JAKARTA – Juliver Sinaga, auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perlu bersiap-siap. Pasalnya, perbuatan Juliver yang menghitung kerugian negara dalam kasus bioremediasi tanpa melakukan konfirmasi kepada pihak yang diaudit, merupakan suatu pelanggaran yang diancam dengan pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Kemungkinan pemidanaan auditor BPKP ini terungkap dalam sidang perkara proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu. 18 September 2013.
Dr. Dian Puji Simatupang, SH, MH yang dihadirkan untuk memberikan keterangan sebagai ahli dalam persidangan itu, menuturkan bahwa penghitungan keuangan negara memiliki standar sendiri, yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Pakar hukum administrasi dan keuangan negara Universitas Indonesia (UI) ini menegaskan, yang berwenang sesuai UU untuk menghitung kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemeriksa atau auditor yang mengaudit kerugian keuangan negara harus melakukan pemeriksaan menyeluruh dan meminta pendapat pihak yang diperiksa. Hasil pemeriksaan itu harus dikeluarkan dalam bentuk laporan pemeriksaan investigatif.
Dian Puji juga menerangkan, dalam UU 15/2004 daitur tentang kode etik yang memberikan rambu-rambu kepada aparatur pemerintah, dalam melakukan audit kerugian negara. Salah satunya bahwa pemeriksa atau auditor harus hati-hati, terutama bila menemukan kemungkinan pidana di dalamnya.
“Konfirmasi harus didapatkan dari dua pihak, dan yang digunakan untuk melakukan penghitungan kerugian negara tidak boleh data sekunder. Data yang diperoleh harus merupakan data primer, yakni data yang didapat dari pihak yang diperiksa, bukan dari pihak sekunder atau penyidik. Wawancara yang dilakukan orang lain kemudian dikutip sebagai bahan audit, merupakan data sekunder dan tidak dapat digunakan untuk audit yang objektif,” tegasnya.
Sesuai kode etik dan standar audit kerugian negara, kata Dian, setelah mendapatkan data seharusnya auditor melakukan lagi verifikasi data yang didapatkan langsung kepada pihak yang diperiksa. “Apabila tidak dilakukan konfirmasi dan penelusuran hingga ke bukti asal oleh seorang auditor, maka seharusnya auditor itu mendapatkan hukuman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar,” ungkapnya.
Hasil Audit Batal Demi Hukum
Pada suatu laporan investigatif, seperti diatur dalam UU 15/2004, menurut Dian prosedurnya adalah setelah audit selesai, hasil audit itu harus tetap diberikan kepada pihak yang diperiksa untuk diberikan keterangan kembali. “Mengacu pada Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2007 dan UU Nomor 15 tahun 2004, audit yang dilakukan tanpa konfirmasi merupakan audit yang tidak memenuhi standar, maka dari itu hasilnya tidak valid,” tandas Dian Puji.
Memang, kata Dian, ada kemungkinan setelah melakukan konfirmasi kepada pihak yang diperiksa, auditor tidak memperoleh data. Jika terjadi yang demikian, maka secara hukum pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. “Data tidak diperoleh berarti fakta salah dan tidak ada keterangan dari yang diperiksa. Jika ini terjadi, maka seharusnya hasilnya tidak valid atau batal demi hukum,” jelasnya lagi.
Demikian pula, ujarnya, jika saat konfirmasi pihak yang diperiksa memberikan keterangan tambahan dan dimuat dalam berita acara, maka tambahan tersebut harus dilihat apakah tetap pada temuan dan kesimpulan yang sama.
Dian melanjutkan, dalam konteks cost recovery proyek bioremediasi PT CPI yang bernaung dibawah production sharing contract (PSC) maka bila ada kekurangan, tidak serta merta dinyatakan menyebabkan kekurangan. Tetapi seharusnya dimintai pengganti dalam kurun waktu tertentu. Apabila tidak bisa memberikan pengganti sesuai waktu yang ditentukan, barulah diserahkan ke ranah publik atau hukum pidana.
“Inti dari peraturan ini (Peraturan BPK 1/2007 dan UU 15/2004) kerugian negara haruslah nyata dan pasti. BPKP dan akuntan publik dipersilahkan membantu aparatur hukum, namun harus ada surat mandat dari BPK dan atas nama BPK,” tegas Dian Puji.
Hakim Abaikan Fakta Hukum
Seperti diketahui, pada persidangan sebelumnya, Juliver Sinaga selaku auditor BPKP yang menghitung kerugian negara dan dijadikan alat bukti oleh jaksa dalam kasus bioremediasi, mengaku melakukan audit hanya berdasarkan keterangan penyidik dan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Edison Effendi selaku ahli yang ditunjuk Kejaksaan Agung. Di depan persidangan Juliver mengaku, hasil audit itu sama sekali tidak dimintakan konfirmasi ke PT CPI maupun SKK Migas sebagai pihak yang diaudit.
Diminta keterangannya melalui telpon Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan menegaskan kembali keyakinan CPI bahwa tidak ada bukti kerugian negara dan tindakan kriminal yang dilakukan oleh karyawan dan kontraktor CPI, sebagaimana penjelasan dua hakim yang menyampaikan dissenting opinion (pendapat berbeda dalam putusan).
“Dalam vonis bersalah terhadap tiga karyawan CPI pun, majelis hakim mengabaikan semua fakta-fakta, dokumen, kesaksian dari pejabat pemerintah yang berwenang dan ahli-ahli yang kredibel. Majelis hakim justru menyandarkan pertimbangan vonis hanya kepada “ahli” yang jelas-jelas memiliki konflik kepentingan, sehingga kesaksiannya diabaikan oleh dua hakim yang menyampaikan dissenting opinion,” ujar Dony pada Jumat, 20 September 2013.
Menurut Dony, dalam persidangan yang lalu, SKK Migas pun telah menyampaikan keterangannya bahwa kontrak, biaya dan proyek bioremediasi telah sesuai dengan peraturan yang ada dan audit telah dilakukan setiap tahunnya baik oleh SKK Migas, BPKP maupun BPK. “Tidak pernah ada temuan audit atas proyek ini dalam periode 2006-2011,” ungkap Dony.
“Kami berharap bahwa karyawan dan kontraktor kami akan segera memperoleh keadilan dalam proses hukum yang sedang berjalan ini, dan kami akan terus memastikan agar hak hukum dan asasi mereka sebagai warga negara tetap dihormati dan dilindungi,” kata Dony lagi.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru