JAKARTA– Dalam upaya mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga nol persen pada 2060 dan mempercepat transisi menuju energi terbarukan, Indonesia menghadapi risiko transisi yang signifikan. Risiko ini tidak hanya berdampak pada sektor energi, tetapi juga pada stabilitas keuangan dan reputasi perusahaan.

“Transisi energi adalah langkah penting, namun tanpa mitigasi risiko yang tepat, kita dapat menghadapi gangguan pada sektor ekonomi dan keuangan yang lebih luas,” kata Yuki MA Wardhana, Staf Pengajar Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI), saat berbicara pada “Environmental Night” bertema “Strategi Pengurangan Emisi Pada Sektor Energi Fosil” yang diselenggarakan SIL UI di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (18/10/2024) malam.

Berdasarkan data dari Climate Change Knowledge Portal, suhu rata-rata di Indonesia meningkat 0,03°C per tahun, yang memperparah dampak perubahan iklim, terutama pada sektor energi. Akselerasi energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang masih dominan di Indonesia. Yuki menekankan pentingnya mitigasi risiko selama transisi ini. “Jika risiko ini tidak dikelola dengan baik, kita berisiko mengalami instabilitas ekonomi yang lebih luas, yaitu risiko finansial, sosial, dan lingkungan,” katanya.

Risiko terbesar dalam transisi energi terbarukan adalah ketidakpastian dalam regulasi dan kebijakan, terutama terkait implementasi pajak karbon dan penghentian operasi pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Menurut Ketua Umum Indonesia Environmental Scientist Association itu percepatan transisi energi terbarukan juga memerlukan penguatan regulasi dan kebijakan yang mendukung.

Mengutip laporan Global Risk Report 2024 dari World Economic Forum, sebanyak 74% dari portofolio pinjaman sistem perbankan Indonesia terkait dengan sektor-sektor yang berpotensi terkena risiko transisi iklim. Sektor energi, khususnya pembangkit listrik berbasis batu bara, menjadi salah satu yang paling terdampak karena kebijakan early retirement atau penghentian dini operasi pembangkit berbahan bakar fosil. Kebijakan ini merupakan bagian dari rencana transisi menuju Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia. “Kebijakan ini memerlukan pendanaan besar dan keterlibatan sektor swasta dalam pengembangan energi terbarukan,” ujar Yuki.

Pemerintah Indonesia, melalui Perpres No. 112/2022, telah menetapkan rencana untuk meningkatkan bauran energi terbarukan. Namun, Yuki menyarankan agar ada sinergi yang lebih baik antara sektor publik dan swasta dalam mengimplementasikan kebijakan ini. Dia mencontohkan perlunya kolaborasi antara pendidikan tinggi dengan pemerintah dan dunia usaha, apalagi banyak hasil riset dari SIL UI tentang lingkungan. “Kita perlu memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya berorientasi pada penurunan emisi, tetapi juga memberikan insentif yang tepat bagi para pelaku usaha untuk beralih ke energi terbarukan ,” katanya.

Pendekatan mitigasi risiko yang lebih komprehensif juga diperlukan untuk memastikan bahwa transisi energi ini berjalan lancar tanpa mengganggu stabilitas ekonomi. Menurut Yuki, creative financing adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah pendanaan dalam pengembangan energi terbarukan.

Kusnandar, Koordinator Keteknikan dan Keselamatan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi, Direktorat Teknik dan Lingkungan Migas, Ditjen Migas Kementerian ESDM, mengatakan meski sektor hulu migas hanya berkontribusi 5% terhadap total emisi nasional, sektor ini tetap menjadi fokus dalam penurunan emisi. “Gas alam diperlukan sebagai energi peralihan menuju energi terbarukan, meskipun demikian, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon,  Capture, Storage/CCS) kini menjadi solusi untuk sektor migas,” kata Kusnandar.

Hal ini dinilai sejalan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang CCS yang menjadi landasan hukum dalam implementasi teknologi rendah karbon di Indonesia. “Meski kontribusi emisi sektor hulu migas relatif kecil dibandingkan sektor lain, pemerintah tetap berkomitmen menurunkan emisi karbon dari kegiatan hulu migas,” katanya.

Dia menjelaskan, sektor hulu migas menghadapi tantangan berat dalam transisi energi karena perannya sebagai jembatan menuju energi bersih. Gas alam diperlukan sebagai energi peralihan sebelum Indonesia dapat sepenuhnya beralih ke energi terbarukan. Terbitnya Perpres CCS, lanjut Kusnandar, menjadi landasan hukum bagi implementasi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon di Indonesia. Regulasi ini diharapkan dapat mendorong investasi teknologi rendah karbon di sektor hulu migas.

“Meski kontribusi emisi sektor hulu migas terbilang kecil, upaya dekarbonisasi tetap menjadi prioritas untuk mencapai target penurunan emisi nasional. Kami terus mendorong operator migas untuk mengadopsi teknologi rendah karbon dalam operasionalnya,” katanya.

Hendra Gunawan, Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Minerba KESDM, mengatakan pihaknya tengah mengumpulkan data terkait reklamasi pasca tambang sebagai upaya meminimalkan kerusakan lingkungan. Langkah ini menjadi bagian dari komitmen sektor pertambangan dalam mendukung penurunan emisi nasional.

“Kami sedang mendata seluruh kegiatan reklamasi pasca tambang untuk memastikan pelaku usaha memenuhi kewajiban pemulihan lingkungan. Kerusakan akibat aktivitas pertambangan harus diminimalkan melalui reklamasi yang tepat,” katanya.

Hendra menambahkan, Ditjen Minerba terus mendorong perusahaan tambang untuk menerapkan praktik pertambangan yang berkelanjutan. “Selain reklamasi, kami juga mengawasi penerapan teknologi ramah lingkungan dalam operasional pertambangan untuk menekan degradasi lingkungan dan mendukung target penurunan emisi,” tegasnya.

Tri Edhi Budhi Susilo, Direktur SIL UI, dalam sambutannya mengatakan SIL UI mengajak berbagai pihak untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor guna mendukung pembangunan infrastruktur berkualitas di bidang lingkungan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dalam menjaga keseimbangan fungsi lingkungan hidup. “Kami yakin bahwa melalui kerja sama yang kuat, kebijakan efektif dapat dihasilkan untuk menghadapi tantangan global,” ujarnya.

Dnia saat ini menghadapi tantangan serius terkait perubahan iklim, kebutuhan energi yang meningkat, serta lonjakan populasi yang mendorong konsumsi energi global. Untuk mengatasi hal tersebut, SIL UI mendorong agenda transisi energi yang lebih berkelanjutan serta mempromosikan pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Kolaborasi lintas sektor dinilai mampu mendorong inovasi dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang efektif. “Inovasi menjadi kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih hijau,” jelas Budhi. (DR)