JAKARTA – PT PLN (Persero) terus melakukan negosiasi dengan para mitra produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) tentang kewajiban pembayaran pinalti atau take or pay pembangkit listrik yang segera rampung tahun ini. Hal itu diperlukan lantaran surplus listrik yang masih terjadi terlebih dengan masih adanya efek pandemi COVID-19 yang sempat membuat konsumsi listrik anjlok cukup dalam.
Evy Haryadi, Direktur Perencanaan Korporat PLN, menjelaskan sejauh ini negosiasi dengan para IPP berjalan cukup baik. Dia menuturkan manajemen sukses menutup beberapa negosiasi dengan kesepakatan yang mampu menghasilkan efisiensi bagi perusahaan.
Menurut dia, untuk tahun ini total kapasitas pembangkit yang direncanakan masuk dalam sistem PLN mencapai 20,4 Gigawatt (GW). “PPA Power Purchase Agreement (PPA) yang sudah di tanda tangani. 34 pembangkit 20,4 GW yang masuk tahun ini,” ungkap Evy disela diskusi digelar CNBC Tv Indonesia, Senin (20/6).
Dari total kapasitas sebanyak itu 6 GW berada di Jawa Medura Bali (Jamali). Menurut Evy dari rencana pembangkit listrik yang masuk ini dilakukan beberapa negosiasi berupa pengunduran daftar COD. Selain itu PLN juga sukses membuat kesepakatan kewajiban Take or Pay dengan nilai lebih rendah dari kesepakatan sebelumnya.
Menurut Evy sejauh ini sudah mengantongi kesepakatan pada 17 PPA yang sudah ditandatangani dengan total nilai efisiensi untuk tahun ini yang cukup signifikan.
“Kita mengurangi capability factor yang tadinya Take or pay 80% jadi 70%. Target efisiensi Rp61 trilun. Saat ini sudah Rp37,1 trilun. 17 PPA dari 34 PPA,” ungkap Evy.
Negosiasi dengan IPP memang jadi salah satu cara yang ditempuh manajemen PLN dalam rangka strategi menekan biaya lantaran surplus listrik. Untuk tahun lalu saja PLN sukses kantongi sejumlah kesepakatan yang berujung pada efisiensi dengan nilai yang tidak sedikit.
Apakah ada kompensasi bagi investor IPP dalam renegosiasi ini? Utk PLN ini berarti efisiensi tp investor akan dirugikan dengan mundurnya COD. Cmiiw