JAKARTA – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui pemanfaatan gas suar yang dihasilkan oleh perusahaan baik hulu maupun hilir migas. Pelaku usaha sektor hulu migas jadi salah satu kontributor terbesar penghasil gas suar jadi andalan untuk menekan emisi melalui pemanfaatan kembali gas suar.
Dalam data Ditjen Migas Kementerian ESDM hingga 2021 baru 50 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan tujuh badan usaha hilir migas yang sudah manfaatkan gas suar. Total pemanfaatan gas suar bakar untuk kepentingan sendiri sebesar 287 Juta Kaki Kubik Per Hari (MMscfd) dari 50 KKKS hulu dan 43 MMscfd dari 7 BU hilir.
“Dengan demikian, total gas suar yang dimanfaatkan dari kegiatan hulu dan hilir minyak dan gas bumi sebesar 342 MMSCFD,” kata Chitra Ria Ariska, Inspektur Minyak dan Gas Bumi Ahli Muda (9/8).
Kebijakan gas suar ini terkait dengan komitmen Pemerintah RI untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada COP 21 tahun 2015 di Paris, selain itu upaya untuk mencapai kebijakan Zero Routine Flaring sesuai komitmen MESDM kepada World Bank melalui surat pada tanggal 20 Februari 2017 perihal dukungan Indonesia terhadap inisiatif global Zero Routine Flaring 2030.
“Indonesia telah menetapkan target mendukung Net Zero Emission di tahun 2060 atau lebih cepat lagi sehingga diperlukan mitigasi emisi gas rumah kaca pada kegiatan usaha migas. Salah satunya dengan pengelolaan gas suar,” kata Chitra.
Gas Suar adalah gas yang dihasilkan oleh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan/atau gas bumi atau pengolahan minyak dan/atau gas bumi yang akan dibakar pada suar secara terus-menerus maupun yang tidak terus-menerus dalam kondisi rutin maupun tidak rutin. Emisi yang dihasilkan gas suar sebagian besar adalah CO2.
Klasifikasi pembakaran gas suar adalah pembakaran gas suar rutin, pembakaran gas suar tidak rutin, pembakaran gas suar untuk keselamatan dan pembakaran dalam kondisi darurat.
Pembakaran gas suar rutin adalah pembakaran gas suar dalam kondisi normal, di mana kondisi geologi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan reinjeksi gas, tidak ada fasilitas untuk melakukan reinjeksi gas, atau tidak ada pemanfaatan gas suar untuk keperluan sendiri atau keperluan lainnya.
Sedangkan pembakaran gas suar tidak rutin merupakan pembakaran gas suar selain pembakaran gas suar rutin dan pembakaran gas suar untuk keselamatan, seperti eksplorasi dan appraisal, kegiatan pemboran, pengujian dan pemeliharaan sumur, initial well flow-back, breathing/working losses atau pressured-relief gas dari tangki, pemeliharaan fasilitas/unit proses produksi/ peralatan (turn-arounds, de-pressuring peralatan) dan kondisi operasi tidak normal.
Pembakaran gas suar terutama di hilir migas dilakukan untuk keselamatan, misalnya pembakaran dari gas suar untuk pembersihan (purging), percobaan (pilot), pengetesan untuk sistem keselamatan dan pembakaran gas suar untuk keselamatan lingkungan.
Ada pula pembakaran gas suar dari tambahan gas sebagai bahan bakar untuk pembakaran gas suar yang mengandung gas pengotor untuk mempertahankan nyala api
“Selain itu, pembakaran gas suar dari gas bertekanan rendah dan/atau pembakaran gas suar dengan kandungan rata- rata gas pengotor lebih besar dari 50% mole yang berdasarkan kajian teknis dan keekonomian belum atau tidak dapat dimanfaatkan,” jelas Chitra.
Diatur pula pembakaran gas suar dari produksi gas bumi yang mengalami kendala komersialisasi. Biasanya digunakan untuk own use.
Gas suar dapat dimanfaatkan untuk dialirkan kembali ke dalam fuel gas system (sistem bahan bakar) pada fasilitas produksi tersebut, sehingga menghemat penggunaan bahan bakar, menghasilkan listrik, memproduksi CNG (Compressed Natural Gas), LNG (Liquefied Natural Gas), sebagai bahan untuk memproduksi Methanol dan Ammonia, gas injection untuk kegiatan EOR (Enhanced Oil Recovery), untuk meningkatkan jumlah pengangkatan minyak bumi (oil lifting) pada blok-blok migas tua.
Upaya penurunan gas suar ini masih mengalami sejumlah tantangan. Sosialisasi Permen ESDM No 17 tahun 2021 masih perlu dilakukan untuk memastikan bahwa BU/BUT memahami substansi dan dapat mengimplementasikan Permen tersebut terutama dalam hal pelaporan. Selain itu, bersama SKK Migas, BPMA, Ditjen Migas perlu bekerjasama untuk mendukung penurunan/ pemanfaatan gas suar baik untuk own use maupun komersialisasi dengan penerapan bisnis model yang menarik, menyajikan data potensi gas suar komprehensif yang dapat dimanfaatkan ke publik, memfasilitasi pemilik teknologi dan pendanaan baik nasional maupun Internasional.
“Perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan juga untuk selain rutin flaring. Permen ESDM 17/21 membuka peluang untuk selain rutin flaring dapat dilakukan tanpa batasan dan tanpa persetujuan dari Ditjen Migas. Perlu dilakukan pengawasan, terutama aspek keteknikan karena hal ini biasanya terkait ketidakhandalan peralatan,” jelas Chitra. (RI)
Road map zero routine flaring Kementerian ESDM :
– Tahun 2020: identifikasi upaya dan koordinasi dengan stakeholder migas dan persiapan komitmen zero routine flaring.
– Tahun 2021: penguatan regulasi yaitu revisi peraturan terkait pelaksanaan gas suar.
– Tahun 2022: penyusunan baseline data yang akurat terkait flaring.
– Tahun 2023: mapping routine flaring.
– Tahun 2024: clustering routine flaring yaitu identifikasi rantai sumber dan potensi pemanfaatan gas suar, menentukan pooling system.
Komentar Terbaru