JAKARTA – Pembangunan berkelanjutan yang minim emisi dipercaya akan membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) yang sudah berlangsung selama 30 tahun (1993-2022) sehingga mampu bergerak menuju negara maju. Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah Indonesia untuk secara serius menetapkan target dan melakukan aksi penurunan emisi yang jelas dan terukur serta mencantumkan target tersebut pada Kontribusi Nasional yang Ditetapkan atau Nationally Determined Contribution (NDC).
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan berdasarkan data Climate Action Tracker (CAT) aksi global berdasarkan kebijakan saat in, akan menuju ke kenaikan suhu global sebanyak 2.7°C. Meski demikian, target pengurangan emisi terbaru Indonesia dikategorikan sebagai critically insufficient, yang artinya amat jauh dari cukup untuk meredam pemanasan global. Terdapat kesenjangan antara kebijakan saat ini dengan tingkat emisi yang kompatibel dengan Persetujuan Paris.
Berdasarkan kebijakan dan aksi iklim Indonesia emisi diperkirakan akan mencapai 111.4-132.0 GtCO2e/tahun pada 2030 (tidak termasuk LULUCF), 351-415% di atas tingkat emisi 1990. Untuk kompatibel dengan Persetujuan Paris, maka emisi harus turun menjadi 0.56-0.86 GtCO2e/tahun pada 2030 (tidak termasuk LULUCF).
“Selain itu, kita perlu melihat NDC Indonesia, dimana terdapat dua sektor yakni sektor transportasi dan industri yang masih belum menunjukkan aksi menuju pemenuhan target net zero, sementara sektor energi sudah ada strategi yang jelas untuk menurunkan emisi gas
rumah kaca. Ini menunjukkan adanya kesenjangan aksi (gap of action) atau tidak ada strategi dan rencana yang transparan dan terukur. Hal ini dikhawatirkan akan membuat Indonesia gagal mencapai target Persetujuan Paris,” kata Fabby, dalam sambutannya pada Seminar “Bridging the Cross-Sectoral Gap in Pursuing More Ambitious Climate Targets in Indonesia” yang diselenggarakan oleh IESR, Kamis(10/8).
Lebih jauh, ia juga menyinggung mengenai penyampaian sinyal yang berbeda dari pembuat kebijakan yang menyesuaikan prioritas masing-masing sektor terkait mitigasi krisis iklim. Hal ini membuat lambatnya pergerakan untuk mencapai target penurunan emisi selaras Persetujuan Paris.
“Tidak adanya strategi yang terukur menyebabkan perbedaan sinyal secara sektoral. Misalnya, alokasi anggaran untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tidak sesuai, pembuatan kebijakan sering tidak sejalan secara lintas sektoral, bahkan sektor transportasi belum ditargetkan tenggat waktu untuk mencapai puncak emisi. Aksi iklim perlu diintegrasikan ke dalam penyusunan RPJPN diikuti RPJMN,” ujar Fabby.
Dia juga menekankan bahwa Keketuaan Indonesia di ASEAN juga perlu dilihat sebagai peluang mengajak negara-negara ASEAN lainnya memiliki kebijakan dan aksi iklim yang lebih ambisius. Hal ini berdasarkan hasil analisis CAT bahwa kebijakan dan aksi iklim Indonesia
dinilai sebagai salah satu negara yang lebih ambisius dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya.
Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas pada kesempatan yang sama menjelaskan bahwa pihaknya telah menyelesaikan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satu sasaran utamanya adalah penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 95% pada 2045.
Menurutnya, penurunan emisi berkaitan erat dengan pengembangan ekonomi yang lebih hijau. Terutama, Indonesia pada RPJPN 2025-2045 membidik pendapatan per kapita Indonesia dapat setara seperti negara maju sekitar US$30,300 dan masuk ke dalam ekonomi 5 terbesar di dunia.
“Penurunan emisi jangan dilihat hanya sekadar menurunkan emisi saja, dan harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi. Intervensi ekonomi hijau dengan pembangunan rendah karbon akan meningkatkan daya dukung lingkungan dan menurunkan emisi GRK seiring mendorong pertumbuhan PDB rata-rata Indonesia tahun 2022-2045 harus mencapai 6-7%,” kata Medrilzam.
Medrilzam menyoroti jumlah investasi yang dibutuhkan rata-rata sebesar Rp2,377 triliun rupiah per tahun dari 2025-2045 untuk melaksanakan kebijakan ekonomi hijau.
“Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan kebijakan yang mengarah pada penguatan pembiayaan inovatif hijau, seperti blended finance, impact investment, carbon tax, dan lainnya. Investasi hijau juga akan memberikan manfaat penciptaan lapangan kerja hingga 1,66 juta lapangan kerja/tahun pada tahun 2045,” ujarnya.
Sependapat, Ferike Indah Arika, Analisis Kebijakan Ahli Muda Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menekankan kebutuhan akan pembiayaan inovatif selain APBN untuk upaya mitigasi dan adaptasi iklim. Ia membandingkan akumulasi pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim yang diperlukan dalam rentang tahun 2018-2030 mencapai Rp4,002 triliun masih jauh lebih kecil dari pada kebutuhan investasi untuk kebijakan ekonomi hijau.
“APBN yang dipantau alokasinya untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi masih jauh antara dari yang kita punya dan yang dibutuhkan. Ketimpangan kebutuhan pendanaan yang besar ini, tentu saja tidak bisa hanya dipenuhi oleh APBN yang terbatas,” ujar Ferike.
Nurcahyanto, Analis Kebijakan Ahli Madya, Direktorat Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, memaparkan dari sektor energi, untuk mendorong percepatan pengurangan emisi GRK, pengakhiran operasional PLTU menjadi salah satu kontribusi utama dalam mengurangi emisi pada sektor pembangkit listrik. Nurcahyanto menegaskan, rancangan peta jalan pengakhiran dini operasional PLTU batubara dengan target
pemensiunan total kapasitas 4,8 GW PLTU batubara pada 2030 telah dirampungkan dan disampaikan pada Kemenkomarves, Kemenkeu, Kementerian BUMN,dan PT PLN(Persero) untuk mendapatkan tanggapan.(RA)
Komentar Terbaru