JAKARTA- ReforMiner Institute, lembaga kajian independent di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), menyatakan rencana pembatasan konsumsi BBM Subsidi dan BBM Khusus Penugasan (JBKP) adalah refleksi adanya permasalahan tata kelola hulu dan hilir migas nasional. Peningkatan harga minyak yang signifikan menyebabkan kapasitas fiskal 2022 menjadi semakin terbatas dan tidak cukup lagi untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Insitute, mengatakan pemerintah perlu mengkaji efektivitas terutama menyangkut biaya dan manfaat yang akan diperoleh dari rencana pembatasan konsumsi BBM sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan. Efektivitas dari penerapan kebijakan serupa yang telah dilaksanakan sebelumnya perlu menjadi pertimbangan.
“Meskipun tidak populis, menyesuaikan harga BBM Subsidi dan JBKP secara terbatas perlu dipertimbangkan karena kemungkinan relative lebih efektif untuk dapat menyelesaikan permasalahan dibandingkan melakukan pembatasan konsumsi BBM,” ujar Komaidi dalam keterangannya kepada Dunia Energi, Senin (6/6/2022).
Selain kompleksitas dalam implementasinya cukup tinggi, lanjut Komaidi, pembatasan konsumsi BBM akan kontraproduktif dengan tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mengingat porsi terbesar penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah dari sektor konsumsi.
Menurut Komaidi, edukasi mengenai meningkatnya kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM perlu tersampaikan secara utuh kepada publik. Kebutuhan subsidi BBM meningkat salah satunya karena harga Solar Subsidi dipertahankan sebesar Rp 5.150 per liter, sedangkan harga Solar di negara tetangga seperti Filipina misalnya sudah dikisaran Rp 20.800 per liter.
“Kebutuhan kompensasi BBM meningkat karena pemerintah melalui Kepmen ESDM No.37.K/HK.02/MEM.M/ 2022 memperluas wilayah distribusi JBKP dari sebelumnya hanya untuk wilayah di luar Jawa-Madura-Bali menjadi seluruh Indonesia. Jenis JBKP juga diubah dari BBM RON 88 menjadi BBM RON 90 yang harganya lebih tinggi dan volume konsumsinya lebih besar,” katanya
Komaidi menyebutkan, pemerintah dan publik juga dapat memilih opsi kebijakan untuk tetap mempertahankan harga BBM subsidi dan tidak membatasi konsumsi BBM subsidi dan JBKP dengan catatan para pihak telah memahami dan konsekuen dengan pilihan tersebut. Termasuk dapat memahami jika alokasi anggaran untuk kepentingan yang lain seperti subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, subsidi pupuk, dan subsidi lainnya berkurang.
“Penurunan kinerja hulu migas Indonesia dapat dikatakan sebagai bagian dari akar masalah permasalahan subsidi dan kompensasi BBM. Kemampuan produksi dan cadangan migas Indonesia turun signifikan yang mengakibatkan harus bergantung pada impor. Produksi minyak Indonesia turun dari 1,58 juta barel per hari pada 1980 menjadi 743 ribu barel per hari pada 2020.Sementara cadangan minyak turun dari 11,60
miliar barel pada 1980 menjadi 2,44 miliar barel pada 2020,” katanya.
Penurunan produksi salah satunya akibat produksi migas Indonesia bergantung pada mature field yang memerlukan perlakuan khusus. Selama 10 tahun terakhir produksi minyak dan gas Indonesia masing-masing tercatat turun sekitar 31% dan 19%.
Produksi minyak Indonesia turun sekitar 31% selama 10 tahun terakhir. Produksi gas Indonesia turun sekitar 19% selama 10 tahun terakhir. Berdasarkan data, sekitar 70% WK Migas produksi di Indonesia telah mengalami penurunan produksi alamiah. Produksi migas Indonesia diantaranya dikontribusikan oleh mature field yaitu 4 WK Migas berumur lebih dari 50 tahun dan 36 WK Migas berumur 25-50 tahun. Biaya produksi dan pemeliharaan mature field dilaporkan terus meningkat sejalan dengan penurunan kemampuan produksinya.
“Insentif fiskal menjadi kunci dan instrument penting untuk menjaga keekonomian dan tingkat produksi migas pada mature field. Hasil riset Inter-American Development Bank (IDB) 2020 menemukan bahwa pemberian insentif untuk mature field dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun,” ujarnya.
Riset Haliburton, lanjut Komaidi, menemukan bahwa sekitar 70% lapangan migas produksi di dunia merupakan mature field. Akan tetapi data menunjukkan bahwa produksi migas dunia dalam 15 tahun terakhir tercatat masih meningkat. Produksi minyak rata-rata meningkat sekitar 1,08% per tahun dan produksi gas meningkat sekitar 2,67% per tahun.
Penerapan insentif pengurangan royalti dan insentif penggantian kerugian biaya eksplorasi terbukti telah dapat meningkatkan produksi migas di Brazil. Selama periode 2010-2019 produksi minyak dan gas di Brazil masing-masing meningkat sekitar 35,35 % dan 71,89%. Kanada (Negara bagian Alberta) menerapkan insentif model lain yaitu melalui pengurangan pajak pendapatan dan penangguhan kerugian pajak. Selama periode 2010-2019 produksi minyak dan gas Kanada masing-masing meningkat sekitar 63,47 % dan 15,7%.
Data menunjukkan dalam 5 tahun terakhir investasi hulu migas global rata-rata meningkat 1,30% per tahun. Selama tahun 2016-2020 investasi hulu migas global tercatat meningkat sebesar 9,52%. Investasi hulu migas global diproyeksikan akan meningkat dari US$418 miliar pada 2021 menjadi sekitar US$476 miliar pada 2024. Realisasi dan proyeksi investasi tersebut menegaskan bahwa peran hulu migas masih penting di tengah tren transisi energi.
“Peningkatan harga minyak kemungkinan tidak secara otomatis meningkatkan nilai investasi hulu migas global. Pertumbuhan investasi kemungkinan masih akan tetap bervariasi dengan mempertimbangkan stabilitas global dan geopolitik, penanganan pandemi covid-19, komitmen COP-26, dan kebijakan transisi energi,” jelas Komaidi.
Sementara itu, investasi hulu migas Indonesia selama periode 2016-2021 rata-rata tercatat mengalami penurunan sekitar 1,70% per tahun. Sementara pada periode yang sama, investasi hulu migas di Australia, Brazil, dan Malaysia masing-masing meningkat sekitar 5%, 4%, dan 1% per tahun. Faktor-faktor yang diidentifikasi menjadi penyebab menurunnya investasi hulu migas di Indonesia diantaranya WK mature field, risiko eksplorasi tinggi, insentif hulu migas terbatas, perizinan hulu migas kompleks, dan isu transisi energi.
“Pengaturan dalam tata kelola hilir migas yang kurang tegas diidentifikasi menjadi salah satu penyebab terjadinya kompleksitas dalam penanganan permasalahan subsidi dan kompensasi BBM di Indonesia,” ujarnya.
Komaidi mengatakan, penetapan kuota BBM subsidi dan JBKP dilakukan oleh pihak yang tidak berperan sebagai pemegang kuasa anggaran maupun pelaksana PSO/penugasan. Akibatnya risiko bisnis, teknis operasional, dan konsekuensi anggaran subsidi/kompensasi seringkali belum menjadi bagian dari variabel penentu di dalam menetapkan target kuota BBM subsidi dan JBKP.
“Penyelesaian proses revisi UU Migas yang telah berjalan sejak tahun 2008 (14 tahun yang lalu) merupakan kunci utama untuk dapat menyelesaikan tidak hanya permasalahan subsidi dan kompensasi BBM, tetapi perbaikan terhadap tata kelola hulu-hilir migas nasional secara keseluruhan. Perbaikan tata kelola hulu-hilir migas melalui revisi UU Migas berpotensi dapat mengembalikan era kejayaan hulu migas Indonesia. Jika hal tersebut dapat terjadi, Indonesia akan memperoleh windfall profit ketika harga minyak meningkat bukan mengalami tekanan fiskal di APBN seperti saat ini, “katanya. (RA)
Komentar Terbaru