INDONESIA jadi salah satu negara yang disorot dunia lantaran punya ambisi besar Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. itu tentu tidak lepas dari kondisi bauran energi nasional Indonesia saat ini dimana 60% justru masih didominasi bahan bakar fosil khususnya batu bara. Target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang mematok bauran Energi Baru Terbarukan mencapai 23% pada tahun 2025 hampir dipastikan tidak akan mencapai target karena hingga akhir tahun 2023 lalu berdasarkan data pemerintah realisasi pemanfaatan EBT baru mencapai 13,3%.

Meskipun tertatih-tatih, ikhtiar untuk bisa menghadirkan energi bersih memang seyogyanya tidak berhenti. Berbagai jurus dihadirkan untuk mengakselerasi penggunaan EBT. Apalagi variasi potensi EBT yang tersedia di tanah air juga berlimpah.

Tenaga matahari adalah salah satu harapan paling besar untuk mewujudkan penyediaan energi nol emisi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2023, potensi radiasi sinar matahari yang bisa dikonversi menjadi pembangkit listrik mencapai 3.294 gigawatt (GW) yang tersebar di berbagai wilayah khususnya Riau, Kalimantan Barat serta Nusa Tenggara Timur (NTT).

Namun demikian, sayangnya  potensi besar itu belum dimanfaatkan dengan optimal karena hingga kini realisasi kapasitas terpasang PLTS baru 0,002% atau sebesar 685 Megawatt (MW) dari potensi 3.294 GW.

Meskipun demikian, PLTS tetap jadi harapan terbesar untuk mendongkrak EBT di Indonesia. Dewan Energi Nasional (DEN) dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) menempatkan PLTS sebagai kontributor terbesar dalam bauran energi untuk NZE 2060.

Djoko Siswanto, Sekretaris Jendral DEN, mengungkapkan Indonesia di karuniai sinar matahari sepanjang tahun dan merupakan sumber energi yang gratis untuk itu pengembangan PLTS harus didudukung oleh semua pihak. Dia meyakini dengan adanya perkembangan teknologi, maka biaya pengadaan PLTS bisa terus ditekan. “⁠DEN sangat mendukung industri solar panel di Indonesia ynag terus tumbuh dan berkembang. Investasi PLTS sudah 90% lebih murah dibanding 10 tahun terakhir,” kata Djoko kepada Dunia Energi, Kamis (26/9).

Sumber : Dewan Energi Nasional

Selain itu, dalam draf Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060, pemerintah menargetkan kapasitas PLTS terpasang bisa mencapai sekitar 115 GW atau paling besar dari jenis pembangkit lainnya.

Wajar memang menjadikan PLTS sebagai andalan dalam mengejar target bauran EBT. Meskipun harus diakui saat ini harganya masih belum bisa bersaing dengan batu bara, namun penurunan harga jual listrik yang terus terjadi dari PLTS bisa jadi acuan betapa PLTS bakal memainkan peranan vital di masa depan. Belum lagi dengan waktu pembangunan PLTS yang terbilang singkat. Untuk membangun PLTS Terapung Cirata misalnya, waktunya dibutuhkan sekitar kurang dari dua tahun dengan kapasitas pembangkit mencapai 192 Megawatt peak (MWp) serta keluaran produksi listrik mencapai 145 MWp yang merupakan PLTS terbesar di Asia Tenggara dan ketiga terbesar se-dunia. Kehadiran PLTS Terapung Cirata pada November 2023 lalu merupakan momentum tepat mensejajarkan Indonesia dengan negara lain dunia yang sedang mengejar NZE.

PLTS Terapung Cirata memecahkan rekor pembangkit bertenaga surya terbesar di ASEAN setelah PLTS di Filipina, Cadiz Solar Powerplant sebesar 132,5 MWp. Nilai investasi dari proyek ini mencapai angka US$129 juta dengan harga jual beli listrik yang telah sebesar US$5,82 sen per kWh.

Ada tiga jenis PLTS yang dikembangkan di Indonesia, pertama adalah PLTS Atap. Ini jadi PLTS yang paling mudah dibangun oleh masyarakat secara individu, institusi dan lainnya. Selanjutnya adalah PLTS Skala Besar yang biasa dibangun oleh para produsen listrik/badan usaha. PLN misalnya mencatatkan pembangunan PLTS skala besar selain PLTS Terapung Cirata baru saja diresmikan PLTS ground-mounted terbesar di Indonesia berkapasitas 100 MWp di Purwakarta. PLTS skala besar ini juga bisa dikembangkan oleh perusahaan tambang di lahan bekas tambang. PT Amman Mineral Nusa Tenggara misalnya sudah memiliki PLTS dengan kapasitas 26,8 MW.

Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi EBTKE, pernah mengungkapkan salah satu tantangan dalam pengembangan PLTS adalah kebutuhan lahan. Untuk itu pemerintah ingin memanfaatkan lahan sebaik-baiknya, dengan mengkombinasikan penggunaannya seperti untuk pertanian.

Dia menyatakan pemanfaatan lahan bekas tambang bisa jadi solusi mengatasi tantangan kebutuhan lahan. Selain itu, perusahaan tambang juga akan mendapatkan bonus dengan adanya citra positif di mata masyarakat karena juga mulai concern dengan EBT.

“Jadi untuk yang land basis itu diupayakan ya seyogyanya lahan yang tidak produktif, termasuk yang lahan bekas tambang,” kata Hendra saat Forum Tematis Bakohumas di Bandung, (14/9).

Lana Saria, Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, mengatakan kegiatan tambang biasanya meninggalkan lubang bekas tambang atau void. Pengelolaan lahan bekas tambang berupa void biasanya dijadikan sumber mata air atau tempat wisata. Tapi ada satu lagi yang bisa dimanfaatkan yaitu PLTS terapung.

“Potensi lahan bekas tambang untuk PLTS cukup menjanjikan. Namun, potensi tersebut harus diperhitungkan beban yang ada dan ketersediaan PT PLN (Persero) sebagai penyedia ke masyarakat. Rencana pengembangan PLTS tersebut harus sesuai dengan rencana usaha penyedia tenaga listrik (RUPTL) dari PLN,” ujar Lana saat ditemui belum lama ini di Bandung.

Sementara itu, untuk PLTS Atap, total potensi kapasitas terpasang berdasarkan kuota yang sudah disediakan pemerintah hingga tahun 2028 adalah sebesar 1.593 MW, dimana hingga Juli tercatat realisasinya mencapai 204,14 MWp atau sebanyak 9.339 pelanggan. Kemudian untuk PLTS skala besar total potensinya berdasarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hingga tahun 2030 sebesar 4,68 GW.

Untuk PLTS Terapung ini merupakan “senjata” andalan yang bisa digunakan jika mau mengejar target NZE karena diproyeksikan memiliki kapasitas mencapai 89,37 GW di 293 lokasi terdiri dari potensi pembangunan di bendungan yang dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) adalah sebanyak 257 lokasi (bendungan) dengan kapasitas mencapai 14,7 GW serta pembangunan di 36 lokasi danau dengan total kapasitas bisa mencapai 74,67 GW.  Besarnya potensi PLTS Terapung ini juga didukung oleh adanya perubahan Permen PUPR No. 7 Tahun 2023 tentang Bendungan. Beleid tersebut memberikan peluang pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk hingga 20% (atau lebih) yang semula hanya 5% dari luas genangan pada muka air normal.

Sumber : Ditjen EBTKE

 

Makin Diminati

Tingkat keberminatan masyarakat terhadap PLTS dewasa ini juga semakin meningkat. Pemerintah baru saja memberlakukan peraturan kuota untuk pemasangan PLTS Atap pada Juni lalu. Kuota diberlakukan berdasarkan 11 klaster terdiri dari klaster Sumatera, Kalimantan Barat, Kalseltngtim, Kalimantan Utara, Jawa Madura Bali, Sulutgo, Sulbagsel, Maluku dan Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Untuk tahun ini kuota sistem PLTS Atap ditetapkan sebesar 901 Megawatt (MW). Jumlah kuota terus meningkat setiap tahun dimana untuk tahun 2025 kuotanya ditetapkan 1.004 MW. Lalu tahun 2026 sebesar 1.065 MW. Meningkat menjadi 1.183 MW tahun 2027 serta menjadi 1.593 MW di tahun 2028.

Sumber : Kementerian ESDM

Berdasarkan catatan pemerintah untuk tahun ini dari kuota sebesar 901 MW sudah ada 825,5 MWp kuota yang terpakai dengan sisa kuota tahun ini sudah sebanyak 75,5 MWp. Pemerintah sendiri terbuka untuk menambah kuota PLTS Atap di tahun depan. “Berdasarkan kuota PLTS Atap yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk tahun 2025 dan sisa kuota PLTS Atap tahun 2024 yang tidak terpakai, saat ini PLN sudah melakukan penyusunan komposisi PLTS Atap per clustering/per UP3, sebagai dasar bagi pelanggan dalam mengajukan usulan pembangunan dan pemasangan PLTS Atap tahun depan ,” jelas Andriah Feby Misna, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM saat dihubungi Dunia Energi, Rabu (25/9).

PLN bakal jadi aktor utama dalam pengembangan PLTS Atap karena pemerintah sudah mengalokasikan kuota yang cukup besar bagi PLN. “Untuk PLN sendiri sudah ada kuota hingga tahun 2028. Total kuotanyakan kurang lebih di angka 1,5 GW untuk PLTS Atap. Jadi ada kurang lebih 60-an wilus (Wilayah Usaha) salah satunya PLN. Tapi untuk yang wilus-wilus lain ini juga kita dorong mereka untuk bisa menggunakan energi terbarukan. Salah satunya adalah yang paling gampang PLTS Atap,”ungkap Feby.

Menurut dia karakteristik seperti kapasitas tidak terlalu besar serta sudah ada kemudahan dari sisi ketersediaan lahan untuk memasang panel tentu wajar jika masyarakat menaruh minat tinggi terhadap PLTS Atap.

“Karena PLTS Atap itu waktu konstruksinya sangat singkat. Kalau kita bandingkan dengan proyek-proyek hidro, proyek geotermal itu kan butuh waktu mungkin diatas 5 tahun untuk konstruksi. Sehingga memang untuk short termnya ini PLTS atap yang menjadi concern kita,” ungkap Feby.

Sementara itu, Mada Ayu Habsari, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai kebijakan yang diusung pemerintah terkait PLTS khususnya PLTS Atap dengan pemberlakukan sistem kuota cukup ideal diterapkan. “Karena smua pihak terlibat akan memiliki persiapan yg lebih baik, namun mungkin sizenya bisa diadjust sesuai minat market,” ujar Mada kepada Dunia Energi, Kamis (26/9).

Dia pun berharap Pemerintah baru nanti terus mendorong upaya pemanfaatan energi terbarukan khususnya tenaga matahari karena potensinya sudah jelas dan hanya tinggal dieksekusi.

Mada optimistis, jika pemerintah mau membuka diri membahas kebutuhan dan memfasilitasi para pelaku usaha maka Indonesia bukan tidak mungkin bakal jadi negara terdepan dalam pengembangan EBT khususnya PLTS minimal dikawasan regional Asia Tenggara.

“Kita mulai dengan banyaknya perbaikan padar egulasi dengan merevisi peraturan yang dianggap menjadi bottleneck. Semoga setelah semua ada perbaikan ini maka Indonesia bisa “gaspoll” juga seperti negara ASEAN lainnya,” kata Mada.

Pemerintah juga sedang menyiapkan regulasi baru lainnya untuk menggenjot PLTS. Beleid terbaru nanti bakal mengusung konsep kombinasi dalam penetapan harga jual listrik. Selama ini kita tahu salah satu tantangan utama PLTS adalah sifatnya yang intermitten yaitu pembangkit listrik yang dalam proses pemasokan dayanya tidak tersedia secara terus menerus dikarenakan faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol, dalam hal ini adalah cuaca. Jadi ketika mendung ataupun ketika matahari mulai tenggelam, daya yang dihasilkan menurun atau bahkan hilang. Untuk itu diperlukan pembangkit yang berfungsi sebagai based load atau pembangkit yang mampu memenuhi permintaan minimum pada jaringan listrik selama 24 jam.

Sebagai contoh ada pelaku usaha yang ingin membangun PLTS maka sebagai based load juga memiliki pembangkit berbahan bakar biomassa. Maka penetapan harga jual listriknya akan dikenakan tarif berbeda atau kombinasi (bundling).

“Misalnya, PLTS itu sifatnya intermitten jadi harus punya based load jadi dikombinasikan dengan biomassa. Itu yang sedang kita atur (harganya),” kata Feby.

Hal utama yang akan menjadi pertimbangan kata Feby adalah capital expenditure (Capex) atau biaya investasi masing-masing pembangkit, serta  biaya operasionalnya. Nantinya regulasi yang akan mengatur mekanisme harga listrik dari pembangkit hybrid ini akan berbentuk Peraturan Menteri (Permen) ESDM. Saat ini progress penyusunannya kata Feby sudah mencapai 70% dan ditargetkan baru bisa diterbitkan di tahun depan.

Menurut Feby inisiatif rencana penerbitan aturan main ini tidak lepas dari suara para pelaku usaha yang juga sudah tinggi animonya untuk membangun pembangkit listrik hybrid.

“Sekarang mereka (pelaku usaha) mau bangun yang hybrid kan belum ada regulasi harganya jadi dengan adanya regulasi harganya sudah lebih terbuka buat mereka,” jelas Feby.

Iin Febrian, Direktur Manajemen Risiko Pertamina New & Renewable (Pertamina NRE), Subholding Pertamina yang khusus mengembangkan EBT salah satunya PLTS menyambut baik rencana pemerintah untuk menerbitkan aturan main tarif baru untuk listrik EBT.

Dukungan pemerintah dari segi tarif yang lebih atraktif, pastinya sangat membantu. Kalau implementasinya tentu kita lihat juknis dahulu, untuk evaluasi efektifitas pada investasi yang lebih agresif. Karena pola bundling ini, pertama kali di jalankan,” jelas Iin saat dihubungi Dunia Energi, Jumat (27/9).

Pertamina NRE sendiri saat ini mengelola PLTS dengan kapasitas terpasang sebesar 51 MWp yang tersebar dalam bentuk PLTS Atap serta PLTS skala besar (ground – mounted).

Phillip Effendy, Vice President Operations Xurya Daya Indonesia, melihat kebijakan pemerintah dalam mendorong pengembangan PLTS sejauh ini sudah menunjukkan langkah positif, terutama dengan berbagai regulasi yang mendukung penggunaan energi terbarukan. Namun dia mengingatkan agar pemerintah juga tidak lengah. Misalnya untuk aturan main terbaru berupa kuota memang belum sempurna, tetapi sudahbanyak poin yang lebih baik dari sebelumnya dan mampu mendorong implementasi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia, termasuk salah satunya penerapan kuota PLTS atap.

“Kedepannya, kami berharap implementasi kuota PLTS atap ini bisa berjalan dengan jelas dan transparan,” ujar Phillip kepada Dunia Energi (29/9).

Pelaku usaha kata Phillip berharap agar pemerintah dapat terus menciptakan regulasi yang konsisten, jelas, dan transparan, sehingga industri PLTS dapat lebih stabil dan menarik bagi para investor. “Dengan ini, pemerintah dapat meningkatkan kerja sama dengan sektor swasta untuk mengakselerasikan transisi energi bersih, sejalan dengan upaya global dalam pengurangan emisi karbon dan keberlanjutan lingkungan,” jelas dia.

Dengan semakin populernya skema sewa PLTS, memang bisa dibilang kendala awal adopsi panel surya (persepsi bahwa biaya awalnya mahal) sudah teratasi. Namun, menurut Phillip masih ada tantangan lain sebelum PLTS dapat diadopsi secara masif oleh masyarakat. Salah satu tantangan tersebut adalah kebijakan pemerintah yang masih seringkali berubah. untuk itu konsistensi kebijakan sangat diperlukan untuk memastikan investasi PLTS ini bisa berlangsung secara berkelanjutan.

“PLTS adalah investasi jangka sangat panjang (25+ thn). Apa yang akan terjadi apabila peraturannya berubah setiap ada presiden baru, atau bahkan setiap tahunnya?,” kata Phillip.

