JAKARTA– Harga jual uap dan tarif listrik dari energi geothermal masih menyisakan masalah serius dalam pengembangan panas bumi di Indonesia. Hal ini berpotensi mengurangi minat investor untuk mengembangan energi baru dan terbarukan, khususnya panas bumi di Tanah Air.
Pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia hingga saat ini masih sangat minim. Dari potensi sebesar 28.910 megawatt, yang baru dikembangkan masih di bawah 2.000 MW atau kurang 5% dari total potensi yang dimanfaatkan untuk listrik. Padahal, jika potensi panas bumi itu dimaksimalkan, setara dengan penggunaan 219 miliar barel minyak untuk pembangkit listrik.
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Suryadarma mengatakan, dalam hal negosiasi harga listrik panas bumi, Indonesia seharusnya belajar dair pengalaman ketika terjadi krisis ekonomi pada 1998. Ketika itu karena kondisi ekonomi, harga listrik panas bumi pun dinegosiasikan dari semula US$ 8 sen per kilowatthour (kWH) menjadi US$ 4,2 sen/KwH.
“Setelah kondisi kembali normal ternyata susah sekali mau naik lagi ternyata sangat sulit belum lagi dengan single buyer dalam hal ini PT PLN (Persero),” ujar Suryadarma.
Persoalan harga uap dan tarif listrik panas bumi mencuat setelah PLN tak bersedia melanjutkan kesepakatan awal yang telah dibuat dnegan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero). Padahal, PLN dan PGE sebelumnya telah meneken interim agreement yang akan berakhir pada 31 Desember 2015.
Interim agrrement meliputi perjanjian jual beli uap (PJBU) Kamojang unit 1,2, dan 3 di Bandung, Jawa Barat dan Lahendong unit 1,2,3,4 di Sulawesi Utara serta perjanjian jual beli listrik dari Kamojang unit 4. Dalam kesepakatan interim disebutkan bahwa harga jual beli uap dan listrik panas bumi milik PGE itu berkisar US$ 6-9 sen per KWH kendati PGE mengusulkan harga sedikit di atas interim agreement karena perusahaan harus menambahkan biaya perawatan dan juga eksplorasi sumur baru. Anehnya, manajemen PLN malah mengusulkan penurunan harga menjadi di level US$ 3 sen per KWH bahkan ada usulan US$ 2,9 sen per KWH.
Manajemen PLN dan PGE disbeut-sebut telah bertemu pada pertengahan November lalu. Dalam pertemuan tersebut, manajemen PLN malah tak bersedia perpanjang interim agreement sehingga PJBU Kamojang akan berakhir, PJBU Lahendong 1-4, dan PJBL Kamojang 4 kembali ke kontrak awal PJBU/PJBL.
Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan untuk proyek existing yang dimiliki PGE saat ini dalam proses negosiasi secara bisnis (business to business/B to B) dengan PLN. “Pemerintah memfasilitasinya, termasuk melalui verifikasi oleh BPKP,” katanya.
Menurut Suryadarma, perusahaan yang mengembangkan energi panas bumi menjadi tidak ada pilihan selain menyepakati harga yang ada. Ke depan hal ini dinilai akan menjadi pertimbangan investor apakah mereka akan investasi di energi panas bumi atau tidak. “Masa kita mau mengulangi lagi sekarang dengan menurunkan harga listrik panas bumi ke level yang lebih rendah,” katanya.
Menurut dia, selama ini PGE yang paling banyak mengembangkan wilayah kerja panas bumi miliknya. Perusahaan lain masih belum terlihat kemajuannya. Salah satunya karena persoalan harga.
“Jika harga menjadi tidak menarik maka potensi ini semakin tidak menarik untuk dikembangkan. Bisa saja harga harga ini menjadi referensi bagi yang lain,” katanya.
Terkait harga jual uap dan listrik dari panas bumi, Suryadarma menyarankan jangan diserahkan pada mekanisme bisnis (B to B). Dia setuju perlunya intervensi pemerintah karena karakateristik investasi di energi adalah investasi besar di awal.
“Dalam penentuan harga tidak tidak bisa diserahkan pada mekanisme bisnis. Energi terbaruka memiliki keunggulan dari sisi lebih bersih dan terbarukan. Pemerintah harus terlibat dalam penyelesaian soal harga karena selama ini pun harga yang sudah ditetapkan dalam regulasi pun seperti sulit dilaksanakan,” ujarnya. (DR/RA)
Komentar Terbaru