JAKARTA – Menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 01 Tahun 2014 yang melarang ekspor bijih mineral atau hasil tambang mentah per 12 Januari 2014, para pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Bauksit dan Asosiasi Pertambangan Mineral Indonesia (Apemindo) menuntut keadilan.
Salah seorang Ketua Apemindo, Ladjiman Damanik mengungkapkan, dari hasil diskusi Kadin, asosiasi dan pelaku usaha dengan pemerintah (diwakili Ditjen Minerba ESDM) beberapa hari terakhir, mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian, tampak bahwa pembicaraan diskusi tersebut lebih banyak satu arah dari pemerintah ke dunia usaha.
“Ini khususnya terjadi pada diskusi mengenai komoditas bauksit dan nikel. Padahal dalam hal ini tentunya aspirasi dunia usaha seyogyanya harus didengar dan diperhatikan oleh pemerintah,” ujarnya di Jakarta, Senin, 13 Januari 2014.
Menurutnya, batasan minimum pemurnian yang diajukan pemerintah, dinilai oleh dunia usaha terlalu tinggi sehingga sulit untuk dilaksanakan, khususnya oleh pelaku usaha IUP bauksit dan nikel. Namun pemerintah cenderung untuk memaksakan proposalnya tersebut dengan dalih untuk meningkatkan nilai tambah seoptimal mungkin. Sehingga sebenarnya hingga saat ini belum ada kesepakatan apapun antara dunia usaha dengan pemerintah tentang hal ini.
Ladjikan menambahkan, pelaku usaha IUP (Izin Usaha Pertambangan) bauksit merasa bahwa batasan minimum pemurnian dari bauksit menjadi alumina (SGA 99% dan CGA 90%) masih memerlukan waktu didalam proses pembangunannya, mengingat besarnya nilai investasi yang sedang dikeluarkan.
Pembangunan pabrik pemurnian bauksit menjadi alumina, jelasnya, haruslah dibangun dalam skala yang besar agar ekononis dan efisien. Nilai investasi pabrik lebih dari US$ 500 juta dan lebih lebih dari US$ 1 miliar untuk kapasitas pabrik 2 juta ton alumina.
“Dengan besarnya dana tersebut, maka masih diperlukan waktu beberapa tahun kedepan untuk melakukan ekspor guna mendanai pembangunan konstruksi pabriknya tersebut. Produk bauksit yang diekspor tersebut bukanlah berupa raw material atau ore, melainkan berupa produk bijih olahan hasil proses benefisiasi atau mineral dressing (kadar Al2O3 sudah diatas 45%),” jelasnya lagi.
Apemindo, ucapnya, berharap pemerintah memperhatikan aspirasi pelaku usaha bauksit ini, agar hilirisasi di bauksit dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini pemerintah tentunya dapat meningkatkan kegiatan pengawasannya di lapangan.
“Pelaku usaha bauksit menuntut rasa keadilan, agar juga turut diberikan kemudahan seperti pada komoditas tembaga,” tandas Ladjiman.
Nyatanya, ujar dia, pemerintah telah memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha di tembaga, dengan memberikan batasan pengolahan yang dapat diekspor hanya sebatas konsentrat tembaga dengan kadar Cu 15%. Padahal produk konsentrat masih merupakan bentuk bijih (ores), yang telah dipisahkan dari pengotornya melalui proses flotasi.
Saat ini, kata Ladjiman, produksi konsentrat tembaga dihasilkan oleh pengusaha tambang pemegang KK (Kontrak Karya) yaitu Freeport dan Newmont, yang telah beroperasi sejak tahun 1960-an, memiliki cadangan yang besar, luas wilayah yang besar dan dukungan pendanaan yang kuat.
“Sehingga dengan kata lain, maka kedua KK tersebut akan tetap meneruskan ekspor konsentratnya sejak 12 Januari 2014 mendatang,” tukasnya.
Maka dari itu, desak Ladjiman, perlu adanya keadilan bagi pelaku usaha nasional pemegang IUP, khususnya IUP bauksit, yang serius membangun pabrik pemurnian, agar didalam menuju hilirisasinya masih diperkenankan untuk melakukan ekspor bijih olahannya hasil proses benefisiasi atau mineral dressing, sebagai produk antara bauksit sebelum dimurnikan menjadi alumina.
(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)
Komentar Terbaru