Sementara itu, Fabby Tumiwa, pakar transisi energi yang juga Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengungkapkan PLTS dan Biomassa (PLTBm) bisa saling melengkapi. Menurutnya PLTBm bisa menjadi solusi dari kebutuhan energy storage untuk produksi listrik konstan dari PLTS yang intermitten. “Saya harap rancanangan tarifnya memenuhi keekonomian dan mencerminkan ekspektasi pengembalian investasi pengembang,” kata Fabby saat dihubungi Dunia Energi, Sabtu (28/9).

Secara keseluruhan pemerintah kata Fabby telah menyadari potensi PLTS yang besar dan kebijakan saat ini memberikan ruang untuk pemanfaatan PLTS skala besar (utility scale) lewat proyek-proyek RUPTL PLN, PLTS Atap dengan target 3,5 GW sampai dengan tahun 2025, dan PLTS off-grid. Dia berharap pemerintah tetap memiliki semangat untuk mempercepat pengembangan PLTS melalui pemberian insentif. “Beberapa opsi insentif yang bisa diberikan pemerintah kepada publik atau konsumen dan bisnis untuk memanfaatkan PLTS lebih besar lagi,” kata Fabby.

Dia berharap pemerintah baru nanti juga menyadari potensi energi surya di Indonesia sangat besar dan dapat menjadi solusi untuk peningkatan bauran energi terbarukan dalam waktu singkat serta sebagai strategi mempercepat transisi energi di Indonesia yang berbiaya rendah. PLTS Atap misalnya punya potensi ratusan gigawatt di Indonesia.

Fabby menilai rencana pemerintahan Prabowo untuk membangun pemukiman dan perumahan 2-3 juta per tahun, dapat memasukan pemanfaatan PLTS Atap.

“Apabila setiap rumah dipasang 1 kWp PLTS Atap pada 2 juta rumah, kita akan mendapatkan 2 GWp secara kumulatif, yang tersebar di banyak lokasi. Jika tersambung pada jaringna PLN, maka PLN bisa mendapatkan pasokan energi terbarukan gratis, yang menguntungkan perusahaan ini,” jelas Fabby.

Sementara itu, Putra Adhiguna, Direktur Energy Shift Institute, menilai sudah ada kemajuan dalam upaya mempercepat pengembangan PLTS dengan diterbitkannya kuota daya listrik oleh pemerintah. “Sudah ada kemajuan dalam memberikan definisi kuota PLTS atap dan relaksasi TKDN tapi realisasi pembangunan baru dari PLN masih kita tunggu,” ungkap Putra saat dihubungi Dunia Energi (28/9).

Rencana pemerintah untuk memberlakukan skema bundling dalam penetapan harga listrik juga patut dinantikan. Menurut Putra rencana ini memang bisa jadi jalan tengah karena kepentingan PLN dan pelaku usaha bisa terwakili. “Ini memang tampak jalan tengah ketika PLN memerlukan listrik stabil sambil menunggu mereka meng-upgrade gridnya dan juga untuk daerah yang lebih terpencil,” kata Putra.

Semangat untuk menghadirkan energi bersih memang sepatutnya terus dipelihara. Tantangannya tidak kecil. Perlawanan terhadap EBT salah satunya PLTS dipastikan akan semakin besar ke berat karena masih banyak yang “mendewakan” energi fosil. Mereka “para penyembah energi fosil” punya sumber daya dan modal yang besar. Potensinya terus dikeruk membabi buta dengan embel-embel mengejar pertumbuhan ekonomi. Pendanaan mereka kuat bahkan di-backup oleh oknum penguasa. Tapi tidak lantas kita harus menyerah begitu saja.

Bagaimanapun juga penggunaan EBT adalah suatu keniscayaan seiring dengan makin terus tumbuhnya ide dan gagasan untuk meninggalkan warisan baik berupa lingkungan yang jauh lebih bersih bagi generasi masa depan. Cita-cita wajib dipelihara dan Indonesia punya modal sangat besar untuk mewujudkan hal itu mulai dari perencanaan yang sudah diinisiasi oleh pemerintah, kemampuan sumber daya manusia serta teknologi yang mampu menekan biaya investasi sehingga harga listriknya dipastikan bakal bisa bersaing dengan energi fosil.

Harapan itu ada di PLTS. Pemerintah sudah menyadarinya dan tinggal bagaimana mengeksekusinya!