JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mengeluhkan kondisi fasilitas dan infrastruktur yang sudah tua khususnya di sektor hulu dan kilang membuat manajemen harus merogoh kocek dalam-dalam untuk melalukan perawatan sehingga fasilitas dan infrastruktur itu tetap bisa beroperasi optimal.

Emma Sri Martini, Direktur Keuangan Pertamina, menjelaskan tingginya biaya pemeliharaan berbagai fasilitas itu mau tidak mau memang harus dikeluarkan karena Pertamina adalah jantung utama pemasok energi di Indonesia.

 

Namun demikian dalam perjalanannya Pertamina tetap masih bisa bertahan bahkan sukses menurunkan rasio BOPO (Beban Operasional Pendapatan Operasional) di level 89%.

 

Pertamina itu dalam sejarahnya biasanya di level 94-95% (BOPO). Kalau kita menurunkan rasio BOPO 1% saja itu kita harus menurunkan biaya Rp135 triliun. Kurang lebih kalau 10% ya. Nah kalau 1% nya Rp13 triliunan. Nah kita sudah berhasil menurunkan 5%. Berarti kurang lebih sudah hampir Rp67-70 triliunan kita sudah berhasil menurunkan. Nah itu yang effort kita yang sudah kita lakukan tuh Pak, 94 ke 89%,” jelas Emma dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (12/6).

Rasio BOPO yang dicatatkan Pertamina kata Emma memang masih lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain khususnya di sektor migas, namun itu tidak bisa jadi tolak ukur karena karakteristik serta kondisi aset yang dikelola juga jauh berbeda.

“Kalau kita benchmark lagi dengan NOC-IOC mereka berada di kisaran 40%-70%. Namun kita lihat catatannya bahwa mereka tidak comparable dengan kita. Kenapa? Karena mereka asetnya kan muda-muda,” jelas Emma.

Berbagai pemeliharaan harus digelontorkan Pertamina setiap tahun baik itu di bisnis hulu ataupun hilir seperti kilang dan pipa – pipa minyak maupun gas. Sementara aset yang dimiliki oleh perusahaan luar negeri lainnya boleh dikatakan beluk mencapai 50 tahun. Ini tentu jauh berbeda dengan kondisi infrastruktur yang dikelola Pertamina.

Emma menceritakan untuk memastikan HSSE terjamin di infrastruktur tua yang dikelola, Pertamina bahkan telah menggelontorkan anggaran mencapai US$1,5 – US$ 2 miliar.

“Untuk repair pipa-pipa yang sudah tua, kilang-kilang yang sudah tua ada malah diaffirmatifkan. Harus di-spend, kalau enggak kilang-kilang kita beledak-beledukkan gitu . Jadi malah kita harus spend masing-masing subholding ada yang US$300 juta, US$400 juta USD itu harus dibelanjakan setiap tahun,” ungkap Emma. (RI)