PRODUKSI minyak satu juta barel per hari tahun 2030 hingga kini masih sebuah mimpi sekaligus harapan. Bagaimana tidak? Realisasi produksi minyak pada semester 1 tahun ini saja tercatat disekitar 570an ribu barel per hari. Bagaimana mungkin bisa melonjak drastis di sisa enam tahun mendatang? Ungkapan pesimistis terus menerus terdengar jika bicarakan target produksi minyak. Ditambahlagi kegiatan eksplorasi yang dinilai jadi jalan terbaik untuk meningkatkan produksi secara sigfnifikan juga pasti memerlukan waktu tidak sebentar. Katakanlah ditemukan cadangan minyak dalam jumlah jumbo alias giant discovery, tapi semburan minyak pertama (first oil) bisa membutuhkan waktu rata-rata lebih dari lima tahun. Lalu apakah sudah tidak ada jalan lain yang lebih cepat?
Sebenarnya ada satu cara yang diyakini bisa mendongkrak produksi minyak. Berbeda dengan eksplorasi yang masih bergantung dengan peluang 50 : 50 lantaran apa yang ada di dalam perut bumi tidak bisa dipastikan, cara satu ini justru sebaliknya cadangan yang terkandung dalam perut bumi sudah dipastikan jenisnya hanya tinggal metode mengurasnya saja.
Enhanced Oil Recovery (EOR) dinilai jadi harapan terbaik untuk bisa meningkatkan produksi minyak secara signifikan dengan waktu yang relatif lebih cepat ketimbang memburu giant discovery. Pemerintah bahkan menjadi EOR sebagai salah satu strategi peningkatan produksi migas nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Total tambahan produksi dari EOR saja yang dicanangkan dalam RUEN mencapai 100 ribuan barel per hari.
Tidak sembarang Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bisa implementasikan EOR. Kegiatan pengurasan minyak itu pernah dilakukan di blok Rokan melalui mekanisme water and steam flood. Ada dua level EOR yang belum pernah dilakukan di Indonesia yaitu CO2 injection dan Chemical Injection. Dua mekanisme EOR itu layaknya sebuah mitos di tanah air. Lama dibahas tanpa pernah terlihat realisasinya.
Baru-baru ini atau tepatnya pada 14 Oktober 2024, EOR kembali menjadi buah bibir. Adalah Pertamina yang kembali mencuri perhatian insan migas tanah air melalui injeksi lanjutan CO2 di Lapangan Sukowati yang masuk dalam wilayah zona 11, Pertamina EP Cepu (PEPC), Regional 4 Pertamina Hulu Energi (PHE). Ini jadi babak baru upaya peningkatan produksi minyak Indonesia melalui injeksi CO2.
Proses kali ini boleh jadi salah satu pencapaian terjauh dalam mengimplementasikan EOR yaitu sudah memasuki C02 inter-well injection atau uji coba tahap kedua setelah injeksi tahap pertama yang dilakukan dengan metode Huff and Puff di Lapangan Sukowati pada akhir tahun 2023.
Lapangan Sukowati sebenarnya sudah lama berpredikat sebagai kandidat penerapan injeksi CO2. Berbagai kajian yang melibatkan partner strategis juga pernah dilakukan di sana.
Kajian implementasi injeksi CO2 makin diintensifkan pada tahun 2021 hingga akhirnya tahun 2023 tahap Huff and Puff dimulai. Puncaknya pada awal tahun 2024 lalu tepatnya di Februari sebanyak 500 ton CO2 mulai diinjeksikan ke sumur Sukowati-18 (SKW-18) selama 7 hari.
Kemudian Pertamina kembali melakukan gebrakan di bulan Oktober tahun 2024 ini membuat lapangan Sukowati sebagai lapangan migas pertama di Indonesia yang paling dekat dengan penerapan EOR secara komersial.
Proses diinjeksikannya kembali CO2 ke dalam reservoir di Indonesia bukan perkara “sepele”. Selain jadi salah satu strategi untuk meningkatkan produksi minyak nasional, urusan injeksi CO2 ini merupakan praktik yang kini tengah “booming” dan hampir di seluruh sektor industri mau mengembangkannya yaitu teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS). Pertamina tidak sendiri dalam menerapkan EOR, tapi menggandeng pihak yang memang telah memiliki jam terbang tinggi di bidang EOR.
