JAKARTA – Dalam beberapa pekan terakhir masyarakat dihebohkan dengan adanya pemberitaan emas palsu Antam yang jumlahnya tidak main-main yaitu 109 ton. Tentu bukan jumlah yang sedikit apalagi kalau mengingat jumlah emas sebanyak itu beredar di masyarakat dalam kurun waktu satu dekade alias 10 tahun terakhir dari 2010 hingga 2021.

Tentu masyarakat kebakaran jenggot dengan kasus ini apalagi manajemen PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM) yang sejauh ini merupakan satu-satunya perusahaan yang memiliki lisensi dari London Bullion Market Association (LBMA) untuk melakukan peleburan dan cap Logam Mulia Antam.

Nico Kanter, Direktur Utama Antam menegaskan bahwa tidak ada emas palsu yang diproduksikan oleh Antam. Alasan pertama tentu karena Antam sudah memiliki lisensi dari LBMA yang tentu pengawasannya juga sangat ketat.

“Semua emas yang diproses harus melalui proses yang tersertifikasi dan LBMA itu sangat-sangat rigid dalam mengaudit kita, jadi emas yang diproses di Antam tidak ada emas palsu,” tegas Nico dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (3/6).

Kasus dugaan emas palsu berawal dari Kejaksaan Agung yang menemukan adanya dugaan korupsi dengan pencatutan lisensi dan cap LM dari Antam oleh para mantan pekerja Antam.

Nico menjelaskan Antam memiliki bisnis peleburan dan cap LM. Ini memang dimungkinkan lantaran Antam memiliki fasilitas peleburan emas dengan kapasitas mencapai 40-80 ton per tahun. Sementara kemampuan memasok Antam dari tambang emasnya sendiri yang ada di Pongkor hanya sebesar 1 ton per tahun. Untuk itu bisnis jasa peleburan dan cap LM dibuka. Jadi perusahaan lain juga bisa menjual emas yang dilebur dan dicap atau tersertifikasi LM Antam dengan biaya yang telah ditetapkan. Di pengenaan biaya itu yang diduga menjadi celah. Jadi para penambang emas tidak membayar fee atau biaya peleburan dan cap emas itu sesuai dengan aturan yang ada.

“Ada cap emas yang kita berikan karena kan dengan dicap itu kan meningkatkan nilai jual, tpai kita memang tidak mampu memproses semua emas yang ada, sekarang kapasitas pengolahan peleburan logam mulia 40-80 ton, padahal pongkor kita hanya 1 ton setahun itu kalaupun kita bisa produksi secara terus menerus secara sustainability. Karena itu kami harus memproses dari luar juga termasuk yang kita impor ataupun emas-emas yang ada di domestik,” jelas Nico.

Kunci dari kasus ini adalah ketika Kejaksaan menilai jasa peleburan dan cap LM Antam tidak dibayarkan dengan harga yang seharusnya.

“Itu memang brand value seolah-olah tidak kita charge, padahal dalam penghitungan kita ini sudah ada untungnya. Ini yang kita nggak bisa memperdebatkan bahwa kta sudah hitung dan sudah benar, ada baiknya kita dapet kajian apakah itu dari Lemhannas, ITB, untuk membuktikan apa yang kita lakukan sebenernya tidak ada yang merugikan,”ungkap Nico. (RI)