JAKARTA – Dua ahli hukum dari perguruan tinggi yang berbeda, yakni Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Edward Omar Syarif Hiariej, SH, Mhum dan pakar hukum administrasi dari Universitas Indonesia (UI) Dr. Dian Puji Simatupang, SH, MH kembali menegaskan bahwa kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) merupakan kasus perdata.
Penegasan itu disampaikan Prof Edward dan Dian Puji Simaptupang, saat dihadirkan untuk memberikan keterangan sebagai ahli, dalam sidang perkara bioremediasi PT CPI di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, Rabu, 18 September 2013.
Dalam persidangan itu, Dian Puji yang merupakan dosen hukum anggaran negara dan keuangan publik dari Fakultas Hukum UI, diminta untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud keuangan negara dalam Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Ia pun menjelaskan bahwa keuangan negara yang dimaksud dalam UU Pemberantasan Tipikor, adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selanjutnya, yang dimaksud kerugian keuangan negara dalam UU itu, adalah kekurangan uang, surat berharga, maupun barang yang nyata dan pasti disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalaian.
“Kerugian negara yang dimaksud dalam UU Pemberantasan Tipikor, adalah kekurangan uang, surat berharga, maupun barang yang nyata dan pasti disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalaian, yang dilakukan aparatur negara, khususnya bendahara maupun pejabat negara yang mengelola keuangan negara,” jelas Dian Puji di depan persidangan bioremediasi.
Terkait tuduhan adanya korupsi dalam kasus bioremediasi PT CPI, ia mengurai bahwa adanya tuduhan itu karena biaya bioremediasi dimintakan penggantian kepada pemerintah sebagai cost recovery. Karena biaya dalam cost recovery pada hakikatnya adalah biaya operasional kegiatan hulu migas yang diatur dalam kontrak kerjasama (PSC), maka biaya yang dihasilkan merupakan kesepakatan antar dua pihak.
“Sepanjang semua (biaya yang ditimbulkan, red) telah diperjanjikan, maka itu semua menjadi pembagian bagi para pihak,” kata Dian Puji. Maka dari itu, terkait persoalan yang berhubungan dengan cost recovery, mestinya masuk dalam ranah hukum perdata.
Tanggung Jawab Korporasi
Dian Puji juga menjelaskan, karena yang mengajukan klaim cost recovery adalah perusahaan dalam hal ini PT CPI, maka bila terjadi kesalahan maka yang dimintai pertanggungjawaban adalah CPI korporasi, bukan karyawan secara perorangan, seperti halnya Bachtiar yang saat ini didudukkan sebagai terdakwa.
Sebelumnya, di depan persidangan yang sama, Prof Edward yang merupakan Guru Besar Hukum UGM juga menjelaskan, apabila seseorang maupun korporasi melakukan perjanjian, maka ia berada di wilayah keperdataan. Persoalan yang timbul, tidak bisa dibawa ke ranah pidana apalagi dijerat dengan pasal-pasal UU Pemberantasan Tipikor.
Edward juga menyatakan, persoalan yang timbul dari kegiatan bioremediasi PT CPI tidak bisa diadili dengan UU Pemberantasan Tipikor, termasuk dengan pasal 14 UU Pemberantasan Tipikor. Karena berkaitan dengan penggunaan pasal 14 itu, UU Pemberantasan Tipikor sendiri telah membatasi hanya pada tindak pidana yang diatur dalam UU tersebut.
“Tidak selamanya perbuatan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara harus pidana. Maka dari itu, pembentuk UU Pemberantasan Tipikor memasukkan komponen pasal 32, yang mengatakan bahwa penyelesainnya dilakukan secara perdata,” tandas Edward.
Sudah Diaudit BPK
Selain ahli dari beberapa perguruan tinggi, sidang tersebut juga menghadirkan saksi Rasfuldi, yang menjabat General Manager External Affairs PT CPI sepanjang 2003-2007. Selama mengemban jabatan itu, saksi mengaku tugasnya adalah membawahi hubungan dengan pemerintah, sehingga selalu mendapatkan tembusan dari laporan-laporan audit.
Bekerja di PT CPI dalam rentang 1971 – 2007, Rasfuldi yang kini berprofesi sebagai konsultan keuangan mengaku mengetahui bahwa BP Migas pernah melakukan audit terhadap bioremediasi yang berada di Minas. Ia pun menerangkan, semua pekerjaan yang menimbulkan biaya di atas USD 500.000 termasuk proyek bioremediasi, harus lebih dulu mengajukan WP&B (Work Program and Budget) dan AFE ke BP Migas (sekarang SKK Migas).
Terkait dengan bagi hasil migas antara pemerintah dan PT CPI selaku KKKS, maka FQR PT CPI melaporkan berapa biaya produksi, biaya operasi, biaya per proyek, dan berapa minyak yang diangkut pemerintah dan CPI, serta berapa yang seharusnya menjadi hak masing-masing. FQR ini menjadi dasar verifikasi ketika SKK Migas dan BPK melakukan audit.
Ia pun menerangkan, penghitungan bagi hasil sesuai mekanisme yang diatur PSC, adalah dibagi dua dan dikurangi biaya operasi yang dihitung dalam barel. Biaya operasi itu ditanggung bersama antara pemerintah dan PT CPI sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.
Untuk biaya dalam kegiatan bioremediasi sendiri, tutur saksi, dilakukan empat kali audit, yaitu audit dari SKK Migas, BPKP, BPK, dan Dirjen Keuangan. SKK Migas sendiri melakukan tiga kali audit dalam setiap siklus proyek, yakni pre audit, current audit dan post audit. “Dari ketiga audit tersebut tidak pernah ada hasil temuan bahwa bioremediasi fiktif,” ungkap saksi.
Justru, kata Rasfuldi, pemerintah pernah mengalami dua kali overlift (kelebihan pengambilan minyak bagian pemerintah, red). Tetapi setelah overlift kedua, BP Migas menulis surat ke Dirjen Moneter, kemudian Dirjen Moneter meminta BP Migas untuk memotong dari bagiannya di tahun 2012, dan transfer dilakukan di tahun 2013. “CPI mendapatkan copy surat yang dikirimkan BP Migas kepada Dirjen Anggaran,” kata Rasfuldi lagi.
Terapkan Mekanisme PSC
Dalam wawancara terpisah, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan menerangkan bahwa CPI meminta, agar mekanisme penyelesaian perdata sebagaimana dimuat dalam PSC migas yang menjadi landasan operasi CPI di Indonesia, dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus bioremediasi ini.
“PSC yang menjadi landasan operasi CPI di Indonesia mengikat secara hukum CPI dan Pemerintah Indonesia. Dalam PSC secara jelas telah memuat mekanisme penyelesaian secara perdata jika ada perselisihan mengenai proyek-proyek dalam pelaksanaan PSC. Kami meminta agar diterapkan mekanisme PSC dalam kasus ini,” terang Dony melalui telpon, Kamis, 19 September 2013.
Menurut Dony, menjadikan sengketa dalam PSC seperti kasus bioremediasi sebagai kasus pidana, padahal sangat jelas PSC adalah kontrak bisnis di ranah hukum perdata, dapat mempengaruhi kepastian hukum di industri migas Indonesia, serta tidak mendukung kepentingan nasional untuk mewujudkan ketahanan energi bagi kelangsungan pembangunan.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru