JAKARTA – Dalam hitungan hari, Kabinet yang dibentuk oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan segera berlomba menjalankan strategi terbaiknya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Dari industri pertambangan muncul salah satu langkah kunci untuk mencapai target ini, langkah itu adalah hilirisasi industri pertambangan.

Setelah sukses di sektor nikel, hilirisasi kini dapat segera diperluas ke mineral kritis lainnya. Langkah ini yang kemudian diharapkan dapat menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan ketahanan nasional Indonesia.

Hilirisasi nikel telah membuktikan bahwa pengolahan mineral di dalam negeri dapat meningkatkan nilai tambah secara signifikan. Ekspor produk olahan nikel melonjak dari US$3 miliar per tahun menjadi US$30 miliar pada 2022. Keberhasilan ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan mengundang investasi asing, seperti Tsingshan Group dan LG Energy Solution. “Hilirisasi telah membuktikan kemampuannya untuk meningkatkan nilai tambah dan menumbuhkan industri dalam negeri,” ujar Feiral Rizky Batubara, Ketua Dewan Pembina Organisasi Diaspora Anak Muda Amankan Nusantara (AMAN), Sabtu(19/10/2024).

Setelah nikel, pemerintah kini dapat berfokus pada mineral kritis lainnya, seperti tembaga, bauksit, timah, dan kobalt, yang memainkan peran penting dalam teknologi tinggi, energi terbarukan, dan infrastruktur. Indonesia memiliki potensi besar di sektor ini. Smelter tembaga PT Freeport Indonesia di Gresik, misalnya, mampu memproses 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun, meningkatkan nilai tembaga dari US$4,36 per ton menjadi US$6.049 per ton. Dengan investasi ini, potensi pendapatan negara dapat meningkat hingga US$2 miliar per tahun.

Hilirisasi bauksit juga terus dipercepat. PT Indonesia Asahan Aluminium dan PT Aneka Tambang Tbk membangun smelter grade alumina refinery (SGAR) di Kalimantan, yang diharapkan mampu secara bertahap menghentikan impor aluminium dan menghemat devisa sebesar US$34,8 miliar. Peningkatan kapasitas hilirisasi bauksit ini menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku.

Indonesia juga memiliki cadangan timah yang sangat besar, mencapai 23% dari total cadangan dunia. Saat ini, hilirisasi timah masih terbatas pada produksi ingot. Namun, PT Timah Tbk sedang mengembangkan teknologi Ausmelt Furnace yang akan meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi, sehingga dapat menghasilkan produk bernilai tambah seperti solder dan komponen elektronik. “Indonesia perlu memperkuat hilirisasi timah agar mampu menciptakan produk dengan nilai tambah lebih tinggi,” ungkap Feiral.

Kobalt, mineral penting lainnya, menyimpan potensi besar untuk pengembangan industri baterai nasional. Dengan cadangan 600 ribu ton, hilirisasi kobalt dapat menjadi kunci dalam mendukung rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV) global. Saat ini, pengolahan kobalt masih terbatas dan menyatu dengan nikel, namun perlu adanya investasi langsung untuk memproduksi katoda berbasis nikel-kobalt yang akan memaksimalkan nilai tambah.

Dengan memperluas hilirisasi dari nikel ke mineral kritis lainnya, pemerintah Indonesia dapat meningkatkan pendapatan negara, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat posisi Indonesia dalam industri global. “Hilirisasi adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Melalui hilirisasi mineral, industri pertambangan Republik Indonesia diharapkan dapat turut serta bergotong royong menggerakkan perekonomian negara hingga dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 8% dan mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045 di masa pemerintahan Presiden terpilih Bapak Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Terpilih Bapak Gibran Rakabuming Raka,” ujar Feiral.