“Perusahaan hanya dapat bertahan kalau memenuhi kebutuhan sosial, dan sebaliknya, perusahaan hanya dapat melayani kebutuhan sosial kalau ia mantap secara ekonomi.”
“Jangan menyombongkan sumbangan Anda.”
Dua kalimat yang berasal dari pernyataan mantan Presiden Direktur Julius Tahija tersebut dikutip Corporate Communication Manager PT Chevron Pacific Indonesia Dony Indrawan ketika memulai presentasinya tentang Corporate Social Responsibility (CSR) pada suatu sore di Garut, baru-baru ini. Itu adalah sebuah “mantra” yang kemudian menjadi filosofi perusahaan energi tersebut dalam menjalankan Program Investasi Sosial (Social Investment).
Chevron memang lebih memilih menggunakan term “investasi sosial” ketimbang “CSR” untuk memperlihatkan kepada masyarakat — setelah belajar melalui pengalaman panjang sejak 1950-an – bahwa keberhasilan bisnis bergantung pada kemajuan yang dibangun melalui hubungan kuat yang saling menguntungkan dengan masyarakat. “Pada akhirnya hal ini akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal,” tutur pria asal Tasikmalaya tersebut.
Penggunaan istilah “investasi sosial” sangatlah tepat. Menurut Dr Risna Resnawaty, pakar CSR dan dosen Fisip Universitas Padjadjaran Bandung, pengertian CSR sangat luas. Mengutip The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) pada 1999, dia menyebutkan tanggung jawab perusahaan secara sosial adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut masyarakat setempat dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
“Berdasarkan studi literatur, CSR sektor migas terkait dengan atau sebagai peredam konflik masyarakat, memperlancar operasi migas, relasi antar-stakeholder (pemerintah, perusahaan, LSM), dan untuk brand image meskipun ada perusahaan yang tidak mementingkan brand image . Pasca non-cost recovery dan setelah pembubaran BP Migas, KKKS lebih fleksibel dan kreatif mendesain program-program CSR,” terangnya.
Dony menjelaskan meskipun wilayah operasional Chevron hanya berada di tiga provinsi, investasi sosialnya meliputi Aceh hingga Papua dengan fokus pada layanan kesehatan, pendidikan, pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan dan konservasi serta rehabilitasi pascabencana. “Semuanya itu bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, untuk menciptakan kesejahteraan untuk generasi sekarang dan masa depan,” katanya.
Memperhatikan keterikatan masa lalu dengan masa depan menjadikan Chevron mendesain program investasi sosialnya dengan sungguh-sungguh. Jejak investasi ini meninggalkan berbagai “warisan” yang dapat terlihat sampai sekarang. Warisan pertama adalah Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Pekanbaru, Riau. Chevron membangun sekolah menengah tingkat atas tersebut pada 1957. “Sekolah tersebut merupakan sekolah menengah atas pertama di kota itu. Investasi Chevron dibidang pendidikan dan pelatihan kemudian berkontribusi pada pembangunan lokal dan sekaligus membangun hubungan konstruktif yang mendorong kemampuan perusahaan menjalankan bisnisnya,” kata Dony. Selanjutnya, Chevron membangun Politeknik Caltex Riau dan Politeknik Aceh pascabencana tsunami.
Warisan investasi sosial lainnya adalah pembangunan jalan Duri-Dumai. Dony menyatakan proyek ini merupakan cikal bakal jalan Pulau Sumatera pertama yang menghubungkan Padang di sisi pantai barat dan Dumai di sisi pantai timur. Pembangunan infrastruktur ini selesai pada 19 Maret 1958.
Jembatan Siak juga dapat disebut sebagai salah satu warisan Chevron. Jembatan pertama yang dibangun di Sungai Siak 1 tersebut diresmikan Presiden Soeharto pada 1977. “Jembatan ini menghubungkan bagian barat Sumatera (Provinsi Sumatera Barat) dengan bagian timur (Dumai, Provinsi Riau). Proyek ini menghubungkan orang sekaligus menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera,” ungkap Dony.
Kini, program investasi sosial Chevron sangat beragam bukan hanya masalah pendidikan, kesehatan, atau pelatihan belaka. Keunggulan program Chevron terlihat pada program lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati. Program itu meliputi berbagai program seperti proyek 5 tahun rehabilitasi hutan koridor Gunung Halimun dan Gunung Salak, suaka elang Jawa, proyek ekoturisme Maratua, proyek monitoring satwa langka “Eye on Forest”, konservasi dan rehabilitasi mangrove, studi populasi harimau Sumatera dan bank sampah. “Inisiatif di Gunung Halimun-Salak sejak awal 2011 telah memulihkan lebih dari 5 kilometer persegi zona ekologi kritis. Program ini berencana menanam sekitar 250 ribu tumbuhan selama lima tahun,” kata alumni Universitas Padjadjaran itu.
Jejak Chevron juga terasa ketika bencana melanda negeri ini. Perusahaan turun tangan dan menduung program bantuan darurat dan rehabilitasi jangka panjang pascabencana yang meliputi Chevron Aceh Recovery Initiative (CARI) dan Chevron Education Recovery Initiative (CERI) yang diimplementasikan di Yogyakarta, Sumatera Barat. Jawa Barat, dan Aceh. Melaui CARI, Chevron memberikan kontribusi sekitar US$14,7 juta yang meliputi pendanaan untuk pembangunan Politeknik Aceh serta program rehabilitasi ekonomi, kesehatan dan sosial. Perusahaan telah membangun kembali tujuh sekolah yang hancur pasca-gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Barat.
Investasi Sosial di bidang olahraga, kesenian, dan budaya turut diperhatikan. Hal ini dilakukan dengan memberikan sejumlah bantuan di antaranya pembangunan Balai Chevron Tanjak Laksamana, sebuah gedung serbaguna di Rumbai Pekanbaru yang digunakan sebagai tempat pertandingan wushu pada PON Riau 2012, yang menghabiskan dana sekitar US$6,4 juta. “Dalam mendanai sebuah program, kami melihat skala prioritas dan masalah besaran dana yang harus dikeluarkan itu mengikuti skala prioritas tadi,” tegasnya.
Chevron juga tidak ketinggalan dalam pembangan bisnis lokal (Advancing Local Business/LBD) yang merupakan program yang khusus untuk mengembangkan dan mentransformasi UMKM dan koperasi yang berlokasi di sekitar area tambang di Riau, Kalimantan Timur dan Jawa Barat. Pelaku usaha kecil ini diarahkan untuk lebih profesional dan memiliki daya kompetisi untuk menjadi supplier barang dan jasa bagi Chevron sekaligus mendorong tumbuhnya perekonomian lokal. Sejak diluncurkan pada 2001, sekitar 6.900 kontrak telah diberikan pada perusahaan lokal, menciptakan sedikitnya 47.500 lapangan kerja dan pembelian barang dan jasa senilai US$100 juta. “Perusahaan juga mengembangkan microfinancing dengan nama PRISMA untuk pelaku UMKM. Total dana yang telah disalurkan telah dinikmati sekitar 1.100 penerima,” ujarnya.
Risna membisikkan Chevron termasuk “perusahaan reformis” karena selain menjalankan program CSR juga menambah program yang kreatif setelah pemasukan anggaran CSR dalam cost recovery dihapus pada 2008 dan BP Migas dibubarkan. “Program mereka (Chevron) bagus. Banyak perusahaan migas yang memilih mengurangi program CSR dengan alasan karena program CSR sudah tidak dimasukkan dalam cost recovery dan produksi migas terus menurun,” katanya. Maka, jangan heran apabila warisan-warisan investasi sosial Chevron dapat menjadi salah satu jembatan bagi masyarakat untuk memasuki masa depan yang lebih cemerlang. (Lili Hermawan)
Komentar Terbaru