NUSA DUA- Hilirisasi tambang memberikan efek berantai (multiplier effect) berupa penciptaan nilai tambah dan penciptaan lapangan kerja hampir dua kali dibandingkan aktifitas pertambangan tanpa pengolahan (tanpa hilirisasi). Hilirisasi akan sangat menguntungkan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat karena barang tambang diproses lebih dulu atau hilirisasi (downstream) di Tanah Air dibandingkan model lama yang ekspor langsung barang mentah oleh pelaku tambang di hulu (upstream)

Teguh Dartanto, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mengatakan sejak Indonesia memiliki 15 smelter nikel pada 2022, atau enam bulan sejak larangan ekspor bijih niel diberlakukan, realisasi investasi mencapai US$ 6,3 miliar atau lebih dari Rp100 triliun. Hasilnya, antara 2019-2022, realisasi penanaman modal asing (PMA) untuk industri Logam Dasar, Barang Logam, Bukan Mesin, dan Peralatan menunjukkan pertumbuhan positif. “Rata-rata 50,5%,” ujar Teguh saat menyampaikan materi “Integrated Mining & Value Added Investment” pada Indonesia Mining Summit di Nusa Dua, Bali, baru-baru ini.

Teguh mengungkapkan, dampak ekonomi kegiatan hilirisasi adalah kenaikan ekspor sehingga surplus perdagangan. Di sisi lain ada penerimaan negara berupa pajak dan PPH badan. Lokasi pembangunan smelter, lanjut Teguh, juga sangat penting untuk optimalisasi dampak. “Jika lokasi di luar Jawa, dampak luar Jawa dan Jawa berimbang. Jika lokasi di Jawa, dampak terbesar di Jawa,” katanya.

Dia menjelaskan, dampak sosial ekonomi untuk daerah/lokasi bergantung pada kesiapan rantai pasok (supply chain), konektifitas antarwilayah, dan faktor sumber daya manusia. “Terpenting adalah konsistensi dan kebijakan industrialisasi yang komprehensif bukan hanya fokus di hilirisasi,” katanya.

Alexander Barus, CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park, menambahkan sektor tambang untuk mendukung Indonesia Emas pada 2050 adalah nikel, bauksit, tembaga-emas, batubara, silika, dan sumber daya alam yang tidak terbarukan lainnya. Selain itu, CPO, rumput laut, perikanan laut, dan sumber daya alam terbarukan lain. “Hilirisasi harus diikuti industrialisasi guna mencapai nilai tambah maksimum,” ujarnya.

Dia mengatakan, investasi Morowali bertumbuh karena faktor aan dan nyaman plus kondusivitas iklim investasi nasional. Proses ini berlangsung sejak 10 tahun lalu. Selain itu, tambah Alexander, proses hilirisasi sejatinya diterapkan untuk sumberdaya alam terbarukan dan tidak terbarukan. “Kebijakan terintegrasi dan selaras antarlembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga keuangan akan memperkokoh hilirisasi,” katanya. (DR)