HOBI lari bukan lagi milik segelintir orang yang memang punya niat untuk menjaga kondisi fisik atau lebih dari itu untuk mengejar prestasi. Dewasa ini berlari sudah menjadi gaya hidup apalagi untuk para Gen Z, berlari adalah lifestyle yang hukumnya wajib. Ribuan orang rela sedari dini hari mempersiapkan dirinya untuk ambil bagian jadi “Finisher” berbagai kategori lari mulai dari 5K, 10K hingga half marathon atau 21K.

Antusiasme tinggi masyarakat terhadap gaya hidup ini dimanfaatkan oleh PT PLN (Persero) mengampanyekan dan mengakarbkan penggunaan energi masa depan di tengah masyarakat. Dihadapan sekitar 6 ribuan peserta PLN Electric Run 2024, PLN pamerkan terobosan terbaru pembangkit listrik yang memasok kebutuhan energi masyarakat.

Ribuan peserta lari yang memadati kawasan Scientia Square Park, Tangerang, diajak merasakan sensasi langsung menggunakan listrik yang dihasilkan dari hidrogen. Ya, pada 6 Oktober 2024, kebutuhan listrik selama PLN Electric Run dipasok sepenuhnya dari mesin pembangkit listrik bertenaga hidrogen (Hydrogen Fuel Cell Generator/FCG). Ini merupakan penggunaan genset hidrogen pertama di Indonesia.

Mesin Genset berbahan bakar hidrogen bentukannya tidak jauh berbeda dengan genset konvensional atau berbahan bakar solar. Namun satu hal pasti yang menjadi ciri khas dari genset generasi terbaru adalah tidak ada suara bising yang terdengar saat mesin beroperasi. Selain itu, tidak ada bau atau aroma tidak sedap. Ini jadi hal paling penting, jadi selain hening mesin pembangkit menghasilkan energi tanpa adanya emisi yang dilepaskan ke udara. Tidak seperti genset konvensional berbahan bakar solar.

Hydrogen FCG yang digunakan PLN berkapasitas 100 kVA didatangkan Unit Pembangkitan (UP) Muara Karang yang dikelola oleh PLN Nusantara Power didatangkan ke lokasi acara. Untuk mendukung operasional generator tersebut, didatangkan juga hidrogen hijau dari  Green Hydrogen Plant (GHP) Muara Karang sebanyak 200 tabung dengan tekanan 150 bar.

Penggunaan energi bersih dari hidrogen hijau dalam PLN Electric Run 2024 berhasil mereduksi lebih dari 14 ton emisi CO2, sekaligus menjadi contoh nyata bahwa penyelenggaraan acara besar dapat dilakukan dengan tetap menjaga lingkungan.

Ruly Firmansyah, Direktur Utama PLN Nusantara Power, mengungkapkan Inovasi penggunaan HFCG dalam event ini menjadi langkah penting menuju masa depan energi yang lebih hijau dan bebas emisi.

“PLN Electric Run 2024 adalah bukti nyata bahwa energi bersih bukan lagi sekedar wacana, tetapi sudah menjadi realitas yang kita wujudkan. Kami bangga menjadi bagian dari langkah maju Indonesia dalam transisi menuju energi hijau,” kata Ruly.

Genset hidrogen ini merupakan barang baru di Indonesia. Untuk Hydrogen FCG bahan bakunya diolah dan diproses dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang memiliki kapasitas 413 kilowatt peak (kWp). Selanjutnya dikonversi di hydrogent plant blok 2 dan blok 3 milik PLN Nusantara Power di Muara Karang berbentuk gas dengan tekanan 150 bar. Total kapasitas produksi hydrogent plant UP Muara Karang sendiri bisa mencapai 35,75 ton per tahun, dimana 8,2 ton per tahun diantaranya digunakank untuk cooling generator sisanya kelebihan produksi bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam hal seperti Hydrogen FCG tadi mencapai 27,55 ton per tahun.

Bahan bakar hidrogen merupakan bahan bakar tanpa emisi yang digunakan sebagai bahan bakar bagi pembangkit listrik bersama dengan oksigen menggunakan suatu unit dinamakan dengan hydrigen fuel cell.

Hidrogen hijau yang diproduksi oleh Green Hydrogen Plant (GHP) Muara Karang, salah satu dari 22 GHP milik PLN. Hidrogen hijau ini digunakan sebagai bahan bakar Fuel Cell Generator. (Foto/Dok/PLN)

Hydrogen Fuel Cell sendiri memang mirip dengan baterai yaitu sebuah fuel cell memiliki kutub anoda dan katoda dimana hidrogen serta oksigen dialirkan ke dua kutub berbeda tersebut. Reaksi antara kedua kutub tersebut akan menghasilkan listrik serta uap air (H2O).

Berdasarkan data dari US Department of Energy, proses produksi hidrogen sendiri bisa melalui beberapa cara. Pertama adalah steam performing, metana yang terkandung pada gas alam diekstrak dan direaksikan dengan uap untuk menghasilkan hidrogen. Sekitar 95% dari hidrogen yang ada di pasar diproduksi dengan proses ini.

Berikutnya adalah gasifikasi. Pada proses gasifikasi, batubara atau bahan biomassa direaksikan dengan oksigen dan uap untuk menghasilkan synthesis gas. Kemudian, molekul hidrogen dipisahkan dari synthesis gas menggunakan sistem reparasi.

Proses berikutnya adalah proses elektrolis yang menggunakan alat yang dinamakan electrolyzer. Konsep utama pada proses ini adalah pemisahan molekul hidrogen serta oksigen dari air dengan reaksi yang ditimbulkan aliran listrik.

Selanjutnya adalah proses biologis dimana mikroba seperti bakteri dan microalgae dapat memproduksi hidrogen dengan reaksi biolo-gis menggunakan cahaya matahari atau materi organik. Teknologi ini masih berada pada tahapan penelitian dan pengembangan.

Suplai atau pasokan bahan bakar hidrogen sendiri bisa dipenuhi dair dua proses. Pertama steam performing atau gasifikasi yang berasal dari energi konvensional seperti migas, batu bara dan biomassa. Sementara proses elektrolisis memanfaatkan bahan bakunya dari Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti PLTS, Angin, Panas Bumi dan tenaga air.

PLN dalam beberapa tahun terakhir memang terlihat gencar memperkenalkan energi masa depan ini kepada masyarakat. Pada Oktober 2023 lalu, meskipun belum terlalu dikenal namun dengan semanat PLN berinisiatif menghadirkan fasilitas produksi green hydrogen dengan kapasitas 51 ton per tahun di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Pluit, Jakarta.

Dari total produksi hidrogen 51 ton per tahun, sebesar 43 ton dapat dimanfaatkan untuk 147 mobil menempuh jarak 100 km setiap hari. Hidrogen pada dasarnya memang tidak hanya diperuntukan untuk sektor transportasi, tapi juga dapat dimanfaatkan pada sektor industri seperti pembuatan baja, produksi beton, serta pembuatan bahan kimia dan pupuk.

Tidak perlu waktu lama atau hanya berselang satu bulan yaitu di bulan November 2023, PLN tancap gas memperkenalkan 20 Green Hydrogen Plant (GHP) yang tersebar di berbagai titik pembangkit PLN. Kemampuan produksi hidrogen hijau PLN langsung melonjak menjadi 199 ton per tahun dan menjadikan PLN sebagai perusahaan pertama di Asia Tenggara yang memiliki GHP terbanyak.

Pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN sudah memiliki hydrogen plant dengan electrolyzer. Alat tersebut digunakan untuk memproduksi hidrogen yang digunakan untuk mendinginkan generator pembangkit listrik. PLN melakukan inovasi dengan memanfaatkan solar PV yang terpasang di kawasan pembangkit PLN ditambah dengan Renewable Energy Certificate (REC) dari beberapa pembangkit EBT di Indonesia. Dengan cara tersebut, maka pihaknya dapat memproduksi 100% hidrogen hijau.

Hasil produksi green hydrogen tersebut, sebanyak 75 ton per tahun digunakan untuk kebutuhan operasional pembangkit (cooling generator), sementara 124 ton lainnya bisa digunakan untuk berbagai macam kebutuhan. Dengan rata-rata konsumsi hidrogen kendaraan 0,8 kg per 100 kilometer, maka 124 ton green hydrogen yang diproduksi bisa dipakai untuk 424 mobil per tahun yang bergerak 100 kilometer dalam sehari. Angka tersebut bisa menurunkan emisi karbon hingga 3,72 juta kg CO2 dan mengurangi impor BBM sebesar 1,55 juta liter per tahun, mengubah energi impor menjadi energi domestik.

Adapun 21 GHP milik PLN terdapat di PLTU Pangkalan Susu, PLTGU Muara Karang, PLTU Suralaya 1-7, PLTU Suralaya 8, PLTGU Cilegon, PLTU Labuhan, PLTU Lontar, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTGU Muara Tawar, PLTU Indramayu, PLTGU Tambak Lorok, PLTU Tanjung Jati B, PLTU Rembang, PLTU Tanjung Awar-awar, PLTGU Gresik, PLTG Pemaron, PLTU Paiton, PLTU Grati, PLTU Pacitan, dan PLTU Adipala.

 

Ciptakan Ekosistem

Menghadirkan pasokan energi baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukanlah hal mudah. Ini bisa dilihat saat dulu Indonesia melakukan transformasi penggunaan minyak tanah menjadi gas tabung atau LPG. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mencapai kondisi seperti sekarang.

Proses transformasi penggunaan energi ini juga diproyeksi bakal terjadi saat memperkenalkan hidrogen sebagai bahan bakar masa depan yang rendah emisi. Kunci utama agar transformasi itu bisa berhasil adalah membentuk ekosistem.

Inisiatif untuk dalam pembentukan ekosistem itu bisa terlihat saat di awal tahun 2024, PLN menghadirkan Hydrogen Refueling Station (HRS) atau Stasiun pengisian hidrogen. Ini merupakan fasilitas pengisian hidrogen pertama di Indonesia. HRS ini memang diperuntukkan untuk memasok kebutuhan daya bagi 438 mobil hidrogen per tahun dengan asumsi jarak tempuh 100 km per harinya.

Harus diakui belum banyak masyarakat yang tahu dengan keberadaan hidrogen sebagai bahan bakar. Perlu ada upaya tambahan memperkenalkannya. Lagi-lagi bukan hal mudah, tapi tetap harus ada upaya.

Farid Wijaya, Senior Analyst Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai upaya memperkenalkan hidrogen memang harus dilakukan secara berkelanjutan. Berbagai terobosan termasuk penggunaan hidrogen untuk mesin genset adalah salah satu strategi jitu agar masyarakat makin teredukasi bahwa pilihan energi yang ramah terhadap lingkungan sekarang ini makin mudah untuk diakses.

Dia menilai kehadiran Hydrogen Fuel Cell besutan PLN menjadikan keseriusan perusahaan setrum plat merah itu dalam membentuk ekosistem hidrogen cukup terlihat.

Walau memang masih jauh dari implementasi dan penetrasi pasar, namun setidaknya PLN kata Farid sedang berusaha membangun portofolio sebagai teknologi hub. Disamping sudah membangun portofolio sebagai produsen hub dari green hydrogen plant atau produsen hidrogen hijau.

“Dan pengambilan momentum pengenalan genset hidrogen ini juga sangat baik, yakni salah satunya dalam Event Lari Electric Run 2024. Sehingga secara pemberitaan mungkin akan lebih masif kita dengarkan yang diselenggarakan pada Oktober 2024,” ungkap Farid kepada Dunia Energi, (19/10).

Genset hidrogen ini memang memiliki peluang untuk terus berkembang ke depannya. Namun demikian jelas masih banyak tantangan yang perlu diselesaikan. Tanpa upaya penyelesaian, maka pengembangan hanya akan terbatas pada penggunaan oleh PLN dalam “event”, bukan dalam aktivitas keseharian.

Beberapa tantangan yang kemungkinan besar dihadapi dalam upaya meningkatkan pemanfaatan hidrogen di tengah masyarakat misalnya dalam membentuk pasar permintaan (demand) hidrogen dalam negeri yang didasarkan pada implementasi kerangka kebijakan, peraturan, peta jalan, serta target-target pembangunan nasional.

Selanjutnya adalah PLN juga harus memfasilitasi kekhawatiran masyarakat akan keamanan dan keselamatan penggunaan hidrogen memalui penyuluhan, standar dan sertifikasi yang reliable dan terpecaya.

Jaminan pasokan hidrogen juga tentu jadi tantangan tersendiri. Jika sudah memutuskan untuk menggunakan hidrogen sencara masif maka PLN harus bisa menjamin ketersediaan hidrogen yang saat ini menjadi bagian “inovasi baru”. “Harus ada dalam jumlah yang sufficient, affordable, dan accessible,” ujar Farid.

Hidrogen ini masih terbilang inovasi baru, terlebih di Indonesia dan pengenalannya dari segi inovasi kadang masih dianggap “gimmick” yang jauh dari penetrasi pasar. Dan karena masih inovasi baru, di negara G7 pun masih dalam tahap pengembangan, uji coba dan tidak jarang proyek penggunaan hidrogen ini menemui jalan buntu karena masalah biaya investasi atau Capital Expenditure (Capex) maupun Opex dari penggunaan hirogen yang sangat tinggi.

Menjadi penting bagi Indonesia untuk belajar dari studi yang berkembang, untuk dapat memaksimalkan perjalanannya dalam pemanfaatan hidrogen ini. Karena saat ini masih tergolong high risk dan high cost. Apalagi dalam penggunaannya sebagai bagian dari peta jalan pengembangan sektor transportasi Indonesia. Belajar dari adopsi penggunaan kendaraan listrik yang harus diakui belum sesuai harapan, perlu menjadi bahan pertimbangan bagaimana membangun strategi adopsi kendaraan hidrogen yang isunya mulai akan berjalan di Indonesia tahun 2030 atau lebih cepat.

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dari ketersediaan EBT yang mencapai 3.686 GW. Dari jumlah itu, sebagaimana yang dicantumkan di Strategi Hidrogen Nasional indonesia, ada beberapa lokasi strategis yang sudah dipetakan dan bisa dimanfaatkan dalam produksi hidrogen hijau.

Setidaknya potensi 185 GWh bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam produksi hidrogen hijau dengan biaya produksi rendah yakni US$1,9- US$3,7/kg hidrogen hijau. Biaya produksi ini bisa dibilang sangat kompetitif dengan berbagai proyeksi  harga hidrogen hijau (termasuk ERIA dan BNEF) di negara Asia Tenggara dan  dunia bahkan di 2040-2050 yang masih berusaha untuk mencapai US$ 2/kg hidrogen hijau. Perlu diketahui bahwa biaya produksi hidrogen hijau saat ini masih berkisar antara US$5 -US$13/kg hidrogen hijau yang dihasilkan dari elektrolisa air dengan menggunakan energi berbasis EBT. Jadi pekerjaan rumah yang cukup besar adalah bagaimana menekan biaya produksi hidrogen.

“Tergantung dengan upaya yang dilakukan, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi produsen hub global dalam produksi hidrogen hijau,” kata Farid.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hidrogen saat ini memang telah digunakan di Indonesia khususnya di sektor industri, terutama sebagai bahan baku pupuk. Berdasarkan data IEA tahun 2022, konsumsi hidrogen di Indonesia saat ini sekitar 1,75 juta ton per tahun. Dengan penggunaan yang didominasi oleh urea, methanol dan petrokimia lalu diikuti amonia, dan kilang minyak.

Sumber : Kementerian ESDM, Diolah : Dunia Energi

Sebagian besar penggunaan hidrogen di industri saat ini berasal dari gas alam. Jenis hidrogen itu biasa disebut grey hydrogen. Namun jika proses produksi grey hydrogen diikuti dengan penangkapan karbon yang terlepas, maka jenisnya disebut sebagai blue hydrogen. selain grey dan blue hydrogen, ada jenis hydrogen lainnya yang disebut green hydrogen yang merupakan jenis hidrogen yang paling bersih karena diproduksi dari listrik energi terbarukan, seperti angin, air, matahari maupun panas bumi melalui proses elektrolisis.

Salah satu potensi permintaan terbesar hidrogen di Indonesia pada masa depan adalah sektor transportasi. Pertama untuk armada bus. Pemerintah mencanangkan mulai tahun 2040. Sebagian bus akan beralih ke hidrogen dengan permintaan awal sebesar 6 GWh atau setara 0,21 juta ton H2. Penggunaan ini akan berlanjut dan meningkat hingga mencapai proporsi 20% bus menggunakan hidrogen, dengan besar konsumsi mencapai 1,18 juta ton di 2060.

Kemudian kendaraan angkutan berat. Permintaan hidrogen pada sektor ini diperkirakan akan mencapai 161 GWh (4,88 juta ton H2) di tahun 2040 dan meningkat menjadi 930,6GWh (28,2 juta ton H2) pada 2060.

Selanjutnya perkeretaapian dimana PT KAI memiliki rencana pengembangan kereta api untuk mengganti lokomotif dengan kereta rel listrik yang dikombinasikan dengan bahan bakar hidrogen dan/atau baterai.

Dalam Strategi Hidrogen Nasional yang diluncurkan pemerintah pada Desember 2023 diungkapkan ada empat sektor yang bakal jadi fokus kembangkan hidrogen selain sektor transportasi ada juga sektor industri, ketenagalistrikan serta komoditas.

Untuk sektor industri hidrogen akan dimanfaatkan sebagai substitusi secara bertahap terhadap hidrogen tinggi karbon (eksisting). Hidrogen dan amonia rendah karbon yang diproduksi dari sumber EBT mendukung dekarbonisasi sektor Industri, dan meningkatkan daya saing industri Ketika diberlakukan pajak karbon. Kemudian hidrogen juga bermanfaat untuk menurunkan emisi industri yang membutuhkan suhu tinggi (semen dan baja).

Selanjutnya sektor transportasi mulai tahun 2030 hydrogen rendah karbon akan dimanfaatkan pada sektro transportasi untuk kendaraan jarak jauh seperti truk, angkutan berat, dan pelayaran. Kendaraan hidrogen juga didorong sebagai diversifikasi kendaraan elektrik seperti baterai.

Sektor transportasi, cofiring hidrogen/amonia rendah karbon pada pembangkit berbahan fosil. Opsi ini dapat dipertimbangkan pada periode tahun 2030-2050, ketika terjadi diantaranya: penetrasi EBT tinggi dan terjadi curtailment, harga EBT sudah murah, harga karbon cukup tinggi. Lalu bisa juga dijadikan sebagai penyimpanan energi untuk pembangkit offgrid. Serta sebagai opsi untuk teknologi penyimpanan untuk mengatasi curtailment pembangkit EBT.

Hidrogen di masa depan juga berpeluang sebagai komoditas artinya berpotensi diperdagangkan pada pasar regional dan internasional, dengan pertimbangan: posisi strategis Indonesia sebagai negara maritim, potensi monetisasi sumber EBT untuk pembangkit listrik dengan demand rendah, dan minat yang tinggi dari pelaku pasar untuk menangkap peluang perdagangan hidrogen dan amonia rendah karbon.

Sumber : Kementerian ESDM

 

Kolaborasi

Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN, menjelaskan dalam mengembangkan teknologi dan energi baru seperti hidrogen, PLN terus menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak. PLN sendiri baru saja menandatangani nota kesepahaman atau Momerandum of Understanding (MoU) dengan Hidrogene De France (HDF) Energy untuk menjajaki pengembangan ekosistem hidrogen.

Kerja sama antara PLN dan HDF Energy ini bertujuan mendukung transisi energi berkelanjutan di Indonesia, di mana hidrogen diproyeksikan menjadi salah satu energi alternatif. Melalui kerja sama ini, PLN akan mengembangkan pembangkit listrik yang menggabungkan sumber energi terbarukan dengan penyimpanan energi dalam bentuk hidrogen.

“Saat ini, PLN kata Darmawan tidak hanya menyediakan listrik yang dapat diandalkan tetapi juga berkomitmen untuk menjadi pelopor dalam penggunaan energi terbarukan dan berkelanjutan. Perubahan iklim adalah permasalahan global yang harus dihadapi bersama-sama. Untuk itu, PLN tidak bisa menjalankan semuanya dalam suasana kesendirian, satu-satunya cara untuk menghadapi tantangan tersebut adalah melalui kolaborasi,” kata Darmawan belum lama ini di Jakarta.

Sementara itu, , Hartanto Wibowo Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN mengatakan, hidrogen terbarukan diperkirakan akan mendominasi dua pertiga permintaan global pada tahun 2050. Dengan sumber daya energi terbarukan yang melimpah, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam ekonomi hidrogen.

“PLN mempelopori peran dalam pengembangan hidrogen, mendorong inisiatif strategis untuk mempercepat penggunaan hidrogen dalam transisi energi. Kami telah membangun green hydrogen plant (GHP) di lebih dari 20 lokasi pembangkit di mana salah satunya adalah GHP pertama di Asia Tenggara yang menggunakan energi geothermal,” ujar Hartanto.

Mathieu Geze, Director HDF Energy for Asia sekaligus President Director PT HDF Energy Indonesia, mengapresiasi langkah PLN dalam mengembangkan energi alternatif dalam bentuk hidrogen yang diwujudkan melalui kerja sama dengan pihaknya.

“Kami sangat senang untuk menguatkan komitmen kami terhadap masa depan nol emisi melalui MoU ini. Kolaborasi ini akan menempatkan Indonesia di garis depan proyek hidrogen hijau di kawasan Asia-Pasifik. HDF Energy terus teguh dalam komitmennya terhadap tanggung jawab korporasi, pengelolaan lingkungan, dan masa depan yang berkelanjutan,” pungkas Mathieu.

Kolaborasi juga melibatkan stakeholder di dalam negeri yang selama ini jadi salah satu pasar terbesar hidrogen di industri pupuk. PLN melalui para Subholdingnya yaitu PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) dan PLN Indonesia Power (PLN IP) Head of Terms (HoT) menekan perjanjian pembelian hidrogen hijau bersama PT Pupuk Indonesia (Persero) dan ACWA Power di sela agenda Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2024 pada September lalu.

Pupuk Indonesia akan bertindak sebagai off-taker hidrogen hijau yang diproduksi oleh Project Company’s Hydrogen Plant dari Joint Development Agreement (JDA) bersama ACWA Power dan PLN.

Rahmad Pribadi, Direktur Utama Pupuk Indonesia menyatakan kerjasama memang sangat dibutuhkan untuk memastikan ketersediaan pasokan hidrogen hijau sebagai bahan baku utama produksi amonia hijau. Amonia hijau inilah yang selanjutnya dapat dimanfaatkan Pupuk Indonesia dalam produksi pupuk urea dan NPK yang ujungnya juga bakal langsung berdampak pada kepastian pasokan bahan baku industri pupuk nasional.

Menurut Rahmad karena sumber daya tak terbarukan seperti gas alam pada akhirnya akan habis, pemanfaatan hidrogen merupakan langkah strategis untuk menggantikan gas alam dengan air. “Sehingga Pupuk Indonesia dapat terus memasok pupuk yang dibutuhkan petani dan tetap menjadi pemain kunci dalam mendukung ketahanan pangan nasional,” jelas Rahmad.

