JAKARTA – Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyelenggarakan dialog tingkat tinggi yang pertama kali diadakan antara Indonesia dan Tiongkok untuk memperdalam kerja sama antara kedua negara dalam hal transisi energi, Selasa (26/9), di Jakarta. Dialog ini diselenggarakan atas kerjasama dengan Kemenko Marves, lembaga think-tank Indonesia Institute for Essential Services Reform (IESR), BRI International Green Development Coalition (BRIGC) yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan di Tiongkok, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional di bidang hukum lingkungan, ClientEarth. Dialog ini menjadi dasar dari laporan yang akan diterbitkan oleh IESR, BRIGC dan ClientEarth mengenai peran China dalam mempercepat transisi energi di Indonesia.
Dialog ini mempertemukan perwakilan dari kedua lembaga pemerintah dan para pemimpin industri utama untuk mempresentasikan dan bertukar pandangan dari kedua negara untuk menemukan kesamaan dalam membangun kerja sama terutama di sektor energi. Hadir dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut di antaranya Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Investasi, PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Energi, dan Kementerian Perindustrian dari Indonesia dan National Development and Reform Commission (NDRC), lembaga afiliasi Kementerian Perdagangan, China Development Bank, BRI International Green Development Coalition, China Renewable Energy Engineering Institute, dan Asosiasi Industri Energi Terbarukan dari China.
Tahun ini menandai ulang tahun ke-10 pengumuman Belt and Road Initiative (BRI) bersamaan dengan ulang tahun ke-10 dari kemitraan strategis komprehensif antara Tiongkok dan Indonesia. Selama satu dekade terakhir, China semakin memprioritaskan kerja sama dalam pembangunan hijau dan telah mengimplementasikan sejumlah proyek energi bersih yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berkelanjutan. Dengan keunggulan teknologi dan biaya, kemitraan yang saling menguntungkan ini dapat membawa peluang lompatan ke depan bagi para investor China, dan memanfaatkan transisi rendah karbon di Indonesia.
Antara tahun 2006 hingga 2022, investasi China di Indonesia mencapai sekitar USD$ 35 miliar. Seperempat dari total investasi ini disalurkan ke sektor energi. Namun, 86% dari jumlah tersebut digunakan untuk industri energi berbahan bakar fosil. Sejalan dengan janji Presiden Xi Jinping pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-76, Cina mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan dukungan bagi negara-negara berkembang lainnya dalam mengembangkan energi ramah lingkungan dan rendah karbon, serta tidak akan membangun proyek-proyek pembangkit listrik tenaga batubara di luar negeri.
Salah satu dari lima proposal yang dibuat oleh Presiden Xi pada Peringatan 30 Tahun Hubungan Dialog China-ASEAN adalah untuk bersama-sama mempromosikan transisi energi regional, mendiskusikan pendirian pusat kerja sama energi bersih China-ASEAN, dan meningkatkan pembagian teknologi dalam energi terbarukan dan untuk mengintensifkan kerja sama dalam keuangan dan investasi hijau untuk mendukung pembangunan rendah karbon dan pembangunan berkelanjutan di tingkat regional.
Dialog ini dilakukan untuk memahami perkembangan Indonesia dan Tiongkok khususnya di bidang energi berkelanjutan dan industri manufakturnya. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Untuk mencapai target ini, dibutuhkan investasi sebesar US$ 1,1 triliun atau setara dengan 768 GW kapasitas energi terbarukan.
Tenaga surya akan menjadi teknologi terdepan dalam transisi menuju nol emisi di Indonesia karena potensinya yang besar, biayanya yang rendah, dan mudah dipasang dalam jangka waktu yang singkat. Indonesia juga memiliki cadangan mineral global yang besar yang dibutuhkan untuk sel surya dan baterai. Oleh karena itu, diperkirakan permintaan modul surya dan komponen lainnya di Indonesia akan meningkat pesat dalam lima tahun ke depan.
“Keberlanjutan telah menjadi bagian inti dari kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) dan terdapat peluang investasi yang sangat besar di antara kedua negara untuk mempercepat transisi hijau dan rendah karbon pada sistem energi Indonesia. Secara teknis dan ekonomis, mencapai nol emisi karbon pada tahun 2050 dapat dilakukan dengan mendekarbonisasi sistem energi Indonesia. Hal ini akan membutuhkan elektrifikasi yang luas pada sektor transportasi utama, penyebaran energi terbarukan secara luas, pengurangan infrastruktur bahan bakar fosil, penggunaan penyimpanan energi dan elektrolisis dalam jumlah besar untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan, serta pembawa energi untuk transportasi dan industri, dan konektivitas jaringan listrik yang dapat diandalkan antara pulau-pulau di Indonesia,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Untuk memperdalam kerja sama hijau dan rendah karbon antara Tiongkok dan Indonesia, draf laporan “Critical role of China on accelerating Indonesia’s energy transition” dipresentasikan dalam dialog tersebut. Elizabeth Wu, Konsultan Hukum dari tim Sistem Energi ClientEarth di Asia, memoderatori diskusi mengenai temuan-temuan dari laporan tersebut. Diskusi tersebut membahas tentang memperkuat kemitraan energi terbarukan tingkat tinggi antara China dan Indonesia melalui pengembangan strategi jangka panjang bersama dan menyelesaikan perjanjian bilateral, eksplorasi mekanisme inovatif dan struktur pembiayaan untuk meningkatkan jalur proyek hijau dan zona percontohan BRI serta proyek percontohan, dan memperdalam pertukaran dan mengeksplorasi integrasi lebih lanjut dengan strategi regional ASEAN.
Dimitri de Boer, Direktur Program Regional ClientEarth untuk Asia, mengungkapkan apresiasinya terhadap kegiatan tersebut. “Belt and Road Initiative (BRI) dapat memainkan peran penting dalam transisi energi global, dengan bekerja sama dengan negara-negara mitra seperti Indonesia untuk benar-benar meningkatkan penyebaran energi terbarukan,” ujar Dimitri de Boer.(RA)
Komentar Terbaru