JAKARTA – Gerah dengan tudingan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal dugaan mark up (penggelembungan, red) klaim biaya subsidi listrik, PT PLN (Persero) mengeluarkan bantahan pada Rabu, 25 September 2013.
Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN, Bambang Dwiyanto mengatakan, koreksi perhitungan subsidi listrik tahun 2012 oleh BPK sebesar Rp 6,7 triliun, terjadi karena adanya sedikit perbedaan dalam menerjemahkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dalam perhitungan subsidi listrik antara PLN dan BPK.
“PLN menyiapkan laporan keuangan sesuai prinsip akuntansi dan peraturan yang berlaku. Laporan keuangan PLN itu kemudian digunakan sebagai dasar dalam perhitungan besaran subsidi listrik. Perbedaan inilah yang menyebabkan adanya koreksi dalam perhitungan subsidi listrik. Tidak ada niat atau maksud sedikitpun dari PLN untuk menaikkan atau mark up nilai subsidi listrik,” ujarnya.
Bambang menerangkan, PLN melakukan penagihan subsidi listrik dalam tahun anggaran berjalan, setiap periode bulanan dan setiap periode triwulanan kepada Pemerintah c.q. Kementerian Keuangan sesuai ketentuan pada PMK No.111/PMK.02/2007.
Berdasarkan PMK tersebut, kata Bambang, maka perhitungan subsidi listrik dilakukan dengan formula sebagai berikut :
S = – (HJTL – BPP (1+m)) * V
S = Subsidi listrik
HJTL = Harga Jual tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing –masing Golongan tarif
BPP = Biaya Pokok Penyediaan/BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing Golongan tarif
M = margin (%)
V = volume penjualan tenaga listrik (kWh) untuk setiap Golongan tarif
Tagihan subsidi bulanan dengan BPP (Rp/kWh) yang digunakan pada penetapan besaran subsidi dalam APBN dan atau APBN-Perubahan tahun berjalan, sedangkan tagihan triwulanan sebagai koreksi sehubungan dengan penerapan BPP Realisasi (Rp/kWh) yang dihitung berdasarkan data realisasi dari laporan keuangan PLN triwulanan.
Tagihan subsidi bulanan dan triwulanan sebelum dibayar oleh Pemerintah cq. Kementrian Keuangan akan diteliti dan diverifikasi atas dokumen tagihan berikut dokumen pendukungnya serta kesesuaian dengan ketentuan yang berlaku oleh Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jenderal Anggaran.
Untuk keperluan perhitungan final nilai subsidi listrik suatu tahun anggaran tertentu sebagai bahan audit BPK, maka PLN menyiapkan perhitungan subsidi listrik tahun anggaran (TA) 20XX berdasarkan Laporan Keuangan PLN tahun buku (TB) 20xx yang disusun sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum dan telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) serta berdasarkan PMK No.111/PMK.02/2007 tanggal 14 September 2007 dan perubahannya tentang Tatacara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik.
“Perhitungan subsidi listrik Tahun Anggaran 20XX tersebut, tidak langsung ditagihkan kepada Pemerintah. Penagihan kepada Pemerintah menunggu hasil audit final dari BPK,” tandas bambang Dwiyanto.
Ia melanjutkan, nilai perhitungan subsidi listrik TA 20XX yang disusun PLN tersebut (nilai dan volume penjualan, nilai dan volume produksi listrik, serta biaya pokok penyediaan listrik) sudah sesuai ketentuan yang berlaku, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Nilai dan volume penjualan listrik hanya memperhitungkan penjualan ke pelanggan yang menerapkan tarif TDL (tidak memperhitungkan penjualan dari Anak Perusahaan: PT PLN Batam dan PT PLN Tarakan).
b. Nilai dan volume produksi listrik sudah sesuai realisasi dan dengan memperhitungkan persentase target susut listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan
c. BPP listrik sudah tidak memperhitungkan biaya-biaya yang tidak diperkenankan (non-allowable cost) menurut PMK No.111/PMK.02/2007.
Bambang menambahkan, biaya yang tidak diperkenankan oleh Pemerintah untuk diperhitungkan dalam biaya penyediaan listrik yaitu:
1) biaya-biaya penyediaan tenaga listrik untuk daerah-daerah yang tidak mengenakan Tarif Dasar Listrik (TDL);
2) beban usaha pada unit penunjang yaitu jasa penelitian dan pengembangan, jasa sertifikasi, jasa engineering, jasa dan produksi, jasa manajemen konstruksi serta jasa pendidikan dan latihan;
3) biaya tidak langsung yang terdiri dari:
a) pemeliharaan wisma dan rumah dinas;
b) kepegawaian wisma dan rumah dinas;
c) pakaian dinas;
d) asuransi pegawai;
e) perawatan kesehatan pegawai;
f) biaya pegawai lainnya;
g) biaya lainnya wisma dan rumah dinas;
h) sewa rumah untuk pejabat;
i) penyisihan piutang ragu-ragu;
j) penyisihan material;
k) bahan makanan dan konsumsi;
l) penyusutan wisma dan rumah dinas;
m) Pajak Penghasilan/UTBP; dan
n) Biaya usaha lainnya
Singkatnya, kata Bambang, PLN telah menyiapkan laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi dan peraturan yang berlaku. Laporan keuangan PLN itu kemudian digunakan sebagai dasar dalam perhitungan besaran subsidi listrik, dengan tetap memperhatikan ketentuan PMK No.111/PMK.02/2007.
Berdasarkan audit, BPK melakukan koreksi atas perhitungan subsidi listrik TA 2012 sebesar Rp. 6,7 Triliun. Koreksi tersebut terjadi karena adanya sedikit perbedaan dalam menterjemahkan ketentuan PMK No.111/PMK.02/2007 dalam perhitungan subsidi listrik antara PLN dan BPK, antara lain:
a. Denda-denda yang diterima PLN dari mitra karena keterlambatan jasa/pekerjaan, diperlakukan sebagai pengurang BPP.
b. Penerimaan klaim asuransi PLN, diperlakukan sebagai pengurang BPP.
c. Beban Keuangan yang berasal dari pajak penghasilan atas bunga global bond, diperlakukan sebagai non allowable cost.
d. Pendapatan lain-lain dari pemanfaatan aset PLN, diperlakukan sebagai pengurang BPP.
e. Koreksi volume penjualan yang terkait dengan penerapan kWh Rekening Minimum dan listrik prabayar (LPB) sehingga menurunkan Rp/kWh BPP.
“PLN mencatat dan mengakui nilai subsidi listrik TA 20XX pada Laporan Keuangan TB 20XX sesuai dengan hasil audit BPK tersebut, dan hasil audit BPK digunakan oleh Pemerintah untuk menentukan nilai final besaran subsidi listrik TA 20XX,” pungkas Bambang.
(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)
Komentar Terbaru