Rakhmad Dewanto, Direktur Gas & BBM PLN EPI, menjelaskan hidrogen hijau merupakan salah satu energi baru yang penting dalam mencapai target transisi energi. Saat ini, PLN memproduksi sekitar 203 ton hidrogen hijau per tahun dari 22 instalasi hidrogen yang didukung oleh Renewable Energy Certificate (REC) serta sumber panas bumi.

PLN EPI sendiri akan segera memulai pembangunan fasilitas hidrogen hijau dan pabrik amonia hijau di Jawa Timur, yang ditargetkan beroperasi pada tahun 2026-2027. Proyek ini diperkirakan dapat memproduksi 15 kilo tonnes per annum (ktpa) hidrogen hijau yang dapat diaplikasikan untuk berbagai keperluan industri, seperti produksi pupuk ramah lingkungan.

“Hidrogen hijau dan amonia hijau yang kami hasilkan akan mendukung sektor industri yang lebih bersih di Indonesia, serta memainkan peran kunci dalam upaya dekarbonisasi,” kata Rakhmad.

Dwi Handoyo, Kepala satuan Teknologi PT PLN indonesia Power, mengungkapkan hidrogen memang sudah ditetapkan manajemen PLN sebagai energi alternatif rendah emisi yang akan diproduksi PLN ke depan. Salah satu target prestisius yang dikejar adalah hydrogen co-firing. “Kami akan melakukan hydrogen co-firing di gas power plant di tahun 2030. Hydrogen co-firing yang benar-benar net zero emission itu sampai 41 GW di seluruh gas power plant yang ada di PLN Group,” jelas Dwi saat menjadi pembicara dalam diskusi DETalk pada Mei lalu.

PLN memang terus melakukan penetrasi dalam pengembangna hidrogen. Misalnya dengan membangun Hidrogen Center Senayan (HRS) dan telah resmi beroperasi pada Februari lalu sebagai pusat riset dan pengembangan hidrogen yang dibangun PLN berkolaborasi dengan IFHE (Indonesia Fuel Cell and Hydrogen Energy) berlokasi di Pembangkit senayan, Jakarta. Tujuan dari pembangunan pusat riset itu agar PLN bisa fokus dalam pembelajaran dan diskusi ekosistem hydrogen, praktikum fuel cell dan teknologi H2, dan juga ruang kerja pemanfaatan H2.

Menurut Dwi, pembangkit listrik yang dibangun PLN pada dasarnya memang tidak didesain untuk bisa menyerap hidrogen namun demikian bukan berarti tidak bisa ditemukan cara untuk memanfaatkan hidrogen untuk memproduksi listrik.

“Kami akan melakukan pilot project untuk pembakaran bersama antara bahan bakar eksisting, antara lain gas dengan hydrogen. saat ini target kami 20% cofiring diharapkan apabila uji coba ini berhasil maka listrik yang dihasilkan akan semakin hijau ke depannya,” jelas Dwi.

PLN kata dia tengah melakukan uji coba di PLTG Tanjung Priok yang berkapasitas 2.830 MW dan testingnya 301 MW, jenisnya gas turbin. Selain itu juga dilakukan di Kramasan. Uji coba juga dilakukan di Gresik dengan jenis gasnya Gas Fired steam Power Plant dan di Pesanggaran Gas Engine.

Komitmen PLN IP dalam utilisasi hidrogen adalah pemanfaatan fuel cell dan salah satu rencana besar pemerintah dalam menghilangkan dediselisasi di lokasi-lokasi yang remote di luar Jawa, kami gunakan fuel cell. “Memang ini dalam tahapan studi, tapi potensi yang ada saat ini bahwa penggunaan fuel cell ini mampu mengurangi emisi 0,3 juta metrik ton CO2. Jika total energi yang dihasilkan PLTD 3.100 GWh maka potensi pemanfaatan hidrogennya 93 KTPA,” kata Dwi.