JAKARTA – Penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor industri perlu didorong dengan upaya keberlanjutan dan pengelolaan lingkungan yang terukur dan terdokumentasi secara berkala. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa dokumentasi dan pelaporan upaya berkelanjutan serta pengelolaan lingkungan industri di indonesia perlu menjadi kewajiban yang mengikat. Agar sistem pelaporan ini efektif, IESR memandang baik pemerintah maupun industri perlu bersinergi untuk menentukan standar dan mekanisme pelaporannya.

Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro memaparkan pihaknya mempunyai Program Penilaian Peringkat Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER), sebagai strategi untuk memastikan penerapan tata kelola berkelanjutan.

“Keuntungan mengikuti PROPER bagi perusahaan yakni dapat melaporkan aktivitas usaha dengan lebih sederhana per masing-masing sektor. Kemudian, tersedia laporan berkala per tahun, sehingga pelaku usaha mengetahui emisi dan limbah yang dihasilkan oleh bidang usaha per tahun. Dengan laporan berkala ini memudahkan pelaku usaha untuk mendapatkan basis datanya. Saat memiliki data yang lengkap, maka langkah-langkah inovatif dapat dilakukan,” jelas Sigit pada workshop “Pelaporan dan Sertifikasi Upaya Penurunan Emisi oleh Industri” yang diselenggarakan oleh IESR bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian (21/6/2024).

Hingga 2023, terdapat 3.694 industri yang menjadi peserta PROPER dengan jumlah penghematan mencapai 158,54 triliun.

Selain bermanfaat untuk mengurangi biaya operasional bagi industri, sistem pelaporan upaya keberlanjutan yang berkualitas dan akurat akan berguna bagi pengambilan keputusan dan kebijakan yang tepat oleh pemerintah.

Analis Senior IESR Farid Wijaya mengatakan, pelaporan upaya keberlanjutan dan pengelolaan lingkungan industri juga bermanfaat untuk membangun nilai bisnis dan kepercayaan investor serta pemerintah. Namun, ia menyoroti peran kritis sistem pelaporan upaya keberlanjutan ini masih belum optimal berjalan di Indonesia. Farid menyampaikan pada 2022, berdasarkan survei PwC dan National University of Singapore di 50 perusahaan di Indonesia, hanya 88 persen perusahaan yang menyampaikan laporan keberlanjutan.

“Sistem pelaporan upaya keberlanjutan di Indonesia penerapannya belum maksimal. Untuk laporan keberlanjutan (sustainability report) masih bersifat sukarela. Sementara pada platform pemerintah, memang ada yang diwajibkan namun masih banyak yang belum memenuhi kualitas yang diharapkan. Padahal sistem pelaporan ini mempunyai fungsi yang signifikan untuk evaluasi dan dasar proyeksi kebijakan dan peraturan di masa depan,” imbuh Farid.

IESR mendorong pemerintah dan industri untuk memperkuat mekanisme pelaporan upaya berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan industri di Indonesia. Terdapat tiga hal yang dapat dilakukan, pertama, menjadikan pelaporan upaya keberlanjutan dan pengelolaan lingkungan industri di Indonesia sebagai kewajiban yang mengikat bagi seluruh industri. Kedua, regulasi perlu diseragamkan dan diharmonisasi agar sesuai dengan kebutuhan industri, termasuk standar muatan pelaporan yang diperlukan dan tata cara pelaporan, periode waktu pelaporan, dan metode verifikasi terkait hasil laporan yang akurat namun praktis. Ketiga, penyediaan platform terintegrasi yang memfasilitasi kebutuhan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah, menjaga kerahasiaan perusahaan dari pihak yang tidak berwenang, dan mempermudah pelaporan industri.

“Kepatuhan sektor industri dalam melakukan pelaporan upaya berkelanjutan dan pengelolaan lingkungannya akan meningkatkan daya saing industri di tingkat global dan membuka akses yang lebih luas terhadap rantai pasok material dan energi. Dengan demikian, Indonesia dapat memajukan industri,” ujarnya.(RA)