JAKARTA – Berbagai pendanaan untuk menunjang dukungan energi di Indonesia mencapai Rp279 triliun pada tahun anggaran 2020, yang 88% di antaranya atau sekitar Rp246 triliun dialokasikan untuk bahan bakar fosil. Hal ini terungkap dari laporan terbaru International Institute for Sustainable Development (IISD) yang dirilis hari ini bertajuk “Indonesia’s Energy Support Measures: An inventory of incentives impacting the energy transition”.
Dalam laporan tersebut, terungkap pemerintah menyediakan setidaknya Rp74 triliun untuk industri migas, Rp112 triliun untuk listrik berbasis fosil, dan Rp61 triliun untuk sektor batu bara. Insentif Indonesia untuk bahan bakar fosil disebut mencapai 117 kali lebih tinggi dari dukungan untuk energi terbarukan yang hanya menerima Rp2 triliun atau kurang dari 1% dibanding total dukungan ke sektor energi, sementara Rp31 triliun untuk biofuel dan Rp19 miliar untuk kendaraan listrik.
Anissa Suharsono, penulis utama laporan IISD, memperingatkan bahwa dalam konteks harga energi yang tinggi saat ini, angka-angka dukungan ini diperkirakan meningkat secara signifikan pada 2022. Pada Mei lalu, DPR RI telah menyetujui permintaan pemerintah untuk tambahan subsidi energi Rp350 triliun, menambah Rp154 triliun yang telah dibelanjakan pada kuartal I tahun ini.
Studi yang dilakukan IISD mencakup dukungan yang diklasifikasikan secara resmi sebagai “subsidi” dan insentif yang mendukung berbagai jenis energi di Indonesia. Studi ini menyoroti dukungan luar biasa Indonesia untuk sektor bahan bakar fosil pada periode 2016-2020, dengan 94% rata-rata per tahun dialokasikan untuk minyak dan gas, serta listrik berbasis batu bara, dan hanya 1% untuk energi terbarukan.
Inventarisasi yang diusulkan juga melihat tindakan dan instrumen fiskal yang secara langsung tidak dianggap sebagai “subsidi” dalam anggaran pemerintah Indonesia. Sementara sebagian besar instrumen ini tidak dapat diukur (kebanyakan dalam bentuk pengurangan pajak, tax holidays, atau pembebasan untuk sektor bahan bakar fosil).
Instrumen lainnya berupa penyertaan modal negara dalam jumlah yang signifikan bagi produsen minyak, dan batu bara, serta ke PLN, yang terungkap dalam kajian. Yang utama adalah tarif royalti khusus dan pajak perusahaan khusus bagi perusahaan pertambangan batu bara kecil (diperkirakan lebih dari Rp33 triliun pada 2020), tarif pajak ekspor khusus bagi batu bara (diperkirakan Rp16,5 triliun tahun 2020), atau pembebasan bea masuk untuk kontraktor bagi hasil migas (diperkirakan Rp765 miliar).
Para ahli memperingatkan, dukungan Indonesia yang tidak proporsional untuk bahan bakar fosil memperlambat transisi energi, menguras anggaran publik, mempercepat perubahan iklim, dan membahayakan kesehatan masyarakat.
“Indonesia secara kritis perlu mengalihkan dukungan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan untuk memenuhi target iklim dan target bauran energi, dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang harganya tidak stabil,” kata Anissa, Rabu (22/6).
Anissa menyatakan insentif ini mewakili biaya yang sangat besar untuk anggaran publik, terutama dalam konteks harga energi yang tinggi saat ini dan sangat merugikan kesehatan masyarakat dan iklim.
Laporan IISD menyoroti bahwa kebijakan saat ini merusak target energi negara dan kewajiban lingkungan. Penulis laporan memberi rekomendasi konkret bagi pemerintah untuk menyelaraskan kembali insentifnya, dengan cara mereformasi kebijakan yang menguntungkan sektor fosil dan sebagai gantinya dialihkan ke investasi energi terbarukan.
Di tengah melonjaknya harga energi dan krisis biaya hidup, menargetkan dukungan kepada masyarakat miskin dan rentan menjadi kunci untuk melestarikan sumber daya publik yang langka. “Para ahli IISD merekomendasikan, anggaran ini harus digunakan secara efisien dan berfungsi untuk membuka jalan bagi transisi yang adil, jauh dari bahan bakar fosil,” ungkap Anissa.
Untuk melakukan hal tersebut, pemerintah dapat memperbaiki kedua bentuk bantuan utamanya, yaitu, subsidi ke PT Pertamina (Persero) untuk menjual bahan bakar di bawah harga pasar maupun subsidi ke PT PLN (Persero) untuk menyediakan listrik murah. Karena kedua bantuan ini lebih banyak dinikmati segmen populasi yang lebih kaya yang memang mengkonsumsi lebih banyak listrik dan bahan bakar. (RI)
Komentar Terbaru