JAKARTA – Harga Batu bara Acuan (HBA) bulan Januari 2022 mengalami penurunan dibandingkan realisasi pada desember tahun lalu. Realisasi januari ini HBA tercatat US$158,50 per ton atau turun US$1,29 per ton dari bulan Desember 2021 lalu, yaitu US$159,79 per ton. Penurunan tersebut salah satunya dipicu adanya peningkatan produksi batu bara domestik Tiongkok.
“Pemerintah Tiongkok berusaha meningkatkan produksi batu bara dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri yang berdampak pada meningkatnya stok batu bara dalam negeri,” kata Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis (6/1).
Sepanjang tahun 2021 lalu, HBA cukup mengalami kenaikan pesat. Bahkan sempat mencapai level tertinggi dalam satu dekade terakhir. Dibuka pada level US$75,84 per ton di Januari, HBA mengalami kenaikan pada bulan Februari US$87,79 per ton, sempat turun di Maret US$84,47 per ton. Selanjutnya terus mengalami kenaikan secara beruntun hingga bulan November 2021 pada angka US$215,01 per ton. Rinciannya, April di angka US$86,68, Mei (US$89,74 per ton), Juni (US$100,33 per ton), Juli (US$115,35 per ton), Agustus (US$130,99 per ton), September (US$150,03 per ton), dan Oktober (US$161,63 per ton). Namun sempat mengalami penurunan pada Desember (US$159,79 per ton).
HBA sendiri merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8%, Total Sulphur 0,8%, dan Ash 15%.
Nantinya, harga ini akan digunakan secara langsung dalam jual beli komoditas batubara (spot) selama satu bulan pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Veseel).
Terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.
Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro. (RI)
Komentar Terbaru