JAKARTA – Transformasi sektor ketenagalistrikan dengan pengembangan energi terbarukan dan percepatan pengakhiran operasional PLTU batubara membutuhkan pembiayaan signifikan. Tersedianya pembiayaan transisi energi akan membantu pemerintah, perusahaan utilitas maupun kelompok masyarakat untuk memperbanyak proyek energi terbarukan sehingga semakin menurunkan harga pembangkitan energi terbarukan. Saat ini, menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), untuk memenuhi kebutuhan investasi energi terbarukan, Indonesia perlu berinovasi dalam menciptakan skema pembiayaan berkelanjutan yang inovatif.
“Ide skema dan inovasi pembiayaan perlu terus dieksplor mengingat uniknya struktur pasar ketenagalistrikan di Indonesia. Indonesia bisa memanfaatkan proses Just Energy Transition Partnership (JETP) maupun Energy Transition Mechanism (ETM) untuk eksplorasi skema tersebut. Pada akhirnya skema yang bisa diterapkan pasti membutuhkan masukan dari semua pemangku kepentingan, PT PLN, pemilik pembangkit listrik, dan institusi finansial,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, pada hari ke-3 pelaksanaan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), Rabu (20/9).
Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.
Salah satu peluang untuk membiayai transisi energi dengan terbatasnya pendanaan publik, menurut Iliad Lubis, South Asia Utility Transition Manager, Rocky Mountain Institute, adalah kredit karbon. Illiad menuturkan kredit karbon dapat meningkatkan pendanaan dari kesepakatan transisi dari batubara, membangkitkan kualitas kredit karbon yang lebih tinggi di pasar karbon, dan mempercepat transisi energi.
“Meskipun saat ini ada berbagai persyaratan untuk monetisasi karbon kredit, namun ke depannya peluang untuk memanfaatkan pembiayaan karbon akan menjadi semakin menarik dengan pasar karbon yang diprediksi akan tumbuh signifikan,” ujar Illiad.
Sementara dari kalangan bisnis, kebutuhan pembiayaan seperti pinjaman lunak maupun dukungan kredit dari institusi pembiayaan akan membantu bisnis untuk beralih ke sektor energi terbarukan.
“Tentu saja untuk tahap awal, kami membutuhkan peta jalan transisi energi yang jelas sehingga kami dapat mengetahui besaran pembiayaan yang dibutuhkan. Kedua, menimbang pendanaan publik yang terbatas, kami membutuhkan dukungan pembiayaan dari multilateral maupun filantropis untuk pembiayaan konsesional yang dapat memadukannya dengan bank komersial. Hal ini akan memberikan risiko kredit yang tepat bagi proyek sehingga investor mendapatkan imbal hasil yang memadai,” kata Ekha Yudha Pratama, Head and Advisory Services PT SMI.
Agar transformasi di sektor ketenagalistrikan berjalan secara cepat untuk mengejar target penurunan emisi yang signifikan, Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan IESR dalam IETD 2023 menyampaikan delapan rekomendasi untuk mempercepat transformasi energi di sektor kelistrikan yang adil di Indonesia.
Pertama, menyusun dan mengajukan transisi energi dan mengaitkannya dengan pembangunan sosial dan ekonomi. IESR dan ICEF menyatakan perlu adanya hubungan yang jelas antara target yang ditetapkan di masing-masing kementerian.
Kedua, tersedianya dukungan yang kuat terhadap pembangunan energi terbarukan dalam lima tahun ke depan. Kesepakatan para pemimpin G20, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukannya, perlu disikapi secara serius dengan memberikan insentif bagi pasar dan industri energi terbarukan.
Ketiga, meningkatkan transparansi dan aksesibilitas data energi terbarukan melalui kolaborasi bersama. Data dan informasi energi terbarukan yang komprehensif dapat memberikan manfaat
bagi seluruh pemangku kepentingan, seperti mengurangi ketidakpastian dalam pengembangan proyek bagi IPP, lembaga keuangan serta operator sistem pendukung sehingga memiliki perencanaan yang lebih efisien dalam pemanfaatan energi terbarukan.
Keempat, menciptakan pusat riset variabel energi terbarukan untuk memperoleh pembelajaran
dalam pengembangan energi terbarukan terutama surya dan angin, serta operasi sistem. Hal ini akan mengatasi tantangan pengoperasian sistem yang fleksibel namun tetap andal di tengah
ketidakpastian permintaan dan variasi pasokan.
Kelima, mendorong dan memfasilitasi pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat untuk
mengidentifikasi potensi energi terbarukan serta mengembangkan pemanfaatan energi
terbarukan tersebut untuk rencana transisi energi secara lokal. Transisi energi perlu melibatkan
seluruh pihak, langkah pertama yang bisa dilakukan yakni mengidentifikasi kelompok aktor yang berbeda dan melakukan dialog.
Keenam, meninjau kembali, dan menggabungkan kebijakan dan peraturan untuk memfasilitasi proyek energi terbarukan untuk menemukan tarif yang kompetitif. Penggabungan kebijakan
tersebut, paling tidak, dapat mencerminkan target energi terbarukan yang lebih ambisius, penjadwalan proses pengadaan proyek energi terbarukan yang transparan dan reguler, serta mitigasi berbagai risiko dari pengembangan energi terbarukan.
Ketujuh, menjajaki dan menguji struktur pembiayaan termasuk proyek batubara menjadi energi terbarukan dengan pengembang swasta dan lembaga keuangan serta memanfaatkannya diantaranya melalui skema kerjasama transisi energi yang berkeadilan Just Energy Transition
Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM).
Kedelapan, mengutamakan transisi energi sebagai isu utama dalam manifesto politik calon pemimpin nasional dan provinsi menjelang pemilu. Transisi energi akan berdampak langsung
terhadap masyarakat, seperti aspek keterjangkauan dan keamanan energi dalam jangka pendek, dan dampak dari perubahan iklim terhadap penghidupan masyarakat secara umum dalam jangka panjang. Untuk itu, Indonesia memerlukan kepemimpinan yang kuat dalam proses transisi energi. IETD mendorong agar transisi energi menjadi salah satu agenda utama yang dibahas selama masa kampanye.(RA)
Komentar Terbaru