YOGYAKARTA – PT Pertamina (Persero) dinilai berhak menetapkan harga BBM nonsubsidi, seperti Pertamax sesuai dengan harga keekonomian. Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik, menegaskan BBM RON 92 Pertamax merupakan produk Pertamina yang tidak disubsidi negara, sehingga sudah sawajarnya jika harga ditentukan badan usaha. Pemerintah tidak perlu ikut dalam penetapan barang nonsubsidi.
“Silahkan saja naikan boleh saja, kan bukan barang subsidi,” kata Agus kepada awak media, Kamis (24/3).
Menurut Agus, pemerintah terkesan takut terhadap opini yang berkembang di masyarakat dengan kenaikan harga Pertamax. Untuk itu pemerintah harus bertanggung jawab dengan menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat tentang status BBM Pertamax yang tidak disubsidi. “Pemerintah kan takut, takut buat naikin harga. Tinggal dijelaskan saja ke masyarakat kalau Pertamax itu bukan barang subsidi,” tegas dia.
Agus menilai kondisi yang ada saat ini sudah tidak sehat, lantaran selisih harga BBM yang dijual Pertamina sudah sangat jauh dari harga sebenarnya yang sesuai dengan keekonomian. Kondisi ini membuat Pertamina sebagai badan usaha akan semakin tertekan. “Sekarang kondisinya dijual Rp9.000 per liter. Padahal keekonomiannya Rp14.000 per liter. Dijelaskan saja harga dengan Rp9.000 per liter siapa yang mau nalangi itu (selisihnya),” ungkap Agus.
Arifin Tasrif, Menteri ESDM, menyatakan perubahan harga BBM tidak bisa dilakuan terburu-buru. Dia meminta seluruh pihak bersabar dan menunggu perkembangan. “Pertamax ini kita lihat perkembangannya. Adanya isu geopolitik kita harus pertimbangkan ke depan antisipasi apakah berkepanjangan atau tidak. Apakah akan berdampak terhadap perdagangan minyak dunia.,” kata Arifin.
Pemerintah kata dia meminta Pertamina untuk tidak melakukan penyesuaian harga BBM Pertamax paling tidak sepanjang hingga semester I tahun ini. “Kira-kira semester II (dinaikkan harga),” ungkap Arifin.
Menurut dia, pada dasarnya badan usaha khususnya untuk Pertamina diperbolehkan untuk melakukan penyesuaian harga BBM nonsubsidi. Hanya saja tetap harus memperhatikan kemampuan masyarakat. “Kita juga lihat itu tadi dampaknya pada masyarakat berat atau nggak. Tapi ya nanti kita lihat di semester II,” kata Arifin. (RI)
Komentar Terbaru