Barangkali ini kabar kurang enak bagi produsen minyak. Harga minyak bumi diprediksi akan membutuhkan waktu berdekade-dekade untuk pulih. Jika pun membaik, harganya tidak akan setinggi seperti tahun-tahun belakangan.
Potret buram itu terlihat dalam World Oil Outlook (WOO) terakhir yang dirilis negara-Negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC, pertengahan pekan ini. Dalam outlook yang membedah soal pasokan, permintaan dan harga minyak dunia dari 2020-2040 tersebut, OPEC memprediksikan bahwa harga minyak akan berada pada kisaran US$70 per barel pada 2020 dan US$95 pada 2040. Intinya, perusahaan migas harus ekstra sabar mengencangkan ikat pinggang!
Tentu saja harga tersebut sangat jauh dari posisi harga tertinggi yang ditorehkan komoditas emas hitam itu pada Juni 2014 sebesar US$114 per barel – sebelum harganya terus melorot akibat berbagai faktor terutama kelebihan pasokan. Pada Rabu pekan ini, harga minyak Brent terlihat sekitar US$36,51 per barel, lebih mahal sedikit dari harga minyak WTI di level US$36,47 per barel.
Penurunan harga minyak sebenarnya sudah diperburuk oleh keputusan OPEC pada tahun lalu, dimana 12 negara yang dipimpin Arab Saudi tersebut menolak untuk memangkas produksi untuk menekan kelebihan pasokan. Bahkan, Sekretaris Jenderal OPEC Abdalla Salem El-Badri mengatakan OPEC telah menjadi “benteng” untuk kestabilan harga di tengah situasi yang tidak menentu di industri migas.
“Kesetimbangan antara pasokan-permintaan pada 2015 hanya sekadar oversupply, dimana tingkat cadangan naik melebihi angka rata-rata lima tahunan. Meskipun situasi pasar berada dalam situasi tidak stabil, OPEC tetap menjadi pemasok minyak yang efisien, reliable dan ekonomis,” tulis El Badri, dalam laporan sebelumnya, seperti dikutip CNBC.com.
Permintaan dunia terhadap minyak terlihat menguat, meskipun sebenarnya tidak cukup kuat, ketika harga minyak tertekan akibat kelebihan pasokan. Dalam outlook OPEC kali ini, permintaan minyak di masa depan akan tumbuh hingga 97,4 juta barel per hari (bph) pada 2020, naik tipis sekira 500 ribu barel per hari dibandingkan pratinjau tahun lalu. Kemudian pada 2040, OPEC memprediksikan permintaan secara keseluruhan akan ditutup pada posisi 110 juta bph, turun sekitar 1 juta bph seperti prediksi tahun lalu.
Optimisme OPEC
Keputusan OPEC yang enggan memangkas produksi untuk mengangkat harga minyak secara luas dipandang sebagai satu cara yang dipilih grup itu untuk mempertahankan penguasaan pangsa pasar (market share) dari pesaing-pesaingnya seperti Kanada dan Amerika Serikat sebagai produsen minyak serpih (shale oil). Strategi serupa telah dipraktikkan negara-negara Non-OPEC, yang menghadapi angka produksi yang terus naik. Mereka saat ini tengah berjuang untuk mempertahankan titik impas produksi migasnya.
Akibatnya, banyak pesaing yang mengurangi jumlah rig dan membatalkan proyek pengeboran, sementara OPEC terus memompa ladang-ladang minyak hingga mencapai rekor baru, bahkan kadang melebihi ambang batas yang ditentukan sebanyak 30 juta bph. OPEC jauh-jauh hari sudah memperkirakan bahwa pasokan minyak dari negara-negara Non-OPEC akan menurun pada tahun depan, di tengah permintaan dunia yang meningkat. Penegasan itu juga terlihat pada outlook OPEC terbaru. “Ketika pasokan dari negara Non-OPEC tidak stabil, OPEC akan hadir untuk memenuhi permintaan itu,” tutur El-Badri.
Apabila dilihat dari perspektif pasokan, tuturnya, pada outlook tahun lalu produksi negara Non-OPEC diharapkan tumbuh menjadi 61,2 juta bph pada 2020. Tapi, tahun ini tampaknya produksi mereka menurun 1 juta bph menjadi 60,2 juta bph. “Semua itu artinya bahwa pada 2020, permintaan terhadap minyak mentah OPEC diantisipasi menjadi sekitar 30,7 juta bph, atau naik 1,7 juta bph dari tahun lalu,” beber El-Badri.
Masih Investasi?
Saat para pesaing memangkas jumlah rig, menghentikan proyek pengeboran, dan investasi, OPEC memperingatkan bahwa sangat penting membuat keputusan investasi yang penting dan keputusan itu akan dilaksanakan. “Jika sinyak baik tidak kunjung datang, di pasar kemungkinan akan ditemukan bahwa tidak ada infrastruktur dan kapasitas baru yang akan mampu memenuhi tingkat permintaan di masa depan. Kondisi ini tentu saja akan sangat jelas berpengaruh pada harga,” kata El-Badri.
OPEC telah memberikan sinyal siap untuk investasi. “Dalam pembangunan kapasitas upstream baru,” tulisnya. Dia menggarisbawahi bahwa OPEC berkomitmen untuk mengamankan pasokan bagi konsumen dimana dibutuhkan kerjasama yang erat dengan produsen untuk menjamin keamanan pasokan tersebut.
Dengan investasi tersebut, OPEC mengisyaratkan akan mampu memenuhi permintaan, dimana antara 2015-2040 akan ada peningkatan sekitar 10 juta bph. Pada saat yang bersamaan, produksi Non-OPEC diprediksi hanya sedikit di atas angka 3 juta bph.
Sementara permintaan minyak secara keseluruhan akan mencapai 110 juta bph, menurun tipis sebesar 1 juta bph dari perkiraan sebelumnya. Menurut El-Badri, kondisi tersebut dipengaruhi adanya peningkatan efisiensi energi, kebijakan lingkungan, dan penurunan angka pertumbuhan ekonomi global dalam jangka panjang.
Peluang Indonesia
Reaktivasi keanggotan Indonesia sebagai anggota OPEC pada awal Desember tahun ini diperkirakan akan memperkuat legitimasi organisasi multilateral di bidang perminyakan ini di pasar internasional. Pasalnya, volume ekspor minyak bumi Indonesia pada 2014 hampir menembus angka 110 juta barel dan nilai ekspor mencapai US$10,3 miliar. Dengan demikian, Indonesia seharusnya juga memetik keuntungan dari keputusan-keputusan yang dibuat OPEC.
Sayangnya, Indonesia masih memiliki sejumlah kendala untuk menggenjot angka produksi minyak. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said beberapa waktu lalu mengakui iklim investasi migas di Tanah Air kurang menarik. Para investor migas malas menanamkan modalnya di Indonesia karena beberapa aturan tidak mendukung industri ini. “Ada banyak regulasi investasi migas kita dianggap kurang menarik, terlebih dalam suasana market seperti ini,” katanya.
Salah satu aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Aturan ini dianggap menyulitkan kontraktor migas untuk mendapatkan biaya operasi yang telah dikeluarkan. Saat ini pemerintah tengah mengkaji untuk menghapus aturan tersebut. Bahkan, kata Sudirman, pemerintah juga akan menghapuskan sistem cost recovery dan mengubah skema kerjasama migas.
Situasi tidak menguntungkan tersebut akhirnya tergambar dalam realisasi invetasi di sektor migas. Hingga Oktober 2015, investasi di sektor migas hanya mencapai US$13,61 miliar atau 57,4% dari target sebesar US$23,7 miliar. “Pemerintah harus mencari jalan untuk mengubah secara total suasana iklim investasinya. Insentif migas dianggap tidak lagi menarik bagi investor. Di sisi lain, investasi migas juga banyak dipengaruhi oleh suasana politik yang cukup menantang karena harus berhadapan dengan pihak daerah yang memiliki aspirasi tersendiri. Ini pekerjaan rumah kita dan suatu saat kita perlu diskusikan untuk menata UU Migas juga,” tambah Sudirman.
Realisasi angka investasi tersebut masih jauh dari prediksi Indonesian Petroleum Association (IPA). Sebelumnya, IPA memperkirakan nilai investasi sektor hulu migas pada tahun ini akan turun sebesar 20% mencapai US$25,6 milia akibat mayoritas perusahaan minyak menahan diri untuk melakukan investasi akibat harga minyak dunia yang diperkirakan masih rendah.
PT Medco E&P Indonesia, anak usaha Medco Energi, mislanya, pada 2015 tidak menambah jumlah produksi migas. Medco menargetkan akan memproduksi migas sebesar 60 ribu barel oil equivalent per day (BOEPD) seperti target produksi 2014. Realisasi belanja modal untuk eksplorasi dan eksploitasi Medco di area domestik dan internasional diturunkan dari US$305 juta pada 2014 menjadi US$211,7 juta hingga akhir tahun ini. Menilik data-data tersebut, pada 2016, investasi Medco ditaksir bakal berada pada kisaran US$200 jutaan.
Indonesia tampaknya masih berharap pada produksi migas dari PT Pertamina (Persero). Apalagi, perusahaan migas plat merah itu merencanakan peningkatan investasi menjadi sebesar US$5,31 miliar pada 2016 atau naik 20,7% dibandingkan dengan tahun ini sebagai upaya perusahaan untuk memacu kinerja baik dari hulu hingga hilir.
Hal tersebut tergambar dalam Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina mengenai Pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT Pertamina (Persero) tahun 2016 di Jakarta, Senin (21/12). Dalam RKAP 2016, Pertamina juga mematok aset konsolidasian sebesar US$50,83 miliar.
“Harus diakui bahwa tahun depan, tekanan di bisnis migas sebagai penopang utama masih akan terus berlanjut dengan harga minyak mentah yang diprediksi masih relatif lemah, dan depresiasi kurs rupiah terhadap dollar AS. Namun, di tengah tekanan tersebut, Pertamina akan berupaya untuk dapat meraih yang terbaik di segala lini bisnisnya. Peningkatan kinerja operasional dan efisiensi di segala lini sebagai bagian dari 5 pilar strategi prioritas Pertamina akan tetap menjadi tema sentral untuk mengatasi situasi yang belum terlalu menggembirakan,” kata Dwi Soetjipto, Direktur Utama Pertamina.(LH)
Komentar Terbaru