JAKARTA – Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan defisit tembaga global yang diperkirakan akan berlangsung beberapa tahun mendatang. Dengan smelter tembaga yang sudah beroperasi, Indonesia mampu memproduksi 1,3 juta ton katoda tembaga per tahun. Namun, kebutuhan domestik hanya mencapai 250.000 ton, sehingga sebagian besar produksi harus diekspor.

Ketua Indonesian Mining Association (IMA), Rachmat Makkasau, menegaskan pentingnya strategi untuk mengoptimalkan ekspor ini. Menurut Rachmat, hilirisasi industri tambang yang sudah berjalan harus didorong lebih lanjut untuk meningkatkan serapan produksi dalam negeri. Jika tidak dimanfaatkan secara maksimal di dalam negeri, peluang besar dari defisit tembaga dunia akan terbuang. “Industri downstream bisa menjadi solusi utama untuk menyerap kelebihan produksi katoda tembaga. Pemerintah pun diharapkan turut mendorong pertumbuhan industri hilir ini,” katanya, Rabu (2/10/2024).

Saat ini, Indonesia memproduksi sekitar 3-5% tembaga dunia dan diproyeksikan dapat mencapai 7-10% dalam beberapa tahun ke depan. Kondisi ini terjadi di tengah defisit tembaga global, di mana permintaan terhadap bahan ini terus meningkat, terutama untuk teknologi hijau. Rachmat menilai, produksi tembaga Indonesia yang besar akan memberikan leverage di pasar internasional. Dengan tambahan tambang tembaga baru yang akan segera beroperasi, peran Indonesia di pasar global semakin signifikan.

Selain tembaga, Rachmat juga menyoroti peran strategis batubara dalam perekonomian dan ketahanan energi Indonesia. Cadangan batubara Indonesia mencapai 135 miliar ton, yang diperkirakan dapat menopang kebutuhan energi hingga 500 tahun. Dia menekankan pentingnya penggunaan teknologi yang mampu menangkap emisi dari pembakaran batubara. Hal ini dapat menjaga ketahanan energi nasional sekaligus mendukung perkembangan energi terbarukan.

Rachmat juga mengkritisi kebijakan yang terlalu cepat mengesampingkan peran batubara dalam transisi energi. Indonesia masih memiliki cadangan batubara yang sangat besar dan harus dimanfaatkan secara bijak. “China, contohnya, masih membangun pembangkit listrik tenaga batubara sambil menerapkan teknologi penangkapan emisi. Kebijakan serupa bisa diterapkan di Indonesia untuk mempertahankan ketahanan energi jangka panjang,” katanya.

Dia juga menegaskan soal teknologi untuk mengurangi dampak lingkungan dari penggunaan batubara akan terus berkembang dan menjadi lebih terjangkau. Oleh karena itu, Indonesia harus memprioritaskan pemanfaatan batubara dengan teknologi yang lebih bersih, bukan mengabaikannya. Dengan strategi yang tepat, batubara dapat terus menjadi sumber energi utama sambil terus mendorong pengembangan energi terbarukan. Rachmat percaya, posisi Indonesia dalam sektor batubara sangat unik dan tidak bisa dibandingkan dengan negara lain.

Batubara tetap menjadi salah satu komoditas andalan Indonesia, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Menurut Rachmat, potensi besar batubara bisa menjadi penopang utama ekonomi nasional di masa mendatang. Dia menyarankan agar Indonesia tidak sekadar mengikuti kebijakan negara lain yang tidak memiliki cadangan batubara sebesar Indonesia. Sebaliknya, Indonesia harus melihat contoh dari China dan India yang masih memanfaatkan batubara secara optimal untuk pertumbuhan ekonomi mereka.

Dengan cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia berada dalam posisi yang strategis untuk mengoptimalkan kedua komoditas ini. Rachmat menekankan bahwa strategi yang tepat harus segera diterapkan agar potensi tembaga dan batubara bisa dimaksimalkan. “Kombinasi pemanfaatan kedua komoditas ini diharapkan bisa menjadi tumpuan bagi ketahanan energi dan ekonomi Indonesia di masa depan,” ujarnya. (DR)