NENEK moyangku seorang pelaut. Kepingan lirik lagu anak-anak yang diciptakan Ibu Sud itu menggambarkan leluhur kita yang terbiasa hidup di pesisir yang menggantungkan hidupnya di laut. Kehidupan yang digambarkan di laut itu bisa kita lihat juga di kampung Tihi Tihi, Bontang, Kalimantan Timur. Di sana sekitar 90an kepala keluarga hidup di atas air laut. Mengapung.
Warga di sana sangat menggantungkan hidupnya dari budidaya rumput laut. Menjadi petani rumput laut sebenarnya tidak terlalu sulit. Bibit rumput laut tinggal diikat dan dibentang dengan tali. Lalu tinggal tunggu saja selama 40 hari. “Setiap hari dicek, dibersihkan dari lumut. Dari pagi sampai sampai jelang sore lah,” kata Irwan saat berbincang dengan Dunia Energi di kampung Tihi Tihi, Jumat (3/11)
Irwan mulai jadi petani rumput laut di kampung Tihi Tihi sejak tahun 2016. Dia menjelaskan ada dua jenis rumput laut yang dibudidayakan orang Tihi Tihi, rumput laut putih dan coklat. Setelah bibit rumput laut ditebar dan menunggu 40 hari baru masa panen tiba. Rumput laut kemudian melalui proses pengeringan selama 2-3 hari. “Kalau mataharinya kencang, panas paling beberapa jam sudah kering,” ujar Irwan.
Sekali masa panen rata-rata rumput kering yang bisa dihasilkan dan dijual ke pengepul sebesar 50 kg yang kemudian dijual Rp 10 ribu per kg. Itu merupakan hasil panen rata-rata termasuk saat cuaca sedang tidak bagus. Sementara jika cuaca bagus laut tenang dan tidak banyak angin, panen bisa dua kali lipat dari kondisi cuaca terburuk. “Lagi bagus musim 1-2 kwintal rumput laut kering ittu biasanya hanya bulan pas 2 sampai akhir bulan 3,” cerita Irwan.
Hasil panen rumput laut warga Tihi Tihi ternyata terus menurun setiap tahun. Ini tidak langsung disadari oleh para petani. Irwan menceritakan penurunan tersebut terasa betul sejak beberapa tahun terakhir karena dulu hasil panen jumlahnya jauh diatas rata-rata yang bisa diraih sekarang.
Salah satu faktor utama dari makin turunnya produksi rumput laut adalah penggunaan bibit yang sama terus menerus selama bertahun-tahun. Jadi, rumput laut dipanen diambil bakal bibit atau batang kecil yang baru tumbuh di satu bagian rumput laut kemudian dijadikan sebagai bibit. Hanya saja bibit ini ternyata sudah tidak terlalu kuat dan cepat rusak, lantaran berasal dari tanaman rumput laut yang berulangkali dijadikan bibit selama lebih dari 10 tahun.
Kegusaran akhirnya berangsur hilang seiring dengan kedatangan benih rumput baru dari bumi Celebes atau Sulawesi. PT Badak NGL sengaja mendatangkan bibit rumput laut tersebut setelah melakukan social mapping serta koordinasi dengan pemerintah daerah, serta masyarakat setempat. Hasil social mapping dan koordinasi tersebut terungkap bahwa produksi rumput laut kampung Tihi Tihi terus mengalami penurunan.
Masalah satu selesai, sekarang para petani tengah menantikan hasil dari bibit baru tersebut. Kondisi lainnya yang juga diperjuangkan adalah lingkungan. Badak LNG juga berinisiatif agar lingkungan laut tempat budidaya rumput laut terjaga. Jika kita mendekati luatan di sekitar kampung Tihi – Tihi kita akan disambut dengan botol minuman plastik. Orang awam pasti mengira itu adalah sampah laut. Sampah dari kampung Tihi – Tihi. Padahal itu adalah bagian dari budidaya rumput laut. Botol plastik tersebut digunakan sebagai pelampung dalam proses budidaya rumput laut.
Umur botol-botol plastik itu ternyata sebentar. Paling lama hanya mencapai 3-6 bulan. Setelah itu botol akan pecah dengan sendirinya dan dibiarkan begitu saja mengambang di lautan lepas sehingga menjadi sampah laut. “Kalau botol plastik paling cepat bisa pecah setelah 3 bulan,” ujar Irwan.
Botol plastik transparan juga rentan terkena baling-baling kapal karena tidak terlihat dengan jelas oleh kapal-kapal yang melintas. Sehingga dapat menimbulkan konflik sosial. Jumlah botol plastik yang kami gunakan untuk pelampung rumput laut kadang bisa mencapai 500, bahkan 1.000 botol.
Badak LNG turun tangan. Mengatasi hal tersebut para petani kini menggunakan Kapsurula (Kapsul Pelampung Rumput Laut Ramah Lingkungan). Keunggulan dari Kapsurula. Kapsul pelampung terbuat dari bahan fiber dan ketahanan Kapsurula ditaksir mencapai 15 -40 tahun. Hal ini tentu dapat menekan penggunaan sampah plastik. Kapsurula juga menjadi navigasi jalur kawasan rumput laut dan transportasi laut dengan dilakukan pengecatan agar nampak dipermukaan lautan.
Warga kampung Tihi-Tihi ternyata sempat alami kesulitan budidaya. Akhir tahun lalu misalnya, mereka tidak bisa panen selama lebih dari delapan bulan. Sementara hasil tangkapan ikan juga tidak bisa diharapkan. Akhirnya inisiatif diambil manajemen Badak LNG untuk mengembangkan ternak ikan melalui sistem keramba yang dibuat dari limbah nonB3, FRP (Fiberglass Reinforced Plastic).
Dengan budidaya ikan keramba ini diharapkan masyarakat punya alternatif mata pencaharian saat melaut atau budidaya rumput laut sedang tidak bisa dilakukan.
“Kita dibantu bangun keramba, Ikan kerapu, kakap merah, total 99,6 kg. Bibit ikan cantran 1.400 ekor, bibit lokal, Kakap Merah Kerapu,” ungkap Irwan.
Selain itu, Badak LNG juga menggandeng Institut Pertanian Bogor dengan implementasikan Electronic Fish Aggregating Device (eFAD), yaitu sebuah alat yang digunakan unutk menarik kerumunan ikan.
Kemudian ada juga penggunaan limbah alumunium menjadi baling-baling perahu nelayan yang diproduksi oleh Bank Sampah Telihan Recycle. Selanjutnya ada juga kerjasama antara Masyarakat Tihi-Tihi dengan mitra binaan Badak LNG lainnya dan Badak Diving Club unutk membuat modul terumbu karang dari material bekas dalam kegiatan konservasi terumbu karang.
Semua program tersebut dibalut dalam program Menara Marina yaitu menuju nelayan ramah lingkungan mandiri dan sejahtera.
Teten Hadi Rustendi, Director & Chief Operating Officer Badak LNG, menjelaskan perusahaan memiliki filosofi keseimbangan. “Kami ada 2000 hektar (ha) lahan, kami dorong keseimbangan antara pengembangan dan kebutuhan. Fakta kita seimbngkan kondisi 2000 ha ini bisa menopang semesta yang ada di 2000 ha ini,” jelas Teten.
Setiap tahun manajemen Badak LNG kata Teten, mempunyai agenda khusus untuk membahas inovasi untuk membantu masyarakat.
“Melahirkan inovasi Di sini kumpulin pemda, masyarakat LSM diskusi, sampai 2-3 bulan akhirnya disepakati dari seluruh ide2 yang dibutuhkan tuh itu. Jadi kita rembukan dengan masyarakat, LSM, Pemda bahkan perguruan,” jelas Teten. (RI)
Komentar Terbaru