Pertamina menggandeng Japan Organization for Metals and Energy Security (JOGMEC) dan Japan Petroleum Exploration Company Limited (JAPEX) untuk memastikan tahapan, proses serta teknologi yang digunakan tepat.
Oki Muraza, SVP Research & Technology Innovation Pertamina, saat dihubungi Dunia Energi menjelaskan Injeksi CO₂ di Sukowati bulan Oktober 2024 ini dilakukan pada tahap ketiga, yaitu tahap injeksi inter-well, di mana CO₂ diinjeksikan ke satu sumur injektor dan respons produksinya dimonitor di tiga sumur terdekat.
“Injeksi CO₂ dimulai pada 8 Oktober dengan laju alir 100 ton/hari hingga 1 November 2024, selama 25 hari, dengan total volume CO₂ sebesar 2.500 ton,” jelas Oki kepada Dunia Energi, Selasa (29/10).
Dia menuturkan tahap Inter-Well dilakukan Pertamina karena telah melalui tahap lainnya yaitu pertama Studi laboratorium dan model GGR (Geology, Geophysics, and Reservoir). Kemudian percobaan injeksi metode Huff and Puff.
Apabila setelah tahapan ketiga selesai dilalui maka akan berlanjut ke tahap injeksi CO2 secara maksimal, tentu dengan mempertimbangkan potensi CO2 terdekat.
Oki menuturkan bahwa tahap komersial injeksi CO2 di Sukowati nanti rencananya dibagi menjadi dua, berdasarkan sumber CO2-nya.
Tahap pertama dijadwalkan untuk tahun 2029, dengan memanfaatkan sumber CO2 dari lapangan terdekat. Lapangan Sukowati sendiri memiliki kandungan CO2 sekitar 30% dari komposisi gasnya.
“Kita mencitacitakan kelak akan ada scale dengan kapasitas sekitar 75-100 Juta Kaki Kubik Gas Per Hari (MMscfd). Pada tahap komersial kelak, CO2 akan disuplai dari Jambaran Tiung Biru (JTB), yang sekarang sudah beroperasi,” jelas Oki.
Selanjutnya akan dibangun pipa sepanjang 35 km dari JTB ke Sukowati untuk menyalurkan CO2. “Serta peningkatan fasilitas permukaan baru untuk pemisahan dan penangkapan CO2 (capture facilities),” ujar Oki.
Dia optimistis dengan dukungan berbagai pihak maka lapangan Sukowati bisa memberikan hasil optimal yang nantinya juga bisa menjadi lesson learn untuk pengembangan EOR di tanah air. “ Kita monitor sama-sama semoga hasilnya bagus. Tujuannya meningkatkan produksi minyak,” tegas Oki.
Sukowati Paling Menjanjikan
Tutuka Ariadji, Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga mantan Direktur Jendral Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan bahwa harus diakui bahwa sampai saat ini satu pihak yang jadi pioneer dalam pengembangan lapangan migas dengan EOR adalah Pertamina.
Dia menuturkan untuk sekarang implementasi EOR dalam kondisi real practice skala lapangan adalah hanya injeksi uap di Lapangan Duri, Rokan. Namun itu dulu diinisiasi oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI). Sementara Pertamina memilih untuk “loncat” di Rokan dengan menginisiasi Chemical EOR.
“Untuk di Rokan sendiri sudah ada planning-nya dengan tahap awal dimulai sebelum 2030 untuk dilihat keberhasilannya guna tindak lanjut skala lapangan yang lebih besar,” kata Tutuka saat berbincang dengan Dunia Energi belum lama ini di Jakarta.
Satu kegiatan EOR lainnya yang justru dinilai paling maju di Indonesia adalah injeksi CO2 di lapangan Sukowati. Menurut Tutuka peluang keberhasilan pelaksanaan EOR satu ini sangat besar.
“Menurut saya, one of the best kandidiat, paling bagus, untuk injeksi CO2 (di Sukowati). Targetnya rata-rata sekitar 2030 dengan tujuan untuk mengejar target 1 juta barel per hari,” ungkap Tutuka.
Secara teknis, keberhasilan EOR CO2 di Sukowati kata Tutuka tergantung dari tekanan CO2 yang diinjeksikan, semakin cepat itu semakin baik. Dalam injeksji CO2 itu ada parameter Minimum Miscibility Pressure (MMP) dimana apabila diinjeksikan diatas tekanan MMP itu, maka CO2 bisa tercampur dengan minyak. MMP itu sendiri adalah karakteristik dari minyak itu. Karena makin lama tekanan reservoir akan semakin turun akibat diproduksikan, maka akan semakin jauh dari MMP sehingga semakin jauh dari kondisi terjadi injeksi tercampur.
“Dengan demikian, seharusnya segera diimplementasikan. Secara teoritis, injeksi CO2 tercampur itu bisa mencapai RF (Recovery Factor) sekitar 90%, untuk diaplikasikan ke lapangan bisa mencapai 70% minyak terambil,” jelas Tutuka.
Dia menilai injeksi CO2 di Sukowati ini bisa jadi pemantik untuk EOR CO2 di tempat lain. Di Lapangan Sukowati telah dilakukan pilot-pilot injeksi dan produksi di sumur yang sama, dikenal dengan Huff and Puff itu tadi. “Untuk selanjutnya sebagai pemahaman dalam melaksanakan full-field ke depan,” ungkap Tutuka.
Pada dasarnya menurut Tutuka untuk bisa segera merealisasikan EOR secara masif pertama harus ada komunikasi yang baik antara Pemerintah dan KKKS. Menurutnya sangat penting untuk mengetahui apa yang dibutuhkan, dan apa yang menjadi kendala. Hal ini akan membangun kepercayaan. KKKS bisa menyampaikan programnya secara detil, sementara bagi pemerintah memfasilitasi apa yang dibutuhkan KKKS.
“Perlu keterbukaan antara Pemerintah dan KKKS untuk mencari solusi dan mencari kesepemahaman dan kesepakatan,” ungkap Tutuka.
Selain itu menurut Tutuka industri migas memerlukan teknologi yang terus dimutakhirkan, tidak bisa mengandalkan hanya yang tersedia saat ini. Terlebih teknologi EOR itu mempunyai ciri khas pemutakhiran untuk efektifitas dan pengurangan biaya. Disini letak pentingnya Research and Development terapan langsung lapangan itu sebagai riset berkelanjutan dengan hasil laboratorium seperti lapangan dan sumur-sumur migas sebagai terapan riset. Rumus umumnya adalah siapapun yang menguasai teknologi paling ampuh dan berbiaya kompetitif, maka akan menguasai pangsa pasar. “Laboratoriumya itu laboratorium nyata/real, industri migas memiliki sarana prasarana untuk itu,” ujar Tutuka.
Dapat Dukungan Pemerintah
Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mengungkapkan penerapan EOR merupakan langkah paling strategis dan paling memungkinkan yang bisa dilakukan saat ini jika mau meningkatkan produksi.
“Saya sudah bicara sama Pertamina, sama SKK Migas, ternyata dalam pengalamannya, kalau diintervensi dengan teknologi, itu bisa meningkatkan 20% dari total lifting kita sekarang,” ungkap Bahlil belum lama ini saat ditemui di Kementerian ESDM.
Dia mengakui dalam pelaksanannya, EOR membutuhkan modal besar. Tapi dia optimistis kondisi harga minyak saat ini bisa jadi momentum tepat untuk mengeksekusi proyek EOR. Pemerintah kata Bahlil berjanji bakal mengakomodasi para pelaku usaha untuk meningkatkan kegiatannya dalam rangka peningkatan lifting migas salah satunya melalui regulasi yang mendukung keberlanjutan investasi. Dukungan itu juga termasuk dalam penerapan teknologi seperti EOR.
“Kalau kita melihat perkembangan yang ada sekarang rasanya rata-rata US$80 per barel itu masih masuk EOR. Saya sudah hitung juga kok,” ungkap Bahlil.
Untuk tahap awal dalam implementasi penerapan EOR di Indonesia, Pertamina diyakini tidak bisa sendiri. Pemerintah telah mendorong Pertamina untuk bekerjasama dengan perusahaan China, Sinopec yang punya pengalaman serta teknologi dalam implementasikan EOR. “Kita sudah melakukan dengan melakukan kerjasama dengan beberapa perusahaan, baik dari Amerika dan Cina. Salah satu intervensi di seluruh dunia adalah EOR,” ujar Bahlil.
Benny Lubiantara, Deputi Eksplorasi Pengembangan dan Manajemen Wilayah Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan bahwa Pertamina jadi aktor penting dalam upaya meningkatkan produksi migas nasional, selain karena tentu saat ini lebih dari 60% penguasa blok migas di tanah air adalah Pertamina tentu diharapkan ada upaya ekstra BUMN migas plat merah itu dalam memaksimalkan potensi cadangan migas yang masih tersisa di blok yang dikelolanya.
Harapan itu menurut Benny sebenarnya sudah cukup terjawab dengan upaya yang telah ditempuh Pertamina sejauh ini, khususnya untuk urusan EOR. Ada dua wilayah yang secara jelas menunjukkan progres nyata yaitu di chemical EOR di blok Rokan dan CO2 EOR di lapangan Sukowati.
Khusus untuk Sukowati, pemerintah optimistis dengan peningkatan produksi yang diproyeksi bakal terjadi. Beberapa skenario peningkatan sudah disusun dengan adanya injeksi di sana. “Update dari tim EOR, peningkatan produksi 9.000 barel per hari (high case), 7.000 barel per hari (mid case), 5.000 barel per hari (low case),” kata Benny saat dihubungi Dunia Energi, Senin (28/10).
Pemerintah kata Benny mengakui, penerapan EOR di tanah air bukan tanpa tantangan. Utamanya adalah perkara keekonomian proyek. EOR sebenarnya bukan barang baru di industri migas, berbagai kajian pernah dilakukan tapi berhenti di tengah jalan karena secara keekonomian tidak memungkinkan untuk dilanjutkan. Oleh karena itu sudah disiapkan insentif bagi kontraktor yang memilih jalan EOR dalam strategi peningkatan produksi minyaknya dengan harapan hal itu bakal langsung memberikan efeknya terhadap keekonomian proyek.
“Dulu orang melihat EOR keekonomian kurang ekonomis dan sebagainya, sekarang kami sedang siapkan Kepmen khusus EOR supaya nggak satu-satu mengajukan. Sebenarnya sekarang sudah ada kepmen 199 insentif hulu migas, tapi ini kan supaya lebih masif jadi akan ada kepmen khusus EOR langsung split sekian nggak perlu minta,” jelas Benny.
Proyek EOR bakal diperlakukan sama seperti kontraktor yang menggarap blok Migas Non Konvensional (MNK). Benny menegaskan pemerintah bertekad agar insentif ini bisa segera dirilis sehingga berbagai proyek EOR yang sebenarnya sudah direncanakan bisa langsung dieksekusi.
“Sama seperti MNK kalau sekarang ada pakai new gross split. Nanti EOR kenapa tidak? Karena EOR itu nggak gampang. Sebelum akhir tahun ini bisa selesai Kepmennya,” ujar Benny.
Karena risikonya yang tinggi Pertamina juga tetap bisa membuka diri mencari mitra tambahan. Saat ini memang sudah ada mitra asal Jepang tapi tidak ada salahnya merangkul mitra yang memang memiliki pengalaman menggarap proyek EOR secara langsung. “Kalau idealnya ada partner, mitigasi risiko bermitra dengan yang punya pengalaman melakukan injeksi CO2. Kalau chemical EOR china, CO2 EOR dimana? Jepang ada , China ada. Intinya bermitra supaya mitigasi risiko dan mempercepat implementasi,” jelas Benny.
Indonesia memiliki potensi menjadi besar dalam Carbon Capture Storage (CCS) atau CCUS dan demi menangkap peluang tersebut, saat ini Pertamina berkolaborasi bersama berbagai mitra strategis untuk pengembangan CCS/CCUS di seluruh Indonesia. Selain di Lapangan Sukowati, Pertamina juga tengah mengembangkan program CCS/CCUS di 7 lokasi lainnya di seluruh Indonesia yaitu di Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Asri Basin, Jatibarang, Gundih, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah.
Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, pernah menyatakan penerapan EOR melalui injeksi CO2 yang ada di Sukowati tidak hanya dalam rangka menjaga komitmen Pertamina dalam mempertahankan dan meningkatkan produksi di lapangan-lapangan yang sudah berumur tua tapi bisa jadi pintu gerbang injeksi CO2 lainnya yang di lapangan yang memiliki jauh lebih besar cadangan migas namun memiliki kandungan CO2 yang tinggi, sebut saja Blok Natuna yang memiliki kandungan CO2 mencapai lebih dari 70%.
“Kalau injeksi CO2 bisa diterapkan di dua lapangan itu, kami ada Natuna yang CO2-nya tinggi. Nah itu bisa diterapkan di Natuna nanti,” kata dia.
Blok East Natuna sudah ditugaskan pemerintah ke Pertamina untuk dikelola. Blok ini memang sudah lama diproyeksikan pemerintah memiliki cadangan gas dalam jumlah besar. Tapi dibalik itu kadungan CO2-nya juga sangat tinggi mencapai 72%. Ini yang menyebabkan gas di East Natuna sudah bertahun-tahun tidak termonetisasi lantaran butuh biaya besar dan teknologi canggih.
Urusan industri hulu migas memang tidak jauh-jauh dari keekonomian. Urusan teknologi masih bisa dikejar namun urusan keekonomian ini yang membutuhkan dukungan berbagai pihak khususnya pemerintah.
Hadi Ismoyo, Praktisi Migas yang juga mantan Sekretaris Jendral Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), menyatakan pemerintah harus All Out dalam mendukung Pertamina ataupun KKKS yang menggarap proyek EOR. Bahkan sampai pada tahap pengadaan berbagai keperluan proyek. “Tugas pemerintah memberikan isentif dan split khusus kepada lapangan lapangan yg dilakukan EOR. Kemudian full support SCM (Supply Chain Management) termasuk speed up proses pengadaan,” tegas Hadi.
Pemerintah menurut Hadi juga harus tegas memberantas persoalan non teknis termasuk intervensi kepentingan short cut pihak-pihak tertentu berbasis project. “Full support terkait simplifikasi perizinan dan birokrasi sehingga Kontraktor bisa melaksanakan operasi dengan nyaman,” ungkap Hadi.
Sementara itu, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menilai KPI (Key Performance Indicator) yang dikejar pemerintah adalah peningkatan volume lifting migas. “Yang penting ada volume apapun teknis berapa pun biaya kalau KPI pemerintah itu kalau berhasil tingkatkan volume produksi dalam rangka mengejar target lifting,” kata Komaidi kepada Dunia Energi, Senin (28/10).
Jika kondisinya seperti itu maka pemerintah punya andil besar dalam keberlangsungan proyek EOR yang sudah diinisasi oleh kontraktor. Karena bagi kontraktor, keekonomian dan keberlanjutan bisnis adalah hal mutlak yang harus dipenuhi dulu dalam beroperasi. Menurut Komaidi jika berbicara tentang EOR tidak bisa hanya berharap dukungan Kementerian teknis yaitu Kementerian ESDM, karena dari sisi dukungan kebijakan fiskal saja maka Kementerian Keuangan yang menjadi penanggung jawabnya dipastikan akan ikut terlibat.
“Bicara fiskal, Kementerian ESDM oke-oke sajaj , tapi Kementerian Keuangan setuju atau tidak? jadi ini lintas sektor, Kementerian ESDM dan SKK Migas oke saja karena ketahanan energi karena ini bagian dari Asta Cita pemerintahan pak Prabowo-Gibran adalah ketahanan energi, jadi EOR sangat relevan. Tapi bagi KKKS mereka bisnis kemudian sektor lain punya kepentingan, nah ini yang harus diselaraskan,” jelas Komaidi.
Satu hal yang pasti menurut Komaidi jika ingin mengejar peningkatan produksi dan lifting minyak, EOR memang jadi salah satu strategi jitu. Jika dibandingkat dengan eksplorasi dalam rangka mencari cadangan migas jumbo, EOR masih lebih unggul. Karena kalau dilakukan eksplorasi butuh waktu tidak sebentar, belum lagi setelah ditemukan prosesnya juga masih panjang. “Sepanjang jangka pendek kalau dibandingkan dengan eksplorasi ya itu (EOR) paling memungkinkan kalau eksplorasi yang panen bukan sekarang, tapi nanti setelah tahun 2029,” kata Komaidi.
Dibawah pemerintahan baru Prabowo dan Gibran, swasembada energi menjadi salah satu target utama yang dicanangkan dan menariknya sektor yang diandalkan untuk mencapai target tersebut adalah sektor migas. Itu bisa momentum bagi kebangkitan industri migas tanah air, apalagi dengan adanya inisiatif Pertamina dengan injeksi CO2 ataupun metode EOR lainnya. Di dunia migas, kontraktor tidak bisa sendirian berlari. Perlu ada teman yang ikut menemani, teman yang bisa diandalkan, yang mendukung dengan berbagai cara. Teman yang mau menerima saran dan mau memberikan kemudahan. Teman itu adalah Pemerintah. Toh tidak ada yang dirugikan jika injeksi CO2 ini berhasil. Lifting minyak meningkat, emisi berhasil ditekan. Semua senang !
Komentar Terbaru