JAKARTA – Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bakal memperjuangkan pemisahan secara tegas kegiatan hulu dan hilir minyak dan gas bumi (migas) melalui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001. Hal ini harus dilakukan, guna mendorong nilai tambah optimal sektor migas bagi perekonomian nasional.
Anggota Komisi VII DPR dari F-PAN, Totok Daryanto mengungkapkan, sejak akhir September 2013 lalu, draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas baru sebagai revisi dari UU Migas nomor 22/2001, sudah selesai di tingkat Panitia Kerja (Panja) Komisi, dan sudah diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Tahap berikutnya adalah Rapat Bersama Baleg DPR dan Panja Komisi VII, membahas draft yang sudah disampaikan, untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. “Kami sekarang sedang menunggu jadwal Rapat Bersama Baleg dengan Panja Komisi,” ujar Totok di Jakarta, Kamis, 26 September 2013.
Selanjutnya, kata Totok, draft hasil pembahasan dalam rapat bersama tersebut, akan ditetapkan di Panitia Khusus (Pansus) sebagai RUU, untuk selanjutnya dibahas secara umum dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR. Diharapkan awal 2014 tahun depan UU Migas yang baru sudah terbit.
“Kami berharap nantinya Pansus Revisi UU Migas diserahkan ke Pansus Komisi VII, tidak ke Pansus lintas komisi atau pansus di komisi lain. Karena sejak awal memang Komisi VII yang menguasai persoalan, sehingga pembahasan akan cepat mencapai kemajuan. Kalau diserahkan ke Pansus komisi lain, kami khawatir pembahasan akan kembali dari nol,” ujar Totok lagi.
Menurut Totok, inti dari keseluruhan isi Draft RUU Migas baru yang telah diserahkan ke Baleg, ialah berbagai materi yang bertujuan menyelesaikan seluruh persoalan di sektor migas. Termasuk yang berkaitan dengan kelembagaan pengelola sektor hulu dan hilir migas.
“Salah satunya keberadaan SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) yang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mestinya merupakan lembaga ad hoc (sementara). Jadi kelembagaan perlu diatur kembali,” jelasnya.
Meski demikian, menurutnya F-PAN belum sepakat tentang lembaga apa nantinya yang akan menggantikan SKK Migas. Yang jelas lembaga itu harus permanen, dan bisa mewakili negara dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya alam migas, baik di hulu maupun di hilir secara terpisah.
“Lembaganya tidak disebutkan, apakah berbentuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau yang lainnya. Yang jelas, harus ada yang mewakili negara untuk di hulu dan hilir migas,” ucapnya.
Selain itu, lanjut Totok, dalam Draft RUU Migas baru yang disampaikan ke Baleg, diatur pula bahwa hulu dan hilir migas secara tegas dipisah. Ini merupakan perbaikan dari UU Migas 22/2001 yang tidak jelas memisahkan mana kegiatan hulu dan mana kegiatan hilir migas.
“Pemisahan ini harus dilakukan, agar pengelolaan migas dapat benar-benar optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. PAN akan memperjuangkan hal ini agar disetujui,” tandasnya.
Harus Serius di Hilir
Selain itu, kata Totok, dalam Draft RUU Migas baru yang akan menggantikan UU Migas 22/2001, isinya tidak akan hanya fokus pada sektor hulu migas. Sektor hilir migas harus diberi perhatian lebih serius. Sehingga ke depan, migas Indonesia tidak semata-mata diproduksikan lalu diekspor begitu saja, melainkan harus ada nilai tambah.
“Pada sektor hilir inilah nilai tambah bisa diberikan pada sumber daya alam migas Indonesia, untuk optimalisasi dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” jelas Totok lagi.
Seiring dengan itu, imbuhnya, maka ke depan minyak bagian negara (lifting) harus diolah seluruhnya di dalam negeri, tidak boleh ada yang diekspor. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri sangat besar, dan selama ini lifting kita tidak pernah mampu memenuhinya, sehingga impor kita besar dan membuat biaya subsidi membengkak sehingga membebani APBN.
“Jadi dalam Draft RUU Migas yang baru, sudah kami masukkan bahwa seluruh lifting harus diolah di dalam negeri,” tegas Totok.
Hal lain yang sudah dimasukkan dalam Draft RUU Migas yang baru, kata Totok, ialah soal keberpihakan pada BUMN dan perusahaan nasional. Keberpihakan ini kaitannya dengan perpanjangan kontrak blok-blok migas yang habis kontrak.
“Kebiasaan kita memperpanjang kontrak pada blok-blok migas yang dikelola asing harus dibatasi. Ke depan, blok migas yang habis kontraknya dengan asing, tidak perlu diperpanjang. Tapi serahkan ke BUMN maupun swasta nasional yang mumpuni. Tentu saja BUMN akan mendapatkan prioritas, dan swasta nasional bisa ikut terlibat dengan syarat-syarat yang rigit,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru