JAKARTA – Para pengunjung sidang perkara bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2013. dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) seperti disuguhi siaran ulang penyampaian keterangan Edison Effendi di persidangan. Hampir semua yang dijadikan dasar tuntutan adalah keterangan Edison, sementara keterangan saksi dan ahli lainnya diabaikan, bahkan nyaris tak dibacakan.
Untuk kesekian kalinya tuntutan JPU atas terdakwa Bachtiar Abdul Fatah tetap menggunakan penafsiran jaksa dan keterangan Edison Effendi, ahli bioremediasi yang ditunjuk Kejaksaan Agung seperti yang terjadi pada sidang-sidang terdakwa lain pada kasus yang sama.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan terdakwa secara sah terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama Direktur PT Sumigita Jaya (SGJ) Herland bin Ompo secara melawan hukum telah menandatangani kontrak bridging bioremediasi nomor C905616 yang melanggar PTK 007 tahun 2011.
Alasannya karena terdakwa tetap menandatangani kontrak bridging ini padahal mengetahui bahwa CPI tidak memiliki izin bioremediasi, dan begitu pula PT SGJ tidak memiliki kualifikasi dan izin untuk melakukan proyek bioremediasi karena hanya kontraktor konstruksi.
Ditemui usai sidang, penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail mengatakan, dasar tuntutan jaksa ini jelas-jelas bertentangan dengan keterangan, bukti-bukti dan fakta di persidangan. Salah satu contohnya, tentang izin yang dipersoalkan JPU.
Saksi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai pihak pemerintah yang berwenang menurut UU di Indonesia, telah berkali-kali menyatakan bahwa proyek bioremediasi CPI telah memiliki izin yang berlaku dan sah. Dinyatakan pula bahwa kontraktor tidak memerlukan izin khusus. “Tapi keterangan ini diabaikan begitu saja oleh JPU,” ungkap Maqdir.
“Para ahli hukum pun, seperti Prof Asep Warlan Yusuf yang ikut membidani UU Lingkungan dan Prof. Laicha Marzuki telah memberikan keterangan di persidangan yang menjelaskan bahwa izin tetap sah dan berlaku jika dalam perpanjangan izin tidak ada larangan, teguran dan adanya pengawasan dari badan pemberi izin bahkan dokumen rapat yang mengharuskan pengerjaan bioremediasi dilanjutkan. Itu menunjukkan bahwa izin masih sah dan berlaku,” tambah Maqdir.
Namun dalam tuntutannya, JPU malah memelintir dan memenggal keterangan yang lengkap dari Prof Laicha, dengan hanya menyatakan bahwa tidak adanya hukum tertulis berarti tidak sah secara hukum. “JPU pun mengabaikan adanya dokumen rapat yang ditandatangani KLH agar CPI melanjutkan bioremediasi saat perpanjangan izin,” ungkap Maqdir.
Dalam persidangan juga terungkap hal yang menarik soal izin, dimana Edison Effendi yang dihadirkan sebagai ahli oleh JPU mengaku bahwa selama dia mengerjakan proyek-proyek bioremediasi di beberapa perusahaan migas di Indonesia, perusahaannya juga tidak memiliki izin termasuk saat dia ikut tender proyek bioremediasi CPI tahun 2008 dan 2011. Bahkan Edison menyatakan dia tidak mengerti kronologi mengajukan izin. Lantas dari mana dasarnya JPU mempermasalahkan izin, bahkan mengabaikan kesaksian pejabat KLH yang berwenang?
Selain itu, lanjut Maqdir, keterangan para saksi di persidangan termasuk dari SKK Migas pun telah jelas menyatakan bahwa kontrak proyek bioremediasi CPI sesuai dengan PTK 007 BPMIGAS dan PT SGJ telah memenuhi semua persyaratan kontrak sehingga kontrak proyek ini pun disetujui oleh SKK Migas.
“Jaksa justru mengambil kesimpulan sendiri dengan mengatakan bahwa kontrak proyek bioremediasi ini tidak sesuai dengan PTK 007 BPMIGAS dan jaksa mengabaikan keterangan SKK Migas (dulu BPMIGAS-red) sebagai lembaga yang paling kompeten dan berwenang untuk menyatakan kesesuaian atau pelanggaran terhadap PTK 007 ini,” jelas Maqdir.
JPU pun menggunakan semata-mata keterangan dari Edison Effendi yang menyatakan bahwa proyek bioremediasi CPI fiktif, dilihat dari hasil pemeriksaan TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) tanah yang terdapat di stockfile yang ada di dua SBF (Soil Bioremediation Facility) yang diuji oleh Edison di laboratorium dadakan di kantor Kejagung.
“Kita telah mendengar di persidangan bahwa laboratorium yang dipakai oleh Edison Effendi untuk menguji sampel ini tidak terakreditasi sebagaimana dipersyaratkan oleh peraturan mentri LH no 6 tahun 2009 sehingga hasilnya tidak dapat dijadikan rujukan apalagi untuk dijadikan bukti dalam sebuah kasus hukum. Tapi hasil uji sampel Edison yang tidak valid itu justru dijadikan dasar tuntutan,” jelas Maqdir.
Dalam persidangan para ahli bioremediasi dari IPB, ITB dan lembaga pemerintah seperti Lemigas telah memberikan keterangan di persidangan bahwa pengujian sampel untuk TPH maksimum 14 hari sementara Edison terungkap di persidangan melakukan ujinya setelah lebih dari 60 hari.
Terungkap pula di persidangan bahwa kesimpulan Edison soal tidak adanya bakteri pendegradasi minyak setelah uji TPH dalam waktu 14 hari sehingga proses bioremediasi nihil, dibantah oleh semua ahli bioremediasi lainnya di persidangan, karena kesimpulan Edison ini tidak sesuai dengan standar dan praktek ilmiah para ahli bioremediasi. Kepmen LH 128/2003 pun menyebutkan proses bioremediasi maksimal sampai 8 bulan.
Siaran ulang itu semakin terasa bagi pengunjung, saat mendengarkan tuntutan JPU yang menyatakan proyek bioremediasi CPI fiktif karena TPH tanah yang dibioremediasi dibawah 7,5% dengan kembali mengutip keterangan dan hasil uji Edison Effendi. Padahal para ahli bioremediasi di depan persidangan sudah gamblang menerangkan, berdasarkan Kepmen LH 128/2003 TPH tanah yang boleh dibioremediasi adalah dibawah 15%, untuk diturunkan menjadi 1% atau kurang.
“Aneh sekali jika kekeliruan ini terus disengaja oleh jaksa hanya untuk menghukum klien kami mengingat dokumen Kepmen LH 128/2003 tersedia dan mudah diperoleh oleh siapapun sehingga sebagai penegak hukum, jaksa dapat merujuk dan mengutip secara benar. Kepmen LH 128/2003 soal syarat TPH ini tidak pernah diubah atau direvisi oleh KLH,” tegas Maqdir seraya berharap majelis hakim bisa melihat semua kejanggalan ini dan mengambil keputusan yang obyektif dan adil.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Apa sih yg ada di benak kejaksaan yg tetap memaksakan tuntutan ini, PT saja sdh menggugurkan tuduhan adanya kerugian negara