JAKARTA – Tak cuma sidang perkara dugaan korupsi pada proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah yang seperti drama siaran ulang, namun jumlah kerugian negara yang dituduhkan oleh jaksa kepada para terdakwa pun terus berubah.
Dalam sidang pembacaan pledooi (pembelaan) pada Rabu, 9 Oktober 2013, Bachtiar dan Penasehat hukumnya sempat kembali mempersoalkan tentang berbagai kejanggalan dalam proses hukum dan nilai kerugian negara yang terus berubah.
Dimintai tanggapannya pada Jumat, 11 Oktober 2013, Maqdir Ismail selaku penasehat hukum terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, berharap majelis hakim dapat memutus bebas kliennya. Karena selain tidak adanya bukti tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Bachtiar, juga tidak ada bukti kerugian negara yang terjadi dalam proyek bioremediasi CPI ini.
“Kita semua pastinya masih ingat bahwa saat pertama kali kasus ini digulirkan di akhir 2011 dan awal 2012, Kejaksaan Agung menyebutkan di berbagai media massa bahwa potensi kerugian negara dalam kasus proyek bioremediasi sekitar USD 270 juta atau sekitar Rp 2,3 triliun. Angka yang fantastis untuk menarik perhatian publik,” ujar Maqdir.
Angka itu disampaikan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) di media sebelum Kejagung mengumumkan nama-nama para tersangka pada Maret 2012. Namun beberapa waktu kemudian, kata Maqdir, angka tersebut direvisi Kejagung di media massa berubah menjadi sekitar USD 23 juta atau sekitar Rp 200 miliar. Pada November 2012, jaksa menyampaikan nilai kerugian negara menjadi USD 9,9 juta.
“Mengingat ternyata banyak kejanggalan dalam penentuan tersangka dan lemahnya bukti-bukti yang dapat dihadirkan jaksa di persidangan, maka pada saat keempat karyawan mengajukan praperadilan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan tersebut dan membebaskan semua tersangka dari tahanan. Bachtiar bahkan dibebaskan dari statusnya sebagai tersangka karena tidak adanya bukti yang cukup,” terang Maqdir.
Dalam perkara Bachtiar yang akan memasuki pembacaan vonis hakim pada sidang Kamis mendatang, 17 Oktober 2013, Maqdir Ismail pun menyatakan bahwa angka kerugian negara yang disampaikan jaksa terus berubah-ubah.
“Dalam tuntutan yang dibacakan pada sidang tanggal 2 Oktober 2013, angka kerugian negara dalam dakwaan berubah dari USD 221,237.37 menjadi USD 228,126. Secara hukum ini perubahan yang signifikan,” ujar Maqdir.
Menurut Maqdir, para ahli hukum pun sudah menyampaikan keterangannya secara jelas di persidangan bahwa kerugian negara dalam kasus korupsi harus nyata dan pasti.
Seperti terungkap dalam persidangan Bachtiar, DR. Dian Puji Simatupang, SH, MH, yang merupakan dosen hukum anggaran negara dan keuangan publik dari Fakultas Hukum UI, diminta untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud keuangan negara dalam Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Kerugian negara yang dimaksud dalam UU Pemberantasan Tipikor, adalah kekurangan uang, surat berharga, maupun barang yang nyata dan pasti disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalaian, yang dilakukan aparatur negara, khususnya bendahara maupun pejabat negara yang mengelola keuangan negara,” jelas Dian Puji di depan persidangan bioremediasi.
Menurut Maqdir keterangan para ahli telah jelas menyiratkan bahwa angka kerugian negara yang dituduhkan kepada Bachtiar tidak bisa diubah-ubah semaunya apalagi sudah tercatat dalam dakwaan resmi di pengadilan. Kerugian negara harus dihitung secara cermat dan berhati-hati karena hal tersebut terkait dengan tindakan pidana yang dituduhkan.
“Dalam praktek hukum dan yurisprudensi yang ada, jaksa penuntut umum harus membuktikan apa yang ditulis dalam dakwaan, artinya bahwa jaksa harus membuktikan mengenai kerugian negara sejumlah USD 221,237.37,” ungkapnya.
Ternyata, lanjut Maqdir, dalam tuntutan di sidang berikutnya, jumlah kerugian negara yang didakwakan adalah USD 228,126. “Dengan perubahan yang terus menerus ini, secara teori hukum maka jaksa dianggap tidak dapat membuktikan adanya kerugian negara sebesar USD 221,237.37. Oleh karena itu majelis hakim harus memutus bebas Bachtiar,” tegas Maqdir.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Ah, Albert orang gak ngerti kok komentar. Fungsi anggaran ya memang BP MIGAS tapi fungsi pengawasan teknis Bioremediasi ya memang KLH. jangan salah lagi ya BOSSSS, maluuuu
Whatever you say friend, Kungfu Panda, or whatever your real name is, yang pasti pandangan hukum saya sama dengan tuntutan para Jaksa Kejaksaan Agung RI yang berakhir pada putusan (vonis) bersalah terhadap terdakwa yang diputus 2 (dua) tahun dan dengan Rp. 200 Juta, karena melanggar Pasal 3 Undang_undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang TPK. Lagipula mana ada istilah “pengawasan” teknis dalam arti hubungan hukum antara “Atasan” dengan “Bawahan”-nya antara KLH dan Chevron ? Maluuuuuuu banget, ngasi komentar, tapi kalah karena tidak benar, karena majunya maju tak gentar membela yang bayar. He….he….he….he.
ya itulah…. sakit hati dipelihara. komentar gak jelas, mancing di air keruh, sok tahu pulak. sudah lah Albert…diam lebih bagus buat ente deh.