JAKARTA – Dengan dibukanya kesempatan pemanfaatan bersama jaringan, sesuai Permen ESDM Nomor 01/2015, namun bukan berarti power wheeling diperbolehkan dalam RUU EBET Energi Baru dan Energi Terbarukan). Hal ini karena disparitas harga listrik yang lebih mahal dari apa yang telah diregulasikan oleh Pemerintah, akan mengakibatkan permasalahan baru yang dapat merugikan pemasukan negara. Di samping itu, memerlukan kesiapan PT PLN (Persero) dan PIUPL Terintegrasi sebagai pemilik dan pengelola jaringan. Demikian disampaikan Riki F Ibrahim, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) periode 2016-2022, dalam diskusi yang digelar IRESS di Jakarta, Selasa(3/9).

Dosen program S2 Energi Terbarukan (ET) Universitas Darma Persada ini menjelaskan penolakannya terhadap pasal power wheeling dalam RUU EBET, yang diyakini akan menghilangkan kesempatan pihak PLN menjual listriknya kepada pihak pembeli sebagai konsumen. “Apalagi pihak pembeli berada dalam wilayah usaha PLN, maka layak untuk PLN yang menjual listriknya dan bukan pihak lain,” ujar Riki.

Menurutnya, power wheeling hanya diperkenankan untuk pembangkit/penjual energi terbarukan (ET) dan pihak pembelinya itu dalam satu badan usaha sehingga tidak terjadi pasar bebas.

Riki menyebutkan bahwa power wheeling akan memicu terjadinya power trading dalam wilayah usaha PLN. Terkecuali, tidak ada PLN pada kawasan pihak pembeli listriknya itu, maka pihak pembangkit/penjual ET dapat menjual kepadapihak pembelinya.

Secara alamiah, kata Riki, PLN akan memprioritaskan pembangkitan sendiri (atau IPP yang sudah kontrak TOP dgn PLN) dan memprioritaskan kepada konsumennya sendiri. Power wheeling bukan prioritas bagi sistem operasi pihak PLN, dan pelaku power wheeling sewaktu-waktu dapat diputus. Biaya kerusakan pada sistem jaringan dan distribusi PLN juga akan menjadi pengurangan pemasukan PLN kepada negara dan bahkan memungkinkan melonjaknya angka PMN karena untuk menjadikan sistem Grid dan Distribusi PLN yang lebih canggih di seluruh Indonesia.

“RUU EBET tidak membuka pasar bebas karena pasar bebas tidak berlaku untuk Indonesia karena dalam UU 30/2009 dan PP 14/2012 terdapat regulasi mengenai wilayah usaha yang melarang penjualan listrik oleh pihak di luar pemegang wilayah usaha,” ujar Riki.

Riki menyampaikan bahwa RUU EBET yang memaksa sistem pemanfaatan yang berintegrasi untuk terbuka akan memberikan beban pada sistem pemanfaatan yang menjalankan fungsi koordinasi dan pengiriman listrik yang ekonomis saat ini.

Pemaksaan power wheeling dalam RUU EBET dapat merugikan negara. Disparitas harga listrik yang lebih mahal lagi dari apa yang telah diregulasikanoleh Pemerintah untuk ET. Kelak akan mengakibatkan ketidakpastian usaha dan menimbulkan permasalahan baru yang dapat merugikan negara. “Berubahnya kebijakan harga listrik yang ditentukan oleh satu sistem yang bukan pasar kompetitif, akan menjadi ketidakpastian berbisnis,” kata Riki.

Lebih lanjut Riki mengatakan RUU EBET sebaiknya fokus pada pemberian insentif fiskal yang diperluas dan diperbesar agar ET dapat berkembang cepat di Indonesia. “Karena,terbukti bahwa insentif yang telah diberikan oleh Pemerintah melalui Kementerian Keuangan itu belum menjadikan PERPRES 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan ET Untuk Penyediaan Tenaga Listrik sebagai regulasi percepatanyang handal,” kata Riki yang juga Dewan Pengawas METI periode 2022-2025

Kedepannya, lanjut Riki, Indonesia tidak menaikan harga jual listrik ET tetapi UU EBET memberikan Insentif agar harga jual listrik ET dari berbagai teknologi/aplikasi tidak membebani masyarakat pada akhirnya.

“RUU EBET segera berlakukan permintaan pajak karbon CO2, polusi Lingkungan, dan perdagangan karbon CO2,dan lainnya. RUU EBET harus sejalan dengan Putusan MK 2004 dalam arti yang luas bahwa ketika ada pembenahan dalam tata kelola urusan ketenagalistrikan, maka pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat melaksanakan kewajiban konstitusionalnya, sebagaimanadisebut dalam Pasal 33 UUD 1945,” ujar Riki. (RA)