JAKARTA- Pertamina berhak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax sebagai perwujudan dari asas keadilan. Apalagi selama ini BBM dengan kadar oktann (RON) 92 tersebut dijual di bawah harga keekonomian sehingga BUMN di sektor energi terintegrasi itu seolah-olah menyubsidi pengguna Pertamax.

Faisol Riza, Ketua Komisi BUMN (VI) Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan Pertamax adalah BBM nonsubsidi yang diperuntukkan bagi kalangan mampu. Banyak pengguna kendaraan keluaran terbaru, bahkan mobil mewah memakai BBM jenis ini. Volume penjualan Pertamax hanya 14% dari total penjualan BBM Pertamina. Dengan demikian, jika Pertamina menyesuaikan harga Pertamax, justru akan mewujudkan asas keadilan.

“Dengan harga jual Pertamax saat ini yang di bawah harga keekonomian, membuat beban keuangan Pertamina menjadi berat terlebih di tengah harga minyak dunia yang terus melambung,” ujar Faisol dalam keterangannya, Jumat (25/3/2022).

Dengan pergerakan harga minyak mentah dunia mencapai lebih dari US$100 per barel, Kementerian ESDM memperhitungkan bahwa harga keekonomian Pertamax saat ini berada di level Rp14.526 per liter. Padahal, Pertamina masih menjualnya di kisaran harga Rp9.000 hingga Rp9.400 per liter.
Dibandingkan BBM sejenis di SPBU swasta yang menjual BBM dengan RON 92 seharga Rp11.900 – Rp12.990/liter, harga jual Pertamax saat ini jauh di bawah.

Harga keekonomian Pertamax meroket lagi. Apalagi pada penutupan perdagangan Jumat atau Sabtu (26/3) pagi WIB, harga minyak mentah melonjak lebih dari 1% menjadi bertengger di atas US$120 per barel. Hal ini dodorong respons para pedagang mendamaikan dampak serangan rudal terhadap fasilitas distribusi minyak di Arab Saudi dengan kemungkinan pelepasan cadangan minyak oleh Amerika Serikat.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei 2022 terangkat US$1,62 atau 1,4%, menjadi menetap di US$120,65 per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman April bertambah US$1,56 atau 1,4%, menjadi ditutup di US$113,90 per barel.

Menurut Faisol, dari data Kementerian ESDM tampak bahwa untuk setiap liter Pertamax, Pertamina harus ‘menyubsidi’ sekitar Rp5000. “Padahal yang namanya subsidi, seharusnya diberikan kepada kalangan menengah ke bawah, yaitu pengguna Pertalite bukan Pertamax,” lanjutnya.

Demi mengurangi beban, bisa saja Pertamina menaikkan harga Pertamax. Apalagi sebagai BBM nonsubsidi, penyesuaian Pertamax memang mengikuti pergerakan pasar dan menjadi kewenangan korporasi.

“Dan dalam kondisi saat ini, kami dari Komisi VI DPR memahami jika Pertamina menyesuaikan harga Pertamax. Yang penting dilakukan terbuka dan sesuai aturan. Komisi VI akan terus melakukan pengawasan,” ujar Faisol.

Menurut dia, penyesuaian harga Pertamax keniscayaan, sebab kinerja keuangan BUMN migas tersebut harus stabil apalagi sebagai perusahaan negara terdapat banyak penugasan yang dijalankan Pertamina, dan semuanya harus tetap berjalan baik. “Pertamina juga merupakan salah satu pendorong roda perekonomian nasional. Makanya sebagai BUMN mesti disupport Pemerintah dan masyarakat,” katanya.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, sebelumnya mengatakan dalam kondisi harga minyak mentah dunia yang tinggi, pemerintah seharusnya perlu berpikir logis, realistis, dan konsekuen. Apalagi hamper semua negara di dunia menyesuiakan harga BBM apalagi yang nonsubsidi.

“Dari aspek regulasi, juga jelas bahwa nonsubsidi menjadi kewenangan badan usaha. Jika tidak boleh dinaikkan (harga), sederhana dijadikan saja Pertamax sebagai BBM subsidi,” ujar Komaidi.

Menurut Komaidi, dalam konsep keuangan negara yang bisa diintervensi adalah untuk komoditas subsidi. Untuk komoditas nonsubsidi pemerintah umumnya hanya berhak menetapkan batas atas dan batas bawah untuk harganya, namun tidak pada level menetapkan harganya. Seharusnya pemerintah konsisten dengan regulasi yang ada agar setiap kebijakan yang diambil dipatuhi oleh para stakeholder. “Kalau tidak taat, bisa menjadi preseden yang kurang baik,” katanya.

Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan masyarakat perlu paham, bahwa Pertamax bukan jenis produk bersubsidi sehingga harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang diperuntukkan bagi kalangan mampu tersebut sepenuhnya mengikuti pergerakan harga pasar.

“Kalau memang harganya naik, itu sepenuhnya corporate approach. Tidak bisa diintervensi dan harus dimaklumi semua pihak, termasuk juga Pemerintah,” ujar Tulus.

Apalagi, lanjut Tulus, pemerintah sudah menyatakan bahwa harga keekonomian Pertamax sangat tinggi sehingga dapat dipahami jika BBM jenis tersebut memang perlu penyesuaian.
“Ya memang wajar. Tinggal kemudian, bagaimana penyesuaian tersebut bisa dilakukan dengan baik dan benar sehingga bisa diterima dengan baik juga oleh masyarakat,” katanya.

Menurut dia, yang harus menjadi perhatian adalah seberapa besar dukungan Pemerintah di lapangan, dalam hal ini, agar Pertamina tidak menjadi pihak yang dipersalahkan jika ke depan, terdapat ketidakpuasan atau tantangan dari masyarakat.

Untuk mengantisipasi risiko tersebut, salah satu opsi yang bisa dilakukan Pemerintah adalah mengalihkan pengumuman kenaikan harga Pertamax dari Pertamina ke Kementerian ESDM.

“Jadi, jangan karena ini corporate approach, lalu Pertamina ditinggalkan dan terjepit di tengah. Pemerintah harus ambil action, misalnya untuk pengumumannya agar Pertamina tidak diserang,” katanya.

Menurut Tulus, jika pemerintah tidak ingin melakukan hal tersebut, bisa membayar selisih antara harga jual dan harga keekonomian. “Dengan begitu, jadi fair untuk semua,” tegas Tulus. (RA)