JAKARTA – Malaysia Smelting Corporation (MSC) mengancam akan menggugat Pemerintah Indonesia ke arbitrase karena tidak memperpanjang Kontrak Karya (KK) PT Kobatin. Menghadapi ini, pemerintah justru didorong untuk lebih dulu memperkarakan perusahaan tambang timah itu, akibat berbagai pelanggaran pidana.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyatakan, keputusan pemerintah mengakhiri KK Kobatin pada 25 September 2013 itu, merupakan keputusan yang tepat. Karena dari aspek keuangan, hukum, teknis, lingkungan, dan sosial, KK Kobatin memang tidak layak diperpanjang.
“Keputusan menterminasi Kobatin itu, tidak dapat dikategorikan tindakan semena-mena, karena sudah didasarkan pada pertimbangan yang kepentingan dan masa depan bangsa. Oleh sebab itu, pemerintah tidak perlu takut menghadapi ancaman Malaysia Smelting Corporation (MSC) yang akan menggugat ke arbitrase internasional,” ujar Marwan di Jakarta, Jumat, 27 September 2013.
Menurutnya, pemerintah justru harus segera menggugat Koba Tin ke Pengadilan Republik Indonesia (RI) karena beberapa tindak pidana yang telah dilakukan pengelola perusahaan itu. Yaitu penggelembungan biaya opreasi dan praktek transfer pricing.
Akibat tindak pidana ini, Kobatin mengalami kerugian sejak 2009, 2010, 2011 hingga 2012 masing-masing US$ 6,1 juta, US$ 4,1 juta, US$ 6.3 juta dan US$ 37 juta. Sehingga, pemerintah kehilangan kesempatan memperoleh pajak dari kegiatan operasional Kobatin, dan PT Timah kehilangan nilai sahamnya di perusahaan itu, dari 25% saham menjadi 0% sehingga BUMN itu rugi Rp 65 miliar.
Marwan menabahkan, MSC juga telah menyembunyikan informasi dari pihak Indonesia dengan merubah komposisi pemegang saham tanpa sepengetahuan PT timah. Aksi korporasi MSC ini tidak sesuai dengan etika bisnis yang lazim, dimana perpindahan tangan saham seharusnya mendapat persetujuan pemegang saham minoritas. Kobatin pun lalai membayar jaminan penutupan tambang sebesar US$ 17 juta pasca eksploitasi.
“Oleh sebab itu pemerintah perlu segera melakukan audit investigatif menyeluruh terhadap Koba Tin, termasuk menguasai asetnya, terutama beberapa semelter yang dimiliki, untuk digunakan sebagai jaminan,” tegas Marwan.
Serahkan ke BUMN dan BUMD
Dengan berakhirnya KK Kobatin, kata Marwan, status lahan tambang yang ditinggalkan menjadi wilayah pencadangan negara. Namun sesuai Pasal 33 UUD 1945, IRESS meminta kepada pemerintah dan DPR RI agar lahan tesebut dijamin kelanjutan eksloitasi dan operasinya oleh BUMN dan BUMD.
“Pemerintah Pusat harus mengkordinasikan terbentuknya konsorsium PT Timah dengan perusahaan BUMD milik Provinsi Bangka Belitung, Kabupaten Bangka Tengah, dan Kabupaten Bangka Selatan, tanpa keterlibatan perusaaan swasta,” ujarnya.
Marwan mengaku yakin, wilayah tambang seluas 41.300 hektar yang ditinggalkan Kobatin masih menyimpan cadangan timah dalam jumlah yang signifikan. Cadangan tersebut mempunyai nilai ekonomis/finansial untuk dikapitalisasi dan harus diperhitungkan sebagai tambahan modal/aset pemerintah dalam profil perusahaan/keuangan PT Timah.
Dengan demikian, komposisi pemilikan saham PT Timah akan berubah (terutama jika cadangan cukup besar), dimana saham pemerintah akan bertambah dan saham publik akan berkurang (terdilusi). Besarnya perubahan komposisi saham ini perlu dikaji secara objektif dan transparan.
(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)
Komentar Terbaru