NUSA DUA – Implementasi teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) dalam industri hulu minyak dan gas bumi (migas) bakal dibutuhkan dalam waktu dekat. Selain mampu menekan emsisi, teknologi ini juga bisa meningkatkan produksi hulu migas. Percepatan dan pengembangan CCS Hub menjadi bahasan penting dalam pertemuan forum bisnis ASEAN di Bali, Rabu (23/8).
Indonesia sendiri sudah memiliki 15 proyek kajian CCS/CCUS yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua. Sebagian besar proyek tersebut ditargetkan onstream sebelum tahun 2030, dimana total potensi injeksi CO2 antara tahun 2030 hingga 2035 berkisar 25 hingga 68 juta ton. Pemerintah bahkan merencanakan pengembangan peraturan serta kajian pemetaan penyimpanan CO2 di luar wilayah kerja migas.
Beberapa proyek CCS/CCUS sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023, sumber CO2 berasal dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas dan pemanfaatan CO2 dari industri lain hanya diperbolehkan untuk kegiatan CCUS dalam rangka meningkatkan produksi minyak dan gas.
“Peraturan Kementerian ESDM masih fokus pada CCS/CCUS di wilayah kerja migas. Jadi, proyek-proyek lainnya khususnya CCS Hub perlu diatur melalui peraturan yang lebih tinggi,” ungkap Mirza Mahendra, Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM pada ASEAN Chairmanship 2023 Side Event bertajuk “Sustainable Energy Financing and Mobilisation of Energy Investment and Advancing CCUS Implementation for Energy Security in ASEAN” dalam keteragan resmo, Jumat (25/8).
Pentingnya CCS Hub, kata Mirza, hanya untuk menjawab tantangan tingginya biaya dalam pengembangan CCS/CCUS, dimana biaya paling tinggi adalah untuk capture atau penangkapan CO2 yakni sekitar 73% dari total biaya.
“Berdasarkan studi ERIA, biaya pengambilannya sekitar US$45,92 dan biaya penyimpanan sekitar US$15,93. Penangkapan merupakan hal yang paling mahal dalam hal biaya penangkapan CO2,” ujar Mirza.
Menurut dia diperlukan kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan melalui CCS Hub dan clustering untuk meningkatkan kelayakan proyek CCS/CCUS dengan menggunakan fasilitas bersama. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa pengembangan teknologi juga diperlukan untuk menyediakan teknologi yang lebih efisien dan efektif.
Selain penangkapan, implementasi CCS/CCUS akan sangat bergantung pada kapasitas penyimpanan. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi telah membentuk Tim Satuan Tugas bersama LEMIGAS dan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan studi dan menghitung kapasitas penyimpanan CO2 untuk lapangan minyak dan gas serta saline aquifer. Berdasarkan hasil sementara penelitian ini, potensi penyimpanan pada reservoir migas adalah sekitar 4,31 giga ton CO2 dimana sebagian besar berasal dari reservoir gas.
“Cukup banyak tempat penyimpanan yang khusus untuk CO2, perlu kajian lebih lanjut agar dapat memaksimalkan kapasitas penyimpanannya,” ujar Mirza.
Dalam mendorong pengembangan implementasi CCS/CCUS ini, Mirza juga mengingatkan akan tantangan dari sisi resiko dampak lingkungan. Menurutnya, pengangkutan CO2 membawa dampak yang jelas risiko lingkungan. Oleh karena itu, perlu kolaborasi lintas negara untuk memperjelas penanggung jawab risiko lingkungan.
Pemerintah Indonesia saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden tentang CCS untuk memperluas implementasi CCS termasuk CCS Hub, CCS lintas batas, CO2 dari industri, dan pemanfaatannya di wilayah kerja non-migas.
Setidaknya terdapat tiga point utama yang melandasi perlunya Peraturan Presiden ini. Pertama diperlukan landasan hukum untuk mendukung pengembangan CCS yang aman dan efektif serta memberikan kepastian hukum bagi para investor. Kedua, untuk mengakomodasi pelaksanaan kegiatan CCS yang terintegrasi dari seluruh sektor dan transportasi lintas batas CO2. Ketiga, pemanfaatan potensi simpanan geologi Indonesia sebagai CCS Hub.
Lebih lanjut, Mirza menjelaskan beberapa pokok materi yang termasuk dalam agenda rancangan Peraturan Presiden antara lain pertama terkait penawaran Wilayah Kerja Karbon Injeksi CO2. Kedua Izin Eksplorasi untuk mempelajari, mengeksplorasi, memetakan dan menguji simpanan geologi permanen. Ketiga, izin Operasi & Penyimpanan untuk memungkinkan operator menyuntikkan CO2 di tempat penyimpanan yang aman, dan keempat metodologi dan persyaratan CCS untuk penyimpanan terukur, aman dan permanen.
Mirza menegaskan perlunya sinergi dan dukungan antar Kementerian dan Lembaga untuk mempercepat implementasi CCS Hub sehingga mampu mendukung pengembangan CCS/CCUS di ASEAN.
“Sekali lagi kita perlu kolaborasi yang tinggi dari semua sektor Government to Government juga B to B dan semua aspek, sehingga kita bisa mewujudkannya CCS/CCUS di ASEAN,” kata Mirza. (RI)
Komentar Terbaru