JAKARTA – Pemerintah dinilai tidak punya pilihan selain merubah asumsi makro ekonomi nasional terkait harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price (ICP) yang sangat dipengaruhi harga minyak mentah dunia yang saat ini perkembangannya terus mengalami peningkatan.
Yayan Satyakti, Pengamat Ekonomi Energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran, mengungkapkan dalam APBN 2022, harga minyak ditetapkan US$63 per barel. Sedangkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, asumsi harga dari US$70 – US$90 per barel untuk prediksi harga pada bulan Februari 2022 lalu karena adanya Ukraine-Russian tension.
Dia menilai dengan berakhirnya musim dingin pada bulan Maret 2022 nanti, demand akan semakin turun sedangkan demand di kawasan Eropa akan naik karena permintaan migas akibat perang akan meningkatkan harga minyak bisa menjadi lebih tinggi.
Bagi Indonesia sebagai net importir hal ini akan memukul relatif telak terhadap asumsi harga minyak yang lebih rasional agar tidak terlalu berat untuk menutupi lebih banyak defisit belanja impor BBM yaitu berada di kisaran antara US$70 – US$75 per barel.
“Jika masih berada di asumsi 60-an maka kita akan berat untuk membayar selisih kurs yang pada bulan maret ini The Fed akan menaikkan tingkat suku bunga, sehingga membaya impor BBM menjadi lebih mahal,” ujar Yayan kepada Dunia Energi, Selasa (1/3).
Sementara jka mendekati angka asumsi US$80 akan berat terutama di APBN karena pada saat ini pemerintah fokus untuk pemulihan ekonomi
Yayan menyatakan lebih pemerintah memang fokus di pasar domestik yang sudah mulai labil karena dampak kesenjangan harga internasional yang terlalu tinggi dibandingkan domestik, akibat pelaku produsen yang cenderung berorientasi ke pasar ekspor dibandingkan ke pasar domestik.
“Walaupun kita diuntungkan jika lifting migas kita baik yaitu memperoleh selisih marjin penjualan migas ekspor, tetapi konsumsi impor kita lebih banyak dibandingkan benefit hal tersebut,” ungkap Yayan.
Namun satu fokus lain yang harus jadi perhatian adalah dari sisi harga BBM. Menurut Yayan ada pilihan berat dimana apabila asumsi makro diubah maka akan berdampak terhadap harga BBM.
“Untuk harga BBM, kemungkinan besar akan mengikuti terhadap perubahaan asumsi Makro tersebut, sesudah dijelaskan asumsi makro nya mungkin oleh Kemenkeu, maka sudah dipastikan harga BBM akan naik. Mungkin dengan berat hati ya,” jelas Yayan.
Sejauh ini ada dua jenis BBM yang harganya di atur oleh pemerintah yakni BBM jenis premium dan solar. Sementara satu jenis BBM lain yakni pertalite sebenarnya adalah produk mandiri Pertamina, namun kebijakan pemerintah menyatakan bahwa adanya perubahan harga BBM non subsidi maupun penugasan harus sepertsetujuan pemerintah. Karena itu sudah lama BBM pertalite jarang sekali alami perubahan harga.
Harga minyak di pasar internasional pada perdagangan Senin (28/2) sore atau Selasa (1/3) pagi WIB melonjak di atas US$100 per barel. Mengutip Antara Selasa (1/3), harga minyak mentah Brent untuk pengiriman April tercatat naik US$3,06 atau 3,1 persen ke US$100,99 per barel di London ICE Futures Exchange.
Sementara, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April naik US$4,13 atau 4,5 persen ke US$95,72 per barel di New York Mercantile Exchange.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah tengah memantau secara intensif pergerakan harga minyak dunia. Pemerintah juga merilis informasi terkait beban APBN yang akan bertambah dengan naiknya harga minyak dunia.
Kenaikan harga minyak dunia turut mempengaruhi APBN. Beban subsidi, khususnya BBM dan LPG juga meningkat dan bisa melebihi asumsi APBN 2022. “Belum lagi biaya kompensasi BBM. Namun yang pasti, Pemerintah terus mengamankan pasokan BBM dan LPG,” ungkap Agung Pribadi di Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) beberapa waktu lalu.
Kenaikan ICP menyebabkan harga keekonomian BBM meningkat sehingga menambah beban subsidi BBM dan LPG serta kompensasi BBM dalam APBN. Setiap kenaikan US$ 1 per barel berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp. 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp. 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp. 2,65 triliun.
Sebagaimana diketahui, subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 sebesar Rp77,5 triliun. Subsidi tersebut pada saat ICP sebesar US$63 per barel.
Selain itu, kenaikan ICP juga memberikan dampak terhadap subsidi dan kompensasi listrik, mengingat masih terdapat penggunaan BBM dalam pembangkit listrik. Setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel berdampak pada tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp. 295 miliar. (RI)
Komentar Terbaru