Berbagai trik digunakan Jaksa Penuntut Umum untuk meyakinkan Majelis Hakim bahwa Bachtiar pantas dituntut bersalah. Faktanya, isi tuntutan banyak yang salah.
Sidang yang sempat tertunda dua hari itu baru saja dibuka, tatkala seorang anggota Jaksa Penuntut Umum (JPU) bernama Rudi meminta waktu untuk bicara kepada Majelis Hakim. Dengan sedikit mengernyitkan dahi, Hakim Ketua Antonius Widijantono yang memimpin sidang itu pun mempersilahkan Jaksa Rudi angkat bicara.
Bak bermain drama, Rudi lantas meminta izin kepada Majelis, agar dalam pembacaan tuntutan terhadap terdakwa Bachtiar Abdul Fatah yang digelar pada Rabu, 2 Oktober 2013 itu, bagian Pendahuluan, Teori, Riwayat Penahanan, Dakwaan, berikut Keterangan Saksi serta Ahli yang dihadirkan penasehat hukum tidak dibacakan.
Entah apa maksudnya, mungkin ingin mempersingkat waktu. Maklum, berkas tuntutan yang hendak dibacakan JPU hari itu cukup tebal. Namun lucunya, menurut Jaksa Rudi, yang dibacakan cukup Keterangan Saksi dan Ahli yang dihadirkan JPU. Tim penasehat hukum Bachtiar yang duduk di seberang Tim JPU sempat terlihat tersenyum dan geleng-geleng kepala mendengar permintaan Rudi itu.
Untunglah Hakim Antonius bisa bersikap tegas dan adil. Ia mengatakan, kalau keterangan saksi dan ahli dari penasehat hukum tidak dibacakan, keterangan saksi dan ahli dari JPU juga tidak dibacakan. “Jadi tidak bisa dibedakan,” ucap Hakim Antonius.
Sempat Rudi berniat melanjutkan “dramanya” namun langsung di-cut oleh Hakim Ketua. “Jadi silahkan seluruh isi tuntutan dibacakan oleh Penuntut Umum, cukup surat dakwaan saja yang tidak dibacakan,” kata Hakim Antonius. Tim penasehat hukum pun setuju dengan arahan Ketua Majelis Hakim itu.
Sidang pembacaan tuntutan untuk terdakwa Bachtiar Abdul Fatah dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) itu pun berlangsung hampir 10 jam. Dimulai pukul 10.05 WIB, sidang baru berakhir sekitar pukul 20.00 WIB, dengan dua kali skorsing. Sepanjang persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jalan HR Rasuna Said – Jakarta itu, pengunjung tampak serius mendengarkan tuntutan jaksa.
Beberapa kali terdengar pengunjung bergumam, tatkala keterangan para ahli dan saksi yang tidak memberatkan terdakwa dibaca singkat-singkat saja oleh JPU. Sedangkan keterangan yang disampaikan saksi serta ahli JPU, Edison Effendi, dibaca dengan cukup lengkap oleh JPU. Walhasil, JPU pun menuntut Bachtiar dihukum 6 tahun penjara, plus denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Kali ini JPU tidak menuntut adanya pengembalian atau pembayaran kerugian negara, dengan alasan hukuman itu sudah dibebankan kepada Herland bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya (SGJ) yang dituduh secara bersama-sama dengan Bachtiar melakukan perbuatan korupsi dalam proyek bioremediasi PT CPI. Sidang ditutup dengan agenda berikutnya penyampaian pledoi (pembelaan) oleh terdakwa dan penasehat hukumnya.
Tuntutan Banyak Kesalahan
Dimintai komentarnya usai persidangan, terdakwa Bachtiar Abdul Fatah menyatakan dari proses pengadilan yang dijalaninya, ia menjadi belajar bahwa ternyata hukum di Indonesia bersifat khusus dan memaksa. “Meskipun tidak sesuai dengan fakta, tetapi kita tetap harus mengikuti kemauan penegak hukum,” ujar Bachtiar yang mengaku kecewa karena banyak fakta yang dipotong oleh jaksa dalam tuntutan, semata-mata untuk membenarkan dakwaan serta tuntutan JPU.
Contohnya keterangan ahli hukum administrasi, Prof Dr Laicha Marzuki, SH yang dipotong mentah-mentah dalam pembacaan tuntutan. Kalimat asli dari keterangan Prof Laicha adalah “walaupun izin sudah habis tetapi tidak ada larangan dan ada pengawasan dari instansi yang berwenang yakni Kementerian Lingkungan Hidup, maka izin tetap sah”.
“Pernyataan itu hilang begitu saja dalam tuntutan. Jaksa dalam tuntutannya hanya mengutip pernyataan bahwa tidak adanya hukum tertulis berarti tidak sah secara hukum. Padahal kalimat itu merupakan kesimpulan jaksa sendiri saat mencecar Prof Laicha dalam persidangan sebelumnya,” ungkap Bachtiar kecewa atas berbagai trik yang berusaha dimainkan oleh para jaksa.
Penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail juga mengatakan, JPU membuat banyak kesalahan prinsipiil dalam tuntutan. Misalnya soal jumlah kerugian negara yang berbeda antara dakwaan dan tuntutan, kutipan keterangan saksi Yoshi Prakasa yang tidak pernah ada, hingga jabatan Haris Djauhari yang mestinya Vice President oleh JPU disebut sebagai Manager.
“Dalam tuntutan JPU menuliskan angka invoice (tagihan) yang dibayarkan PT CPI ke PT SGJ sebesar US$228.126., sementara dalam dakwaan tertulis US$221.327,37, padahal pada invoice tertulis US$225.889,88,” terang Maqdir.
Kejagung Mestinya Malu
Maqdir juga menilai, JPU dalam tuntutannya telah salah menyebutkan delik formil. Bahwa delik formil di dalam hukum adalah UU dan Perda (Peraturan Daerah). Sedangkan Kepmen (Keputusan Menteri) dan dan PTK (Pedoman Tata Kerja) bukanlah delik formil, dan seharusnya tidak ada sanksi hukum.
“Keterangan-keterangan saksi dan ahli serta BAP (Berita Acara Pemeriksaan) mereka kan jelas, ada dokumennya, dan tercatat oleh pengadilan selama persidangan. Biarpun dipotong-potong, semua juga tahu aslinya yang benar seperti apa. Apalagi sidang ini terbuka untuk umum. Sudah seharusnya kutipan apapun sesuai dengan fakta-fakta persidangan, bukan sekedar kesimpulan-kesimpulan jaksa,” ujarnya.
Jeli melihat berbagai kesalahan dalam penulisan berkas tuntutan JPU, Maqdir mengajukan permintaan kepada majelis hakim sebelum berakhirnya sidang agar JPU tidak melakukan renvoi (perubahan) berkas tuntutan. Permintaan itu dikabulkan oleh Majelis Hakim, dan sidang akan dilanjutkan pada 9 Oktober 2013 untuk pembelaan dari terdakwa dan penasehat hukum.
“Seharusnya Kejaksaan Agung (Kejagung) malu dengan proses hukum ini. Karena sebenarnya selama persidangan para saksi dan ahli tidak ada yang memberatkan terdakwa. Kesalahan-kesalahan yang disebutkan JPU dalam tuntutan tadi hanya kesimpulan jaksa sendiri,” tandas Maqdir.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Ayoo oom Tilaar,mana komennya? tetap sehat oom di minggu yg cerah, ditunggu ulasannya yg kritis bukan yg sakit hati