JAKARTA – Indonesia mencatatkan penurunan emisi pada tahun 2023 jika dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu terungkap dalam laporan terbaru Global Carbon Budget. Dalam laporan tersebut emisi karbon Indonesia dari bahan bakar fosil tercatat sebesar 733,2 juta ton pada 2023, turun dibandingkan dengan level emisi pada 2022.
Dari sektor lahan, Indonesia, bersama dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo, menyumbang sekitar 60% dari total emisi CO2 akibat perubahan penggunaan lahan global. Indonesia menjadi salah satu negara yang berperan besar untuk mengurangi emisi global akibat deforestasi dan perubahan fungsi lahan, yang terus menjadi tantangan besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Novita Indri, Pengkampanye Energi Fosil Trend Asia, mengungkapkan di tengah tren penurunan emisi global, ada kekhawatiran atas apa yang sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Masih dibangunnya PLTU batubara baru hingga penggunaan turunannya seperti gasifikasi dan batubara tercairkan sebagai bagian dari energi baru akan membayangi upaya keberhasilan kita untuk menekan laju emisi.
“Sudah seharusnya, Indonesia serius untuk melepaskan diri dari ketergantungan batubara demi keberhasilan mencapai Perjanjian Paris dan hidup di bumi yang layak,” kata Novita, Rabu (13/11).
Lebih lanjut, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, menilai Indonesia telah memiliki komitmen untuk menurunkan emisi melalui inisiatif FOLU Net Sink 2030, di mana sektor hutan dan lahan akan menyerap emisi lebih banyak dibanding emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Komitmen tersebut diakui dan diapresiasi oleh dunia dan negara-negara pemilik hutan tropis terluas.
“Sayangnya, Indonesia belum secara tegas menempatkan posisinya dalam mencegah deforestasi, salah satunya untuk bergabung dalam Forest and Climate Leaders’ Partnership (FCLP)”, ungkap Nadia.
Selain itu, untuk memastikan inisiatif ini berjalan dan diimplementasikan dengan nyata, pemerintah Indonesia harus memiliki komitmen yang kuat, serta menyelaraskan antara kebijakan penurunan emisi sektor hutan dan lahan dengan kebijakan energi agar tidak kontraproduktif”.
Global Carbon Budget adalah laporan tahunan yang telah melalui proses tinjauan sejawat (peer-reviewed) dari Global Carbon Project yang bekerja sama dengan Future Earth dan World Climate Research Programme. Sejak 2006, laporan ini telah menjadi standar emas dalam melaporkan emisi karbon dan penyerapan karbon, serta mengukur kemajuan menuju pencapaian tujuan Perjanjian Paris. Laporan ini selalu menjadi bahan yang berguna sekaligus acuan dalam KTT tahunan Conference of the Parties (COP).
Laporan tahun ini disusun oleh 120 peneliti internasional dan akan dipublikasikan di jurnal Earth System Science Data sebagai preprint dan kemudian sebagai artikel yang telah melalui proses tinjauan sejawat.
Emisi karbon global dari bahan bakar fosil diperkirakan mencapai rekor tertinggi 37,4 miliar ton pada 2024, naik 0,8% dari 2023. Meski demikian, sejauh ini belum ada tanda-tanda dunia akan mengurangi emisi karbon dari sektor energi fosil agar segera mencapai puncaknya. Dalam sepuluh tahun terakhir, emisi dari bahan bakar fosil mengalami peningkatan.
Dalam lporan ini juga menemukan, emisi karbon dari sektor alih fungsi lahan cenderung turun dalam sepuluh tahun terakhir, dengan perkiraan emisi tahun ini sebesar 4,2 miliar ton. Namun, pada tahun ini, baik emisi karbon dari bahan bakar fosil maupun perubahan penggunaan lahan diperkirakan akan meningkat, menyusul terjadinya kekeringan yang memperburuk emisi akibat deforestasi dan kebakaran hutan selama fenomena El Niño 2023-2024.
Dengan lebih dari 40 miliar ton CO2 yang dilepaskan setiap tahunnya, tingkat CO2 di atmosfer terus meningkat, yang mendorong semakin parahnya pemanasan global dan dampaknya. Meski demikian, tidak ada tanda-tanda bahwa emisi dari pembakaran fosil telah mencapai puncaknya.
“Waktu semakin terbatas untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris, dan para pemimpin dunia yang berkumpul di COP29 harus segera mengambil langkah tegas dan cepat untuk mengurangi emisi bahan bakar fosil agar kita memiliki kesempatan untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah 2°C dari tingkat pra-industri. Hingga kita mencapai net zero untuk emisi CO2, suhu dunia akan tetap meningkat dan menyebabkan dampak yang semakin parah,” kata Pierre Friedlingstein, Global Systems Institute, Universitas Exeter, sekaligus pemimpin studi Laporan Global Carbon Budget.
Komentar Terbaru