pengembangan super grid. Melalui implementasi ARED maka ditargetkan bisa dilakukan akselerasi dalam penyediaan EBT lebih cepat 75% dibandingkan business as usual. “Ini bisa menjadi solusi dari kondisi mismatch yang terjadi antara potensi EBT dengan pusat kebutuhan listrik,” ungkap Warsono.