JAKARTA- Jakarta Japan Club (JJC), yang terdiri atas 689 perusahaan anggota di Jakarta dan 1.400 anggota perorangan, bersama dengan Japan External Trade Organization (JETRO) mengklaim bahwa perusahaan Jepang berkontribusi dalam mewujudkan netralitas karbon di Indonesia. JCC juga menyatakan telah menerbitkan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah Indonesia dalam rangka merealisasikan dekarbonisasi.

Survei JCC menemukan bahwa saat ini dapat dikonfirmasi bahwa dari 122 perusahaan Jepang yang terdata, terdapat 340 proyek dekarbonisasi yang sedang berlangsung maupun yang sedang dirancang. “Hasil survei ini merupakan hasil sementara dan akan bertambah ke depannya,” ujar Ketua Gugus Tugas Netral Karbon JJC Susumu Matsuda mengutip keterangannya di Jakarta, Rabu (3/8).

Proyek dekarbonisasi yang banyak dilakukan di Indonesia oleh perusahaan Jepang meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), elektrifikasi kendaraan, penanaman pohon (CSR), dan sebagainya.

Susumu Matsuda, Ketua Divisi Korporat JJC, menyatakan, dalam melaksanakan penanggulangan perubahan iklim di tingkat nasional, dibutuhkan upaya yang selaras dengan ketahanan energi, pemeliharaan dan penguatan daya saing industri, serta realisasi pertumbuhan ekonomi. “Berbekal pengalaman, ilmu dan teknologi dari masing-masing perusahaan anggota JJC, kami akan terus berusaha untuk ikut serta dalam mensukseskan Indonesia mewujudkan target netralitas karbon pada 2060,” katanya.

Selain program dekarbonisasi, perusahaan anggota JJC juga telah lama aktif berkontribusi di Indonesia dalam berbagai bidang seperti investasi, ketenagakerjaan, SDM, ekspor, dan lain-lain.

Sebagai contoh, menurut hasil survei ekonomi yang dilaksanakan tahun 2019 oleh JJC, nilai investasi perusahaan Jepang di Indonesia mencapai USD 31 miliar selama 10 tahun, menciptakan lapangan kerja sebesar 7,2 juta orang, kontribusi ekspor mencapai 24,4 persen dari seluruh ekspor Indonesia, serta kontribusi terhadap PDB Indonesia menjadi 8,5 persen.


Risiko Perubahan Iklim

Tak hanya pandemi Covid-19, dunia kini tengah dihadapkan risiko perubahan iklim. Menghangatnya bumi menjadi pertanda emisi karbon sudah berlebihan. Pandemi Covid-19 yang terjadi pada 2020 telah mampu menurunkan emisi karbon dunia hingga 6,4 persen atau setara 2,3 miliar ton karbondioksida (C02).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Webinar Green Economy Outlook 2022: Peluang dan Tantangan Indonesia dalam Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi Hijau, Jakarta, Selasa (22/2), menyatakan saat pandemi aktivitas masyarakat dunia mengalami penurunan sebesar 6,4 persen pada 2020.

Penurunan emisi karbon terjadi karena masyarakat terpaksa menghentikan berbagai aktivitas sosial dan ekonomi. Semua orang di dunia terpaksa menjalankan aktivitas di dalam rumah. Semua negara pun terguncang, perekonomian melambat di seluruh dunia.

Memasuki 2021, setelah vaksin ditemukan dan setiap negara mulai bisa menangani kasusnya, perekonomian kembali bergerak. Memasuki tren pemulihan ini produksi emisi karbon kembali meningkat. Berdasarkan data UNICEF, saat dunia mengalami pemulihan, emisi karbon meningkat lebih tinggi dari sebelum terjadi pandemi.

“Kita melihat tingkat emisi global terutama dari sektor energi, industri dan residensi kembali melonjak pada level yang lebih tinggi bahkan melebihi situasi sebelum pandemi,” ujar Sri Mulyani. (RA)