JAKARTA- Lifting minyak bumi pada asumsi makro RAPBN 2024 ditetapkan 597-652 ribu barrel oil per day (Bopd), atau ada defisit 348 ribu-403 ribu Bopd dari target target produksi 1 juta Bopd pada 2030. Salah satu upaya demi mencapai target produksi minyak 1 juta Bopd pada tujuh tahun ke depan itu adalah menerapkan kontrak bagi hasil (KBH) New Simplified Gross Split untuk menyederhanakan KBH Gross Split  saat ini.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, salah satu lembaga kajian di sektor energi dan sumber daya mineral yang cukup berpengaruh, mengatakan perlunya kerja keras untuk dapat mencapai target lifting minyak bumi tahun 2030. Pencapaian target menghadapi kendala penurunan produksi alamiah dan penambahan cadangan migas yang memerlukan effort yang tidak sederhana.

Komaidi menjelaskan, berdasarkan review, penyederhanaan dan perbaikan pada New Simplified Gross Split adalah sebuah keniscayaan. New Simplified Gross Split diantaranya meliputi penyederhanaan jumlah komponen variabel dari 10 komponen menjadi 3, penyederhanaan jumlah komponen progresif dari tiga komponen menjadi 2, dan) base split minyak bumi diubah menjadi 53% untuk pemerintah dan 47% untuk KKKS. Sementara base split untuk gas bumi ditetapkan sebesar 51% untuk pemerintah dan 49% bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

“Penyederahaan lainnya adalah penilaian parameter variabel dan progresif didasarkan pada kondisi aktual setelah terdapat produksi komersial,” ujar Komaidi di Jakarta, Minggu (11/6/2023).

Dengan perbaikan tersebut, lanjut Komaidi, New Simplified Gross Split berpotensi dapat membuat KBH Gross Split menjadi lebih menarik dibandingkan KBH Gross Split sebelumnya. Meskipun terdapat perbaikan signifikan, satu aspek fundamental yang relatif tetap dan tidak dapat diubah serta berbeda secara prinsipil dengan KBH Cost Recovery adalah bahwa dalam KBH New Simplified Gross Split risiko investasi sepenuhnya tetap ditanggung KKKS. “Sedangkan dalam KBH Cost Recovery, risiko investasi secara relatif ditanggung bersama antara KKKS dan negara,” katanya.

Terkait pencapaian target produksi minyak bumi 1 juta BOPD, lanjut Komaidi, yang lebih diperlukan adalah adanya fleksibilitas untuk dapat berubah dari satu jenis kontrak ke jenis lainnya dan fleksibilitas dalam hal kemudahan untuk mengubah besaran komponen-komponen fiskal di dalam kontrak yang ada dari waktu ke waktu.

Hal tersebut karena beberapa wilayah kerja migas yang menjadi tulang punggung dalam pencapaian lifting migas nasional dalam kondisi mature seperti diantaranya WK Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES), North West Java (ONWJ), hingga Blok Cepu yang pada dasarnya memerlukan insentif dalam bentuk kemudahan fleksibilitas tersebut.

“Untuk menaikkan atau sekadar menjaga tingkat produksi pada WK mature tersebut memerlukan upaya seperti pengembangan lapangan ataupun Enhanced Oil Recovery (EOR) yang secara teknis tetap memiliki risiko cukup tinggi. Berbagi risiko, sebagaimana hal itu diakomodir di dalam KBH Cost Recovery menjadi tetap relevan dan diperlukan,” katanya. (